Kategori: Indonesia

7 Tip Mengumpulkan Receh Untuk Resolusi Piknik

Hello 2017…
Apa resolusi piknik kamu tahun ini? Kalau The Emak sih nggak muluk-muluk karena resolusi tahun lalu banyak gagalnya, hiks. Tapi ketolong sama pengalaman traveling di akhir tahun yang tak disangka-sangka: cruising! Tahun ini keluarga precils insyaallah akan ke KL dan Malaka (dapat tiket 0 rupiah AA dari tahun lalu) dan LOB Komodo (amin YRA). Udah itu doang? Enggak sih, nanti ditambah staycation sana-sini dan weekend mini trip entah nyangkut di mana, hahaha. Trus The Emak juga punya keinginan terpendam untuk #ngopibarengnicsap2017 karena kan destinasi nggak melulu tempat, bisa juga orang.

Nah, yang lebih penting dari sekadar resolusi piknik adalah bagaimana cara untuk mewujudkannya.Traveling pasti perlu modal dong. Kabar baiknya, nggak semua biaya traveling harus dibayar dengan uang. Bisa juga dibayar pakai miles untuk tiket pesawat, pakai kredit poin untuk penginapan, dan pakai doa kalau pengen menang kuis 😉 Emak yang baik hati dan tidak sombong ini akan berbagi tips untuk ngumpulin duit dan poin receh agar resolusi piknik kamu kesampaian.

Untuk bisa mengumpulkan miles/mileage (poin penerbangan), kita harus jadi anggota frequent flyer dari suatu maskapai. Nama program tiap perusahaan penerbangan bisa beda-beda. Untuk orang Indonesia, saya sarankan minimal ikut tiga keanggotaan frequent flyer ini: Garuda Indonesia, Air Asia, dan Singapore Air. 

“Duh, saya kan jarang terbang?” Tenang, untuk ikut keanggotaan ini nggak perlu harus sering terbang kok. Bahkan sebaiknya mendaftar jadi anggota sebelum terbang dan sebaiknya sebelum beli tiket agar nomor frequent flyer bisa dicantumkan ketika membeli tiket. 

Cara mendaftar gampang kok, seperti ketika kita membuat akun email. Klik masing-masing website-nya ya, trus cari tombol Daftar/Join/Register.
Garuda Miles: https://garudamiles.com    
Air Asia Big Loyalty Programme: http://www.airasiabig.com/id/id/
Kris Flyer SIA: http://www.singaporeair.com/KrisFlyer

Nah, kalau keanggotaan frequent flyer udah beres, mari kita cari tahu cara memperoleh poinnya. Nggak melulu dari terbang lho. The Emak punya 7 tips untuk ngumpulin remah-remah biaya untuk traveling.

1. Mengumpulkan receh (literally)
Ini serius. Saya selalu meminta uang kembalian kalau belanja di minimarket atau supermarket. Dan saya pasti mengecek struk belanja sebelum keluar dari toko. Untuk toko besar biasanya sih saya pakai kartu debit atau kredit, tapi untuk toko kecil saya pakai uang kas. Lebih sering saya yang memberi kasir uang kembalian karena saya selalu bawa recehan di dompet untuk belanja.

Bukannya saya pelit untuk donasi ya, tapi untuk zakat, uang qurban dan sumbangan sosial memang sudah saya program, bukan dari uang receh. Donasi pun akan sampai ke penerima yang kita pilih sendiri.

Latihan minta uang kembalian ini membuat kita menghargai uang kecil, karena uang besar berasal dari uang kecil. Dalam bahasa Ibuk saya yang pedagang, kita harus “setiti”. Apa ya bahasa Indonesianya yang pas? Karena benar-benar uang receh, tentu hasilnya setahun enggak banyak, tapi tetap saja ada harganya. Misal sehari kita bisa mengumpulkan 1000 rupiah saja, setahun kita bisa dapat 365 ribu. Cukup untuk bayar pajak bandara, karena meski kita bisa membeli tiket pesawat dengan miles, pajak bandara tetap harus dibayar pakai uang, nggak bisa pakai daun 🙂

2. Mengumpulkan cashback dari Shopback 
Hayo siapa yang hobi online shopping? *ikut ngacung. Sejak kenal Shopback, saya selalu belanja melalui website/apps ini karena setiap belanjaan kita bakalan dapat uang kembalian antara 2% sampai 15%. Belanjaan saya juga kebutuhan sehari-hari sih seperti beli pulsa, bayar PDAM, bayar BPJS di tokopedia; beli tiket nonton di BookMyShow; beli tiket pesawat di PegiPegi, Tiket, atau Nusatrip tergantung mana yang lebih murah; booking hotel di Booking dot com atau Agoda.

Keuntungan jadi anggota Shopback ini, uang kembalian kita terkumpul di suatu tempat dan bisa ditarik jadi tunai (transfer ke rekening bank kita) kapan pun kita mau. Lumayan kan kalau dalam setahun bisa dapat 3-4 juta? Tinggal bilang ke pasangan kita, “Sayang, liburan yuk aku yang traktir.” :p
 
Daftar Shopback pakai referral saya untuk mendapatkan bonus Rp 45.000: https://www.shopback.co.id/?raf=YppJr2

https://www.shopback.co.id/?raf=YppJr2
Toko favorit ada di sini semua
Cashback saya 🙂 Lumayan yah.

3. Mengisi Survey YouGov untuk Poin Airasia Big
Ini tadi yang saya bilang nggak harus sering terbang untuk mencari poin frequent flyer. Kita bisa mendapatkan poin Air Asia Big hanya dengan mengisi survey. Setiap survey bisa dapat poin mulai dari 25 poin sampai 150 poin. Nanti kalau sudah terkumpul 5000 poin, bisa ditukar menjadi 2500 poin AirAsia Big. Kalau sedang promo, banyak rute Air Asia yang bisa ditukar hanya dengan 500 poin saja, misalnya Jakarta – KL, Jakarta – Penang, Jakarta – Bali, Surabaya – Johor Bahru, dll.

Surveynya gampang kok, tentang kehidupan kita sehari-hari. Misalnya tentang pemakaian internet di rumah, merk sabun yang sering dipakai, pendapat tentang service provider, dll. Setelah mendaftar, nanti akan dikirimi email kalau ada survey yang cocok dengan profil kita. Surveynya bisa dikerjakan di komputer atau smartphone, dan biasanya nggak sampai 10 menit.

Daftar survey YouGov di sini:
https://id.yougov.com/en-id/refer/TQ3vAFZlkjhYLB6Bv-KGvw/



4. Menulis Review di Tripadvisor untuk Miles Garuda
Selain survey, kita juga bisa menambah miles dengan cara menulis review di Tripadvisor Indonesia. Sebenarnya kita bisa memilih, poinnya mau ditukar jadi Garuda Miles atau Air Asia Big, tapi saya lebih memilih ditukar Garuda Miles. Setiap reviewer hanya boleh memilih salah satu.

Yang harus dilakukan adalah mendaftar jadi anggota Garuda Miles dulu agar mendapatkan nomor anggota. Setelah itu, daftar menjadi anggota Tripadvisor Indonesia (bisa dengan akun facebook biar nggak ribet). Baru kemudian menyambungkan program mileage dari review Tripadvisor di sini: https://www.tripadvisor.co.id/GarudaMiles

Yang bisa diulas di Tripadvisor tidak cuma hotel atau penginapan, tapi juga restoran atau tempat wisata. Jadi tanpa pergi jauh pun kita bisa menulis tentang warung langganan di kota kita sendiri. Setiap tempat yang kita review punya nilai mileage sendiri, mulai dari 5 poin sampai 200 poin. Ulasan harus otentik ya, artinya kita memang pernah punya pengalaman di tempat yang kita review. Ulasan palsu akan membuat kita di-blacklist oleh Tripadvisor. 

Miles yang dibutuhkan untuk terbang dengan Garuda dari Surabaya ke Bali adalah 4000. Kalau tiap review rata-rata dapat 50 miles, kita tinggal menulis 80 kali 🙂 Atau redeem miles Garudanya pas diskon 50%, jadi untuk SUB – DPS atau Jakarta – Belitong tinggal perlu 2000 poin (40-an review) saja. Baca pengalaman saya menukar Garuda miles untuk terbang ke Bali sekeluarga di sini.

 

Poin dari review langsung masuk miles Garuda



5. Join Afiliasi Airbnb
Airbnb adalah apps dan website favorit saya untuk mencari vila atau apartemen ketika harga hotel terlalu mahal. Saya pernah memakai airbnb untuk memesan penginapan di Paris, Ubud, Taipei, dan baru-baru saja Jogja.

Airbnb juga termasuk yang murah hati memberikan credit point untuk para affiliate-nya. Kalau saya memberikan referral pada seseorang untuk bergabung dengan airbnb, orang tersebut akan mendapat Rp 295.000 (besaran kupon ini bisa berubah sesuai program mereka) dan saya akan mendapat jumlah yang sama kalau orang tersebut memesan penginapan. Karena rajin memberikan referral, selama ini saya bisa memesan penginapan di airbnb dengan diskon besar atau bahkan gratis 🙂

Daftar airbnb pakai tautan ini ya: https://www.airbnb.com/c/akumalasari

 

6. Join Afiliasi Hotel Quickly
Hotel Quickly adalah apps favorit saya untuk memesan hotel yang diperlukan secara mendadak. Apps ini paling pas untuk staycation. Saya pernah pakai untuk memesan beberapa hotel di Surabaya.

Untuk bisa menjadi affiliate, kalian harus mendaftar di apps Hotel Quickly dulu, cari apps nya di Google Play atau App Store. Setelah itu masukkan kode AKUMA72 untuk mendapatkan diskon tambahan 15% untuk pemesanan pertama. Nanti di apps, kalian bakalan punya banyak pilihan untuk memberikan referral ke teman-teman dan akan mendapat Rp 10.000 setiap kali teman menggunakan kode kalian, plus 10% dari pemesanan ketika teman kalian booking hotel. Lumayan, kreditnya bisa buat staycation leha-leha. Kalau udah punya kredit mending cepat dipakai sebelum expire 🙂
 

tampilan apps HQ

7. Menukar Poin Kartu Kredit
Tip terakhir untuk membiayai liburan adalah dengan menukar poin kartu kredit. Tentu saja syaratnya kalian punya kartu kredit, hehehe. Eh kalau nggak punya kartu kredit, ada kok kartu debit yang poinnya bisa ditukar miles Garuda, contohya Fiestapoin Bank Mandiri.

Bagi keluarga saya, kartu kredit adalah alat bayar yang praktis, terutama ketika bertransaksi online atau transaksi di luar negeri. Kami tidak pernah ngutang dan pasti membayar tagihan tepat waktu, jadi tidak pernah membayar bunga. Karena memang hanya sebagai alat bayar, kami masing-masing hanya punya satu kartu kredit.

Kalau kalian ingin mengumpulkan miles melalui poin kartu kredit, sebaiknya memang memilih kartu kredit yang bekerja sama dengan maskapai tertentu, agar milesnya cepat bertambah. Untuk miles Air Asia pilih CIMB Niaga, Singapore Air pilih BCA, sementara Garuda bekerja sama dengan BNI dan Citibank.

Tapi kartu kredit lain pun tetap bisa ditukar dengan miles. Bahkan keuntungan punya kartu kredit biasa, poinnya juga bisa ditukar dengan poin dari hotel, misalnya poin IHG (Holiday Inn) atau Hilton Honor. Kami pernah menginap gratis di Holiday Inn Penang dengan menukar poin IHG plus tambahan dari poin kartu kredit. Saya juga pernah merasakan terbang dengan kelas bisnis Singapore Air dengan menukarkan miles Krisflyer plus tambahan poin dari kartu kredit suami, hihihi. Padahal, saya belum pernah membeli tiket SQ dengan duit saya sendiri. Miles yang saya tukarkan berasal dari tiket hadiah ketika saya memenangkan kuis New Zealand Tourism. Moral of the story: selalu daftar keanggotaan frequent flyer sebelum kamu beli tiket pesawat atau sebelum kamu menang kuis 🙂


Itu semua tip-tip yang bisa kita semua lakukan sebagai rakyat jelata biasa. Tentu masih ada cara lain, misalnya endorse instagram kalau kamu arteeees. Atau bisa pasang iklan di blog kalau view blog kamu ratusan ribu sebulan, hehe. Tapi nggak papa, tetap optimis ya untuk #resolusipiknik2017 kamu. Jangan sampai kita rakyat biasa kena derita #kurangpiknik. Gimana, ada yang mau bareng kami ke Labuhan Bajo?


~ The Emak

Alila Solo, Kemewahan yang Terjangkau

Saya sudah lama ‘ngidam’ pengen menginap di hotel Alila. Mana saja deh, karena hotelnya cakep-cakep semua. Alila Ubud, Manggis, Seminyak, atau Uluwatu. Tapi memang tarifnya mahal ya, karena memang luxury hotel. Begitu dapat kabar grup Alila buka hotel di Solo, saya langsung masukin ke bucket list. Semahal-mahalnya Solo berapa sih? 😉 Alhamdulillah kesampaian mencoba hotel Alila pas long weekend di bulan Mei kemarin.

Hotel Alila Solo ini masih baru, baru buka bulan November 2015. Beberapa fasilitasnya juga baru buka ketika saya menulis review ini, seperti rooftop bar dan spa. Saya memesan kamar deluxe lewat Agoda seharga US$ 83,61 atau sekitar 1 juta rupiah. Setelah membandingkan di Hotels Combined, waktu itu tarif di Agoda memang lebih murah. Harga sudah termasuk pajak dan sarapan gratis untuk 2 orang. Tarif ini sedikit di atas rata-rata karena bertepatan dengan liburan akhir pekan panjang.

Tentunya hotel ramai banget. Kami cek in sekitar pukul 7 malam setelah menempuh kemacetan kota Solo, sepulang dari Candi Cetho di Karanganyar. Begitu masuk ke lobi hotel Alila, saya langsung takjub banget. Padahal foto-foto lobi hotel ini sudah sering saya lihat di postingan seleb twit dan seleb instagram. Tapi tetap saja, aslinya lebih megah.

Kamar kami di-upgrade jadi Executive Room, yay! Alhamdulillah, rezeki Emak salehah 😉 Sementara saya cek in, anak-anak dan Si Ayah duduk di sofa dan disambut dengan welcome drink dan handuk hangat untuk cuci muka. Seger banget. Waktu itu kebetulan ada Ibu Eleonore, GM Alila Solo yang dengan ramah menyambut kedatangan kami. Kata beliau, malam ini hotelnya fully booked.

Begitu dapat kunci, anak-anak langsung lari ke lift dan buka kamar. Udah capek banget pengen rebahan ke kasur empuk. Tentu saya usir-usir karena harus… foto duluuuu. Maaf ya Nak 😀 Kamarnya luas (40 meter persegi) dan memang elegan banget, khas Alila. Saya suka desainnya yang simpel tapi terkesan mewah. Plus sentuhan dekorasi wayang yang membuat hotel ini Solo banget. Kasurnya ukuran king, jadi muat buat kami berempat. Orangnya memang mini-mini sih :p Tapi kalaupun nggak muat, ada sofa yang cukup nyaman untuk jadi extra bed. Begitu selesai foto-foto, duo precils langsung ambil remote dan nyalain TV segedhe gaban. Maklum, di rumah nggak ada TV yang bisa nyala. TV-nya 48 inci dan channel-nya lengkap, mulai dari berita, olahraga, sampai anak-anak.

Kami tidur dengan nyaman di sini. Kamarnya terasa tenang banget nggak ada gangguan suara apapun. Sepiii… Padahal hotelnya sedang penuh lho. Berarti soundproof-nya oke banget kan. Suara AC juga nyaris nggak terdengar.



Ini pose apaan sih? :p

Fasilitas kamar ini lengkap kap kap. Ya jelas, bintang lima! Dari meja kerja yang sleek, colokan di mana-mana, sampai akses internet dari wifi yang cukup kencang. Dari amenities wajib seperti botol air mineral sampai setrika dan papannya. Karena ini kamar eksekutif, kamar mandinya dilengkapi bath tub. Little A senang banget bisa mandi berendam dengan busa-busa melimpah. Saya suka sabun dan samponya yang wangi sereh. Tentu sisa toiletris-nya saya bawa pulang semua. Jadi ketika mandi di rumah, saya masih merasakan kemewahan bintang lima, hahaha.

Fasilitas kamar eksekutif yang paling saya suka adalah: mesin kopi! Terbiasa minum kopi enak, saya paling sebel kalau hotel hanya menyediakan kopi sesat, eh saset. Apalagi kalau di restorannya juga nggak ada mesin kopi. Gagal deh jadi hotel berbintang. Makanya begitu bangun pagi, saya langsung mencoba mesin kopi nespresso ini, yang dilengkapi dengan dua buah kapsul kopi. Alhamdulillah ada petunjuk cara menggunakan, bisa repot kan kalau sampai rusak :p Pagi itu, dua cangkir kopi lezat terhidang untuk saya dan suami. Kami berdua bisa menikmati golden time, ngopi sambil ngobrol sebelum anak-anak bangun. Alangkah sedapnya.

Lokasi Hotel Alila Solo di jalan Slamet Riyadi No 562, bagian barat kota Solo. Hotel ini dekat dengan mal Solo Square. Pusat perbelanjaan ini terlihat dari jendela kamar kami di lantai 8.

Ketika anak-anak sudah bangun, langsung saya ajak untuk sarapan. Saya sudah terbayang restorannya bakal ramai kayak apa karena kamarnya penuh semua. Dan memang benar, ramai pol. Staf Alila tampak hilir mudik melayani tamu dengan gesit. Kami juga diantar oleh waiter sampai mendapatkan meja untuk empat orang. Karena Big A sudah 14 tahun, dia sudah harus bayar tambahan tarif dewasa. Sementara Little A yang usianya 7 tahun pakai tarif anak-anak. Total saya bayar ekstra Rp 232.320 untuk sarapan. 

Pilihan makanan untuk sarapan sangat lengkap, dari makanan tradisional sampai ala Barat. Seperti biasa si duo lidah bule pilih makan roti panggang dengan olesan. Saya wajib mencicipi bubur ayam, sementara Si Ayah selalu menjajal makanan tradisionalnya plus sepiring salad. Bubur ayam cukup enak, rotinya bisa diterima duo Precils yang punya standar tinggi untuk bakery, Si Ayah juga hepi dengan macam-macam sambal yang tersedia. Saya paling terkesan dengan yoghurt dan muesli yang dihidangkan dalam gelas-gelas mini banget. Ini enaaaak… tapi kok kayaknya nggak banyak yang ambil. Selain itu, kami juga sempat mencicipi aneka sushi yang yummy dan tentunya diakhiri dengan buah-buah segar.

Saya sangat terkesan dengan pelayanan staf Alila di restoran. Tahu sendiri kan, suatu hotel atau tempat makan bakalan diuji ketika ramai pengunjung. Kalau menurut saya Alila lulus ujian dengan nilai bagus. Meskipun ramai, tampaknya semua tamu terlayani. Meja cepat dibersihkan, makanan selalu cepat diisi ulang, dan ketika saya meminta tolong salah satu staf untuk mengambilkan tusuk gigi, dia langsung menghentikan kegiatannya dan melayani saya. Pagi itu, saya mendapati Ibu Eleonore turun langsung ikut membersihkan meja. Pemimpin keren yang seperti ini kan, lead by example.

Suasana ramai juga tidak membuat restoran Epice ini rusuh. Saya lihat pengunjungnya kebanyakan warga lokal yang menikmati long wiken. Para pengunjung bisa antre dengan tertib, nggak sampai rebutan saat mengambil makanan 😀 Anak-anak disediakan high chair, jadi nggak ngider ke mana-mana. Kami punya cukup waktu untuk menikmati sarapan dengan nyaman tanpa takut diusir. Meski begitu, kami juga nggak terus berlama-lama, gantian dengan tamu yang lain. Lagipula kami masih punya agenda hari itu sebelum cek out: berenang!

Wajah kelaparan :p

Ini yang ditunggu-tunggu saya dan duo precils: mencoba kolam renang Alila yang super keren itu. Kolam ini ada di lantai 6, jadi satu dengan gym yang sayangnya belum sempat kami coba. Kolamnya luas banget, bisa untuk olahraga renang beneran, nggak cuma celup-celup. Di pinggirnya ada kolam-kolam dangkal untuk main. Masih ditambah kolam terpisah khusus anak-anak. Di kolam ini juga tersedia banyak kursi malas plus handuknya, semua pasti kebagian meski sedang ramai. Kita juga bisa pesan minuman dan snack kalau masih belum kenyang.

Yang lucu, di kolam ini ada beberapa bantal besar dan bean bag buat leyeh-leyeh manja di air. Little A langsung pose-pose cantik ala model begitu berhasil mendapatkan bean bag. Belum lancar berenangnya nggak papa asal gaya, hahaha. Kami main-main di kolam ini sampai puas, sampai tamunya tinggal kami aja. Nggak takut gosong? Nggak lah, kan udah pakai sunblock.

 
We had a fantastic stay at Alila Solo. Will definitely come back again when we visit Solo and when the kids club is open. Hotel ini saya rekomendasikan untuk keluarga yang mau staycation, mudik, atau mengunjungi Solo. Meski hotel baru, Alila Solo sudah mendapat ranking satu di Tripadvisor. Kapan lagi nginep di Alila dengan harga ‘hanya’ satu jutaan?

~ The Emak

Pengalaman Pahit ‘Diusir’ dari Potato Head Bali

Little A, sebelum kejadian

Tuhan memang maha asyik. Saya diajak guyon waktu liburan sekeluarga ke Bali tempo hari. Sabtu pagi saya dibuat jumawa karena profil keluarga kami dimuat di koran Jawa Pos, bersanding dengan profil Mbak Nyomie yang sudah naik turun gunung membawa anaknya dan juga Mbak Sha Ine Febriyanti, aktris papan atas. Lha apalah saya ini, Emak-Emak ndeso yang ikutan nampang di koran. Jelas saya besar kepala. Sabtu siangnya kami disambut dengan sangat ramah di hotel Tugu di Canggu Bali. Di hotel mewah ini semua keinginan kami bisa dituruti. Mau afternoon tea di bale-bale? Boleh. Mau sarapan di pantai? Monggo. Di sini tamu bagaikan raja, kami sampai menyesal karena hanya menginap satu malam saja. Lha gimana lagi, menangin voucher hotel-nya cuma untuk satu malam :p. E lha kok Minggu sorenya kami ‘diusir’ dari beach club yang tersohor di daerah Seminyak ini. Ha-ha-ha.
Saya bukan penggemar beach club atau tempat yang ramai-ramai. Kami ‘nyasar’ ke Potato Head karena diajak adik saya Diladol. Dia sekeluarga memang liburan juga ke Bali, tapi jadwal kami berbeda. Saya menginap di Canggu sementara dia menginap di hotel murah di Kuta. Beda kelas, guys! *kibas kartu kredit* Jadi kami memutuskan untuk ketemuan di sini sambil (rencananya) leyeh-leyeh melihat sunset di Seminyak. Rencananya…

Mendengar kata beach club, saya langsung teringat Kak kancut Cumilebay. Saya baca review potato head di lapaknya. Kayaknya tempatnya oke punya. Tapi saya nggak yakin kalau tempat ini kids friendly. Eh ternyata Kak Tesya dan kiddosnya pernah ke sini dan ditulis di blognya. Cukup family friendly menurut Kak Tesya, ada kolam renang untuk anak pula. Sip!

Kami sampai di sini sekitar jam 3 sore diantar sopir Hotel Tugu yang sabar banget menghadapi kemacetan jalanan karena bubaran upacara melasti. Jalan masuk ke Potato Head ini semacam kios kecil yang dijaga sekuriti. Semua orang diperiksa. Si Ayah dilarang membawa tripod-nya. Huwooo… nggak jadi motret sunset dong. Masuk ke sini dilarang bawa makanan dan minuman. Saya kebetulan masih membawa botol air mineral, petugas tidak menyita tapi meminta saya untuk menyimpannya di tas saja, tidak boleh diminum di dalam. Hokeee…

Setelah lolos sekuriti, kami disambut waiter. “Apa ibu pernah ke sini?” kata waiter bernama David (atau Dafid, atau Daveed, entahlah). Karena saya bilang belum pernah, dia menjelaskan aturannya. Ada dua venue yang bisa dipilih, yang Indonesia atau Internasional. Makanannya ya Guys, bukan orangnya. Saya tadinya pilih resto internasional karena anak-anak bakal lebih suka makan roti atau pasta, tapi ternyata sudah penuh. Ya sudah akhirnya kami dapat tempat duduk di resto Lilin, masakan Indonesia. David mengatakan kami bisa pesan di resto Internasional asalkan kami juga memesan di resto Indonesia. Kata David kami boleh ke mana saja di area beach club ini dan menggunakan fasilitas apa saja yang tersedia. Baiklah.

Harus saya akui, arsitektur Potato Head ini oke banget. Apalagi kabarnya seniman top Indonesia, Eko Nugroho dilibatkan dalam proyek ini. *sungkem mas Eko* Yang paling keren tentu saja dekorasi dari daun-daun jendela yang dipasang mengelilingi venue ini. Sungguh selfieable dan instagrammable.

Urip mung mampir selfie

Little A langsung berganti bikini dan bermain di pantai, ditemani Si Ayah. Saya menemani Big A yang hari itu kurang enak badan. Kami memesan minuman di sini yang harganya mulai 40-60 ribu untuk minuman tanpa alkohol. 

Keluarga Diladol akhirnya datang dan bergabung dengan kami. Cousin K juga mau main di pantai. Sejam kemudian kami baru pesan makanan, setelah buku menu diambil tanpa permisi dari meja kami, hahaha. Menu makan yang ada di sini adalah set menu untuk tiga porsi, harganya mulai 150 ribu, belum termasuk nasi. Big A pengen chicken wings. Tadinya dari penuturan Si David, dari set menu ini saya cuma bisa pilih satu macam, dan akan disajikan dalam 3 porsi. Huh? Waktu itu saya sampai tanya: jadi saya nggak bisa pesan 3 macam makanan untuk set menu? “Tidak Ibu, hanya pilih satu menu saja.” Ternyata kata pelayan bisa memilih 3 menu. Agak gak beres Si David ini. Porsinya memang kecil-kecil banget. Gak bakalan kenyang sih, cuma bisa untuk ganjal perut saja. Big A suka banget chicken wings-nya, sayangnya cuma dapat dua biji 🙂

Menjelang matahari terbenam tampaknya Dila mulai kewalahan mengejar Cousin K yang berlarian ke mana-mana. Yah namanya anak-anak. Akhirnya mereka pamit duluan. Saya membilas Little A yang bikininya penuh dengan pasir. Sepertinya dia sangat menikmati waktu bermainnya di pantai. Memang sih kalau pantai di depan beach club begini bersih dan lebih sepi. Pantainya pun tetap terbuka untuk umum kok, tapi mungkin memang harus jalan agak jauh dari ‘gerbang‘ pantai yang umum. Toilet di PH juga bersih, luas dan adem banget. Petugas cleaning service sangat ramah pada kami, menunjukkan jalan dan membukakan pintu. Setelah bilas sampai bersih, saya mulai menyuapi Little A dengan nasi zaitun dan sayap ayam. Ketika itulah ada pelayan resto yang menghampiri kami dan mengatakan bahwa waktu kami tinggal 15 menit lagi, karena tempat ini sudah di-booking. “Masih lama kok, masih limabelasmenit,” katanya sambil nyengir. Saya dan Si Ayah berpandang-pandangan. Hah, memangnya ada batasan waktu di sini? 

Saya tidak ingat kalau ada aturan soal batasan waktu di sini. Yang saya baca dari tulisan teman-teman di blog, kalau main ke beach club ya minimal bakalan nongkrong sampai sunset. Ketika datang di awal juga tidak diberi tahu. Sungguh nggak nyaman banget, diingatkan untuk pergi saat saya sedang menyuapi Little A. Di situasi seperti ini mau nggak mau saya dan Nino (suami saya) jadi berpikir, apakah kami akan mendapat perlakukan seperti ini kalau kami bule. Keluarga bule di seberang kami anteng-anteng aja nggak diganggu gugat. Sementara yang duduk-duduk di dekat kolam renang (kabarnya harus transaksi minimal 500 ribu) sepertinya juga tetap akan berpesta sampai sunset.

Padahal kalau dipikir-pikir, kami ini kurang Ngostraliyah apa coba? Suami saya kuliah di Ostrali. Little A lahir di Sydney. Big A masih lebih lancar ngomong bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Anak-anak ini lebih doyan roti dan keju (dan vegemite!) daripada nasi. Ironis ya? Intinya sih, kami gagal menyamar jadi bule, hahaha. Gak mungkin kamu akan diperlakukan seperti bule kalau kulit kamu coklat, rambut kamu hitam.

Mungkin memang tampang saya lah masalahnya. Tampang saya yang sederhana ini. Kalau saya pinter pakai benges lipenstik seperti blogger termashyur Simbok Olenka mungkin bakalan beda perlakuannya. Atau saya berdandan ala hijaber kondang pakai kacamata hitam besar meski di ruang tertutup (seriously), mungkin bakalan beda pelayanannya. Atau apakah saya semestinya cas cis cus pake basa enggres dengan si David agar lebih dihormati? Mas dan Mbak, Bali ini masih Indonesia kan? Saya akan tetap pakai bahasa Indonesia selama saya di Indonesia kalau yang saja ajak bicara orang Indonesia juga.

Akhirnya Si Ayah bangkit dan menanyakan apa alasan kami disuruh pergi dengan halus. Ini kami masih tanya baik-baik ya. Si pelayan (yang berbeda dari yang mengusir kami) tidak bisa menjelaskan, dia hanya bilang bahwa meja kami sudah ada yang memesan. Dia tidak bisa berkomentar tentang batasan waktu (mungkin memang tidak ada?). Lha kalau masih ada yang duduk di sini kenapa mejanya dikasih orang? Si pelayan meminta maaf tapi tidak menyelesaikan masalah. The damage has been done.

Meski mungkin si pelayan tidak akan benar-benar mengusir kami, saya sudah tidak nyaman duduk di meja. Oke, kami akan pergi, tapi setelah saya habiskan makanan seharga 400 ribu ini, biar nggak mubazir. Sakit hati saya juga karena saya sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit, tapi mendapat pelayanan yang buruk, sangat tidak sepadan. Masih mending adik saya, Dila, yang meski mengaku jadi food blohher tapi keukeuh pesen satu minuman doang dan ‘cuma’ habis 60 ribu. Modal 60 ribu kalau ‘diusir’ mungkin sakit hatinya dikit aja :p Lha saya? Pahit bener. Ternyata memang pinteran strategi adik saya daripada saya 😀 Kalau nggak pakai diusir’ mungkin ya asyik-asyik aja di PH. Baca cerita tentang Potato Head di blognya.

Setelah membayar dan sebelum pergi, Si Ayah sekali lagi menanyakan alasan kami ‘diusir’. Kali ini pakai bahasa Inggris yang faseh agar diperhatikan sama waiter-waiter trendi itu. Eh Si David bilang kalau dia sudah memberi tahu saya kalau kami diberi batasan waktu. “YOU LIE!” semprot Si Ayah. Duh, merinding disko gak sih dibelain suami kayak gitu? Emang David nggak pernah kasih tahu saya, Si Ayah tahu karena ada di belakang saya ketika saya bicara dengan David. Lagipula, kalau dia memberi tahu saya kalau kursi itu cuma bisa dipakai sampai sebelum sunset, saya bakalan menolak karena rencana awal saya dan Dila adalah menikmati sunset. Si Ayah yang cas cis cus minta dipanggilkan manajer. Si manajer yang kata para waiter sedang sibuk itu akhirnya datang juga dan meminta maaf. Manajer menawarkan free drink untuk Si Ayah. “No, I don’t need your drink,” balasnya. Ya udah deh, kuliah gratis tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia oleh pak dosen :p

Menurut Si Ayah, David si waiter ini dari awal memang nggak pengen kami ada di area internasional. Saya jadi ingat, awalnya dia menawarkan pada saya, mau di area internasional atau Indonesia? Ketika saya memilih area internasional, si David malah bilang kalau sudah penuh. Lha kenapa tadi ditawarkan? Apa dia tiba-tiba berubah pikiran? Jadi ada tiga ‘kesalahan’ si David ini, setidaknya menurut asumsi kami. Entah dia sengaja atau tidak, kami tidak tahu.
1. Menghalangi kami duduk di area Internasional.
2. Memberi info yang tidak benar tentang menu set. Saya hanya boleh pesan satu jenis, padahal boleh pesan tiga.
3. Memberikan tempat duduk kami kepada orang yang booking dan berkata bohong bahwa dia sudah bilang pada kami kalau ada batasan waktu.

Ketika kami menunggu pesawat di bandara Ngurah Rai, saya menerima email dari manajer Potato Head. Dia meminta maaf atas kejadian yang kami alami dan menawarkan gantinya kalau kami ingin ke sana lagi. Thank you but no. I wish I could undo this experience. Biar saya nggak usah ingat-ingat lagi. Rasanya saya nggak sanggup datang ke Potato Head lagi. Saya sungguh marah dan terhina diperlakukan tidak baik, lebih parah lagi, oleh bangsa sendiri. Seharusnya dengan harga makanan dan minuman seperti itu, Potato Head punya standar pelayanan yang sangat tinggi dan tidak membeda-bedakan tamu lokal dan internasional.

Saya menunda menulis pengalaman ini untuk memberi waktu agar kemarahan saya mereda. Tapi nyatanya sampai sekarang masih saja baper sakit hati kalau ingat ini. Ketika berkunjung ke Singapura, saya sempat singgah ke kafe Three Buns, yang masih satu grup dengan Potato Head. Di sana saya dilayani dengan baik, meski memang sebagian besar tamunya adalah expatriat, bukan orang Asia. Sementara pengalaman saya di negeri sendiri… Saya menulis untuk mengingatkan siapa pun di dunia hospitality agar selalu menghargai tamu, tidak peduli asal usulnya atau tampang sederhananya. Kalau memang ada aturan tertentu untuk tamu sebaiknya ditulis dan dijelaskan dengan gamblang di awal, tapi berlaku untuk semuanya ya, jangan membeda-bedakan.

Adakah yang pernah mendapat perlakuan yang nggak enak di beach club? Share di komentar ya. Thanks for reading ^_^

>>> UPDATE 18 APRIL 2016 <<<
Pihak Potato Head pusat sudah menghubungi saya melalui telepon. Berikut adalah statement dari PH.

“Kami telah berbicara langsung dengan Ibu Ade Kumalasari. Kami sangat menyesali dan sungguh meminta maaf kepada Ibu beserta keluarganya atas kesalahan komunikasi yang telah terjadi dan atas pengalaman yang tidak menyenangkan di Potato Head Beach Club.

Kami selalu menginginkan pelayanan terbaik kepada semua pelanggan kami dan berkomitmen untuk memperlakukan semua pelanggan kami secara sama, yaitu sebagai tamu terhormat di rumah kami. Ini adalah nilai perusahaan yang kami ajarkan kepada semua anggota staf kami. Kami adalah perusahaan Indonesia yang dioperasikan oleh orang Indonesia, dan kami menyambut dan menghargai semua tamu kami dengan setara tanpa membeda-bedakan.

Terima kasih Ibu Ade atas inputnya. Kami akan meningkatkan pelatihan kami agar staff kami lebih lengkap sewaktu memberikan informasi dan berkomunikasi, dan supaya kami bisa memberikan pelayanan yang terbaik kepada semua tamu kami.”

Dengan ini saya nyatakan masalah ini selesai ya. Semoga Bali tetap menjadi destinasi yang nyaman bagi kita semua. Terima kasih atas dukungan teman-teman semua.

Empat ratus ribu tapi rasanya pahit :'(

Ps: untuk review Potato Head yang lebih ceria dengan foto makanan yang lebih menggairahkan, baca di blog Dila ya.

Pengalaman Memakai Grab Car di Bali

Disclaimer:
Cerita ini berdasarkan pengalaman kami ke Bali tanggal 5-6 Maret 2016. Kebijakan operasional Grab atau tarif mungkin berbeda di lain waktu. Cerita ini tidak disponsori oleh Grab, kami membayar sendiri semua pengeluaran kami 🙂

Ketika keluarga saya dan keluarga adik saya, @diladol, akhirnya memutuskan ke Bali bareng, kami mulai kasak-kusuk mengusahakan transportasi selama kami di sana. Enaknya gimana? Sewa mobil, sewa motor, naik taksi, pakai Uber, atau pakai Grab? Tadinya adik saya sekeluarga (anaknya baru satu, ponakan saya K yang keren, umur 2 tahun) mau sewa motor saja. Sementara dari bandara ke hotel mau numpang saya naik Uber, karena kabarnya Grab Car dilarang beroperasi di bandara Ngurah Rai.


Saya tadinya mau menyewa mobil. Browsing di internet dan nanya teman, sewa mobil selama 12 jam termasuk sopir dan bensin Rp 500 ribu. Tapi setelah saya pikir-pikir, rencana kami kan nggak mau keliling ke mana-mana, cuma mau ngendon di hotel aja, jadinya sewa mobil bakalan mubazir. Sayang uangnya. Fyi, meski liburan bareng, saya dan adik saya menginap di tempat berbeda. Adik saya di hotel bintang 3 di Kuta, sementara saya dan precils di hotel bintang 5 di Canggu. Yah, sesuai tingkat kesejahteraan lah, hahaha. Menjelang hari H, ponakan K malah sakit flu, jadinya mereka memutuskan nggak jadi sewa sepeda motor. Kami putuskan mau coba pakai Uber dan Grab Car aja, sambil lihat nanti di lapangan kayak apa.

Keluarga kami mendarat di Ngurah Rai airport lebih dulu dari keluarga Dila. Ya kan Surabaya lebih dekat dari Jogja :p Sembari menunggu Dila cs, saya iseng bertanya tarif transfer dari bandara di gerai Golden Bird yang ada di area kedatangan domestik. Tarif Golden Bird ke Kuta 200 ribu, dengan mobil Avanza, jadi muat untuk kami bertujuh. Oke deh, saya cek toko sebelah dulu ya, hehe.

Setelah kami semua ngumpul, saya sudah siap-siap pakai Uber, tapi saya ragu karena di apps saya tidak bisa memilih jenis mobil. Nanti kalau dapatnya mobil kecil bagaimana? Nggak muat untuk 4 dewasa dan 3 anak. Lalu Si Ayah mencoba pesan taksi bandara di booth resmi, dekat pintu keluar. Katanya tarif dari airport ke Hotel Gemini Star di Kuta 110 ribu. Glek! Itu pun untuk mobil sedan biasa yang cuma muat berempat. Walah, mihil bingits. Mana bapaknya yang jaga galak banget. Ini gimana mau laku ya taksinya? Ketika kami masih berunding, dia teriak-teriak, “JADI PESEN APA NGGAK? KALIAN MENGHALANGI ANTREAN!” Padahal nggak ada orang di belakang rombongan kami. Good bye lah, belum juga naik taksi udah dimarah-marahi.

Akhirnya adik saya yang pintar, cekatan dan tidak sombong mencoba membuka app Grab. Aplikasi ini sama dengan app Grab Taxi di kota lain, bisa diunduh di iOS atau android. Begitu dibuka, app ini langsung tahu posisi kita. Bagian pick-up langsung terisi Ngurah Rai Airport (DPS). Tinggal memasukkan drop-off, ke mana kita ingin diantar. Adik saya memasukkan Hotel Gemini Star dan memang langsung bener lokasinya di daerah Gg Poppies II Kuta sana. Begitu lengkap pick-up dan drop-off nya, langsung kelihatan kisaran tarifnya berapa. Di app muncul Rp 25K, dari airport ke Kuta. Setelah klik “Book GrabCar” si app ini akan tuing-tuing mencarikan driver untuk kita. Gak sampai semenit langsung dapat. Begitu dapat, Dila bersorak dan langsung menelepon Pak Driver. Ternyata mobil Pak Sopir ini sudah ada di bandara, dia memberi tahu agar kami menuju ke bagian keberangkatan domestik. Mobilnya APV warna putih, nomor polisinya sudah kelihatan di app. Rombongan kami bergegas berjalan ke departure. Begitu melihat mobil APV Pak-nya, kami melambai dan mobil menepi di tempat drop off keberangkatan. Pak-nya menyapa dengan ramah. Alhamdulillah kami bertujuh muat di mobil APV yang lapang dan bersih ini. To Kuta we go!


“Untung aku tadi nyoba Grab ya,” kata Dila dengan bangga. Ternyata Grab Car tetap bisa dipesan dari bandara, padahal dari berita dan blog yang saya baca, Grab dilarang beroperasi di bandara. Tapi pantas saja kalau taksi bandara merasa terancam dengan keberadaan Grab, mereka tidak bisa seenaknya sendiri melipatgandakan tarif. Saya selalu merasa dirampok dengan layanan taksi bandara. Selain kenaikan harganya sangat tidak wajar, pelayanannya pun buruk. Meski sudah membeli kupon di gerai resmi, sampai tempat tujuan masih dipalak oleh sopir. Ini terjadi tidak hanya di bandara Bali. Pinter banget ya cara Angkasa Pura menyambut turis? 😐

Sementara dengan Grab Car, tarif dihitung per-kilometer, tidak terpengaruh dengan macetnya jalan. Sebelum naik, kita diberi kisaran tarif. Setelah sampai di tujuan pun, tarif tidak banyak berubah, dan driver tidak meminta uang lebih.

Dari bandara ke Kuta, kami bertujuh hanya diminta membayar 27 ribu. Murah banget kan hitungannya? Tentu kami memberi tip ke driver yang menyelamatkan kami dari taksi bandara yang overprice dan pelayanannya kasar.

Selanjutnya, saya memakai jasa Grab Car terus selama di Bali. Dari hotel Gemini Star di Kuta menuju Hotel Tugu di Canggu, saya cukup membayar 66 ribu, dengan lama perjalanan satu jam. Tentu saya memberi tip ke driver. Di rute ini, mobil yang kami naiki Avanza, masih cukup baru, bersih dan wangi. Driver ramah dan tidak banyak bicara, namun cukup pandai melewati jalan-jalan sempit di Bali, bahkan melewati jalan tembus berupa pematang sawah berkonblok menuju Canggu.

Dari Hotel Tugu sampai ke Potato Head di Seminyak, kami diantar mobil hotel. Sementara dari Seminyak ke bandara, kami kembali memakai Grab Car. Biayanya hanya 56 ribu. Kalau dihitung-hitung, total pengeluaran kami untuk Grab Car jelas lebih murah daripada kalau sewa mobil harian.

 

Di banyak tempat, saya melihat spanduk-spanduk yang menolak Grab Car dan Uber. Ada beberapa tempat yang melarang Grab dan Uber mengambil penumpang, meski mereka boleh menurunkan penumpang yang naik dari lokasi lain. Ketika saya memesan Grab di Potato Head, drivernya meminta agar tidak menyebutkan kalau dijemput Grab. Ya tinggal bilang aja dijemput driver sih, emang bener kan? Tapi nggak ada yang nanya juga 😀 Lagipula Grab Car nggak bisa dideteksi karena memang memakai mobil biasa.

Saya sendiri sebagai konsumen, sangat puas dan terbantu dengan adanya Grab Car. Tarifnya lebih murah dan pasti, bisa muat untuk keluarga atau rombongan, dan pelayanannya cukup bagus. Sekarang konsumen memang semakin punya pilihan, sudah waktunya perusahaan yang mengutamakan layanan ke penumpang yang menang.

Kalau kalian gimana, pakai transportasi apa selama di Bali? Ada yang punya pengalaman naik Grab Car atau Uber di Bali? Tulis di komentar ya ^_^

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Luxury Stay at Hotel Tugu Bali

Dari dulu saya sudah ngincer pengen merasakan menginap di sini. Grup Tugu memiliki beberapa hotel yang cantik dan unik di Indonesia, yaitu Tugu Malang, Tugu Lombok, Tugu Blitar dan Tugu Bali ini. Saya pernah makan dan diajak tur di hotel Tugu Malang. Keren banget memang, jadi pengen mencoba semua properti Tugu.

Makanya… ketika akun instagram @kartuposinsta mengadakan #KartuposAuction, saya sudah bertekad harus menang. Alhamdulillah berhasil 🙂 Voucher hotel Tugu ini sebenarnya bisa digunakan sampai bulan Desember 2016, tapi akhirnya kami pakai awal Maret ini agar bisa bareng dengan Tante @diladol. Big A kebetulan juga punya tiket Garuda yang belum terpakai, jadi dia bisa mencoba terbang sendiri ke Bali, sementara saya, Si Ayah dan Little A naik pesawat yang lebih murah, hehehe. Cerita Big A, in her own words, bisa dibaca di sini.

Kami naik Grab Car sampai Canggu, dari Kuta sekitar 1 jam, melewati jalan-jalan tembus yang sempit, bahkan lewat pematang sawah yang hanya pas untuk satu mobil. Ngeri-ngeri sedaaap :))

Begitu masuk lobi hotel, kami disambut dengan ramah oleh Pak Pande dan staf hotel lainnya, yang langsung tahu nama saya. Saya sempat ge-er, sudah mulai terkenal nih saya. Tapi setelah bisa mikir dengan jernih, tentu saja mereka gampang menebak karena wajah saya paling Indonesia dibanding tamu-tamu bule lainnya 🙂

Antre cek in di hotel Tugu nggak perlu berdiri di depan konter. Kami bisa duduk-duduk di sofa empuk sambil menikmati welcome drinks, yang bisa dipilih sesuai selera masing-masing. Lobi hotel ini mengesankan sekali, bangunannya bergaya pendopo dengan pilar-pilar kayu dari pohon utuh. Di tengahnya ada panggung untuk pementasan tari. Dan di panggung tersebut terdapat patung garuda besar yang ikonik. Little A sampai bengong menatap patung ini.

Yang paling saya takutkan setiap kali membawa keluarga menginap di hotel adalah hotelnya nggak ramah sama anak-anak. Sempat ragu juga waktu mau bawa anak-anak menginap di Tugu, karena hotel ini lebih terkenal sebagai hotel mewah untuk honeymooner. Tapi ketakutan itu langsung lenyap dengan sambutan yang ramah dari staf di sini. Little A langsung merasa seperti di rumah sendiri dengan mengomentari banyak hal, tapi terutama jus apelnya yang menurut dia seger banget.

Ada dua pilihan kamar ‘biasa’ di hotel Tugu. Dedari Suite yang terletak di bawah, dengan kolam renang kecil dan kamar mandi semi terbuka. Satunya lagi Rejang Suite yang ada di lantai atas, dengan pemandangan ke laut, balkon terpisah dan spa pribadi. Si Ayah memilih kamar yang di atas biar bisa melihat laut. Saya setuju saja, karena saya lihat kolam renang pribadi yang di bawah hanya kecil, cuma cukup untuk celup-celup, bukan berenang beneran. Tapi, kalau boleh memilih sih, saya pengennya menginap dua malam dan bisa coba dua-duanya 🙂 Kalau di kolam renang pribadi kan bisa pakai bikini, bukan burqini :p

Room boy mengantar kami ke kamar, naik melewati tangga berputar. Dia juga menjelaskan fasilitas yang ada di kamar, berikut cara kerja listrik, kunci dll. Saya manggut-manggut saja. Begitu room boy keluar, baru lah kami sekeluarga bebas mengekspresikan kekaguman kami pada kamar yang luasnya 75 meter persegi ini. Norak-norak bergembira seperti biasa, hahaha. Saya terpesona dengan dua lemari kayunya yang menjulang tinggi sampai langit-langit, yang dikunci dengan selot kayu juga. Big A langsung mencari posisi wuenak di day bed samping jendela, karena masih dalam tahap penyembuhan dari sakit batuknya, dia kurang begitu semangat. Sementara itu Little A main seluncuran di lantai kayunya yang licin mengilap. Si Ayah menginspeksi meja kerja di balkon untuk tempatnya mengerjakan PR nantinya.      

Saya langsung mengkalkulasi ketersediaan kasur untuk malam nanti. Ada satu ranjang besar ukuran king, pastinya muat untuk kami bertiga, dengan Little A di tengah. Sementara Big A bisa tidur di day bed yang cukup nyaman, dengan tambahan selimut yang bisa saya mintakan ke housekeeping. Tapi pada praktiknya, kami berempat tidur di ranjang utama, cukup nyaman dan hangat dengan bantal yang empuk banget dari bulu angsa.

Di atas meja, ada rangkaian bunga khas Bali dengan kartu ucapan untuk saya dan juga sepiring buah-buahan tropis untuk camilan. Untuk minum ada empat botol air mineral dan beberapa kantung teh Dilmah dan kopi dari plantation mereka sendiri. Logistik aman sampai nanti.

Happy Little A in front of a mirror

Ketika saya tanya ke Little A, apa yang paling berkesan di hotel Tugu, dia bilang bath tub-nya. Saya setuju banget! Bak mandi yang ada di kamar Rejang ini sangat banget. Bentuknya bulat, cukup untuk nyemplung berempat sebenarnya. Kami bertiga berendam di bath tub setelah berenang sebentar di kolam renang hotel. Sementara Si Ayah masih sibuk dengan PR-nya di meja sebelah, hahaha. Sabun dan sampo yang disediakan hotel cukup wangi, bisa untuk bubble bath dua kali. Saya paling suka sabun batangan mereka yang beraroma sereh. Sabun cair dan sampo diletakkan di wadah seperti kendi dari tanah liat, jadinya nggak bisa dibawa pulang. Saya cuma bisa bawa pulang sabun serehnya doang. Emak-emak nggak mau rugi banget :p

Kamar mandi pancuran dan toilet ada di sisi satunya lagi, tidak jadi satu atau ada di dekat bath tub. Pertama kali masuk kamar mandi shower, saya sempat kaget karena ada penunggunya: patung Simbok Gemuk lambang kesuburan. Big A juga kaget dan kurang nyaman mandi bareng Simbok. Saya yang tadinya mikir bakalan terbiasa sama kehadiran Simbok ini, ternyata tetap ‘mak tratap‘ juga waktu masuk kamar mandi, tetep kaget. Owalah simbok, simbok!

Toiletnya terpisah dari kamar mandi. Kebetulan di kamar saya ini toiletnya belum dilengkapi penyemprot air/bidet. Kami bisa akali sih, kan ada wastafelnya di dalam toilet. Lagipula sudah banyak latihan pas tinggal di Ostrali sono 😀 Sebenarnya, kata pihak hotel, di sebagian besar kamar yang ada, toiletnya sudah dilengkapi penyemprot air/bidet/washlet. Tinggal rikues aja sih, dijamin bakal dikasih. Saya nggak minta ganti kamar karena sudah pewe, posisi wuenak banget. Anak-anak juga udah susah diangkut, masing-masing udah mojok hepi.

Setelah leyeh-leyeh sebentar, kami turun untuk berenang. Lingkungan hotel ini cukup asri, enak dipandang mata. Kolam renangnya tidak besar, tapi cukup untuk membakar kalori dengan beberapa lap. Bagian dangkalnya 60 cm, sedangkan bagian dalamnya 150 cm. Little A bisa ditinggal bermain sendiri di bagian dangkal sementara balapan dengan Big A yang tentu saja dimenangkan dia yang sekolah renangnya di Sydney Uni.

Hotel ini hanya mempunyai 24 kamar, jadi suasananya tidak ramai dan hiruk pikuk seperti hotel besar. Ketika kami berenang, hanya ada sepasang Opa Oma yang leyeh-leyeh di tepi kolam, yang satu tiduran, satunya membaca buku. Untungnya anak-anak saya tipe yang kalem, jadi kegiatan kami tidak mengganggu mereka.

Setiap sore, tamu di Tugu hotels bisa menikmati afternoon tea dengan sajian kue-kue tradisional dan pilihan teh sesuai selera. Sajian teh sore ini bisa dinikmati di mana saja. Kami memilih menikmatinya di taman tepi pantai, sekaligus menikmati matahari terbenam. Saya mencoba teh melati sementara Si Ayah meminta teh jahe. Big A sedang ingin minum kopi flat white. Kue-kuenya kami bawa sebanyak mungkin, biar malamnya nggak kelaparan 😉 Big A terutama suka kue klepon (kue bulat berwarna hijau dari tepung ketan yang digulingkan ke parutan kelapa, didalamnya ada gula merahnya) sampai harus berebut dengan jatah Little A.

Beach garden, properti milik hotel Tugu ini ada di tepi pantai Batu Bolong. Di sini terdapat kursi santai, meja kursi untuk makan dan juga bale-bale (dipan yang bisa dipesan untuk tempat makan malam romantis). Kami menikmati minum teh di bale-bale berhiaskan kain-kain merah yang cantik.

Di sebelah lapangan rumput milik Tugu ada The Lawn, tanah lapang untuk para bule jelata umum. Di sini sepertinya bisa membeli minum dan meminjam peralatan piknik. Ada ayunan, papan keseimbangan dari tali, dan bahkan ada yang berlatih juggling. Suasana cukup ramai tapi masih nyaman. Orang-orang yang ada di sini tipe yang pengen santai-santai menikmati pantai, bukan yang berisik dan mengganggu.

Tugu Beach Garden
The Lawn
Pantai yang ada di sebelah hotel Tugu ini namanya pantai Batu Bolong, terkenal sebagai pantai untuk berselancar karena ombaknya yang cukup besar. Pasirnya tidak putih, tapi cukup bersih. Menjelang sunset, Little A mulai berbasah-basahan di air, menemani Si Ayah yang asyik motret. Saya suka pantai yang tidak terlalu ramai seperti ini. Meski harus berbagi dengan pengunjung lain, Little A masih punya spot pribadinya. Tidak ada pedagang asongan yang terlihat. Tapi juga tidak ada penjaga pantainya. Untuk yang mau berenang di pantai ini perlu berhati-hati karena ombaknya cukup besar. Daerah Canggu yang yang terletak di antara Seminyak dan Tanah Lot ini bisa menjadi alternatif main ke Bali bagi yang sudah bosen ke Kuta yang ramai.
Yang mungkin bisa mengganggu adalah anjing-anjing yang berkeliaran di sekitar pantai. Bukan anjing kampung buduk sih, mereka tampak bersih dan tidak berbahaya. Tapi bagi yang takut anjing mungkin akan kurang nyaman juga karena mereka mengendus-endus setiap orang yang duduk-duduk di pantai, mungkin mencari makanan.
Menjelang magrib, para surfer mengangkut papan selancar mereka untuk pulang. Little A pun harus mengakhiri main-main di pantai meski belum puas.

Tadinya saya pengen jalan-jalan menyusuri pantai di pagi hari. Tapi setelah pagi datang kok jadi malas ya? Hahaha. Padahal kalau mau jalan sedikit bisa sampai di pura melihat keramaian umat Hindu yang beribadah melasti. Sejak subuh, sudah banyak orang Bali yang berbondong-bondong melewati jalan di samping hotel kami menuju pura. Melasti adalah upacara untuk menyucikan benda-benda sakral, yang dilakukan menjelang Hari Raya Nyepi.  

Akhirnya saya dan Si Ayah kencan sarapan saja di taman tepi pantai. Saya memesan paket sarapan tradisional (150K) untuk Si Ayah dan paket sarapan Babah (180K) untuk saya. Hotel Tugu tidak menyediakan sarapan buffet, semua menu bisa dipilih sendiri dan bisa diantarkan ke mana saja sesuka hati kita, mau di kamar, di lobi, di dekat kolam, atau di pinggir pantai juga bisa. Pagi itu di pantai, saya lihat sudah banyak yang mulai berselancar, sepagi itu. Si Ayah juga membawa peralatan berselancar… di internet :p

Makanan kami datang setelah satu jam, hiks. Ini mungkin salah saya juga sih. Saya memesan dua jenis sarapan, satu untuk kami di pantai, satunya lagi untuk anak-anak di kamar. Saya bilang yang untuk anak-anak tolong diantar satu jam lagi, karena waktu itu mereka masih tidur. Eh, mungkin mereka salah paham mengira sarapan kami juga mintanya satu jam lagi.

Tapi gara-gara lapar, makannya jadi tambah nikmat. Paket Si Ayah terdiri dari nasi goreng, bubur ketan hitam, buah potong dan kopi. Paket saya terdiri dari bubur ayam, dimsum, buah potong dan kopi. Saya dari dulu selalu mewajibkan untuk mencicipi setiap bubur yang ada di hotel. Yang ini buburnya lumayan lah, cukup terasa enak kaldunya, tidak terlalu asin. Sementara untuk Si Ayah, nasgornya kurang pedas! Dia meminta sambal ulek, alhamdulillah segera datang sebelum nasgornya habis. Memang sih, kalau di hotel bintang 5, kalau ingin pedas harus bilang dari awal, karena biasanya bumbu makanannya mild, disesuaikan dengan lidah internasional.

Saya cukup senang dan puas dengan kencan pagi ini, bisa makan dan ngobrol sama Si Ayah tanpa gangguan anak-anak yang masih tidur di kamar. Hanya ditemani debur ombak di kejauhan, ish

Untuk anak-anak, sarapannya saya pesankan bakery basket (75K) yang berisi empat potong roti pilihan dan 2 gelas susu segar. Saya pilihkan 2 toasted whole wheat bread, croissant dan danish. Untuk olesannya, kami diberi mentega dan homemade jam yang enak banget: selai nanas, selai jambu biji, dan satu lagi saya nggak tahu campurannya apa aja, tapi enak!

Sebelum cek out, kami sempat diantar keliling hotel oleh Mbak Retno, untuk melihat kamar-kamar yang lain, tempat spa, galeri koleksi benda antik dan pilihan tempat makan yang tersedia. Karena biasanya tamu yang menginap adalah honeymooner, Tugu punya tempat spa yang spesial. Ada paket lengkap spa selama 8 jam untuk pasangan, termasuk diselingi makan siang. Saya membayangkan kalau Si Ayah ikutan ini, pasti bakalan sukses tertidur begitu kepalanya mulai nempel di dipan 🙂

Kami juga dibawa melihat Bale Puputan, dining hall yang bisa dipesan untuk 
makan malam istimewa. Salah satu paket makan istimewa mereka adalah Royal Tugudom Dining. Tamu akan dibawa ke era majapahit, diperlakukan seperti raja, dengan makanan yang dibawakan oleh pelayan, penduduk desa, dan prajurit. Tamu juga akan disuguhi tarian di antara acara makan.

“Ya ada, Mbak, yang pesan paket ini?” tanya Si Ayah keheranan.
“Banyak, Pak,” kata mbak Retno, “terutama tamu-tamu dari Eropa.”

Saya nggak seheran itu sih, kalau memang uangnya ada, kenapa nggak dipakai untuk membeli pengalaman yang unik, yang nggak akan hilang kenangannya. Setelah melihat satu dining venue lagi yang atapnya memakai kuil Tiongkok yang sudah berusia ratusan tahun, tur hotel itu ditutup dengan mengunjungi galeri benda antik, koleksi Pak Anhar, pemilik hotel yang dijual untuk umum. Saya dan Si Ayah nggak ngerti apa-apa tentang benda antik, jadi kami cuma melihat-lihat saja dan kadang terbelalak membaca label harganya 😉


Bale Puputan
 Bale Puputan Dining venue
Keluarga Precils di depan Hotel Tugu

Saya senang mencoba hal-hal baru, termasuk menginap di hotel yang nggak biasa-biasa saja. Secara umum kami puas dengan pengalaman kami di Tugu hotel, terutama pelayanan para staf-nya yang excellent. We were impressed with their hospitality. Siang itu, setelah makan siang di Canggu Cafe di dekat hotel, kami diantar Pak Sopir ke Seminyak. Di dalam mobil, saya sudah memikirkan strategi untuk menginap di hotel Tugu lainnya.

~ The Emak

Follow @travelingprecil

LOKAL, Hotel Kecil Nan Cantik di Jogja

Nggak nyesel menginap di hotel Lokal Yogyakarta, mesti tarif hotel bintang tiga ini lebih tinggi dari rata-rata hotel dengan bintang yang sama. Kamarnya nyaman, desainnya keren, makanannya enak dan kami bisa renang-renang cantik seperti punya kolam renang pribadi.

Sudah lama saya pengen nginep di hotel kecil yang trendi ini. Impian baru kesampaian minggu lalu, pas kami ke Jogja menjenguk Ayah Ibu saya. Alhamdulillah saya punya tabungan kredit di Paypal, bisa buat nginep ‘gratis’. Sempat bingung juga booking engine mana yang bisa dibayar pakai paypal. Biasanya saya pakai apps HotelQuickly di hp untuk pemesanan mendadak, bisa dibayar pakai paypal juga. Tapi sayangnya Lokal belum terdaftar di HQ. Padahal bisa dapat diskon 130 ribu kalau pakai kode promo: AKUMA72 🙂 Agoda katanya juga bisa bayar pakai Paypal, tapi ternyata untuk hotel-hotel tertentu saja. Akhirnya saya pesan lewat website Hotel Travel

Free minibar!
view kolam renang dari balkon

Tarif per malam untuk kamar suite (loft room) adalah USD 68,93 atau setara IDR 950.000, termasuk pajak 21%. Cukup mahal untuk ukuran hotel bintang tiga. Tapi saya sudah terlanjur penasaran sama loft room mereka, hehe. Daripada kredit paypalnya nganggur. Kalau mau lebih ngirit, bisa pesan kamar biasa (double atau twin) seharga Rp 580 ribuan. Harga yang saya bayarkan sudah termasuk sarapan pagi untuk berdua, welcome drinks dan minibar gratis!

Lokasi hotel Lokal agak tersembunyi, di daerah Gejayan, dekat dengan jembatan merah. Tempat ini juga agak jauh dari Malioboro atau Tugu. Tapi Jogja sih itungannya ke mana-mana dekat, bisa pesan taksi ber-argo via resepsionis. Keuntungan lokasi yang nylempit, suasananya relatif tenang, nggak dengar keramaian lalu lintas di tepi jalan besar. Pagi hari juga tidak dibangunkan suara TOA 🙂

Proses cek in cukup cepat. Petugas hotel juga ramah. Saya tinggal menyerahkan voucher dari Hotel Travel. Langsung dapat kunci, password wifi, voucher welcome drink dan voucher untuk sarapan esok harinya. Saya dan anak-anak langsung menuju kamar yang cuma beberapa langkah dari resepsionis mungil. Kamar kami B2, di lantai satu, berbentuk loft dan nyambung dengan balkon di lantai dua.

Seperti biasa kalau nemu hotel yang bagus, kami teriak-teriak kegirangan. Norak-norak bergembira pokoknya. Apalagi waktu itu kami diantar sama Tante Dila cs, dobel ramainya. Setelah inspeksi amenities dan foto-foto sebelum kamar berantakan, saya ngecek logistik. Di atas meja tersedia dua botol air mineral, kopi, teh, gula, krimer. Yang ini pasti gratis, standar lah. Di kulkas ada beberapa minuman dan camilan. Saya cari-cari daftar harganya kok nggak ada. Mosok gratis? Saya ingat di voucher hotel tertulis free minibar. Tapi saya belum percaya soalnya nggak biasanya ada minibar gratis. Akhirnya saya telpon resepsionis untuk memastikan. Dan memang gratis, yay! Adik saya langsung nyomot silverqueen. Hadeh, kayak dapat apa aja.

Welcome drink disajikan di restoran, yang terletak di depan hotel, berbatasan dengan jalan kampung. Kami dapat dua jus semangka yang seger banget. Kami nggak makan malam di resto karena sudah keluar makan di Pizza Panties dekat hotel, daerah Gejayan juga.

Interior restorannya trendi banget. Suasananya juga cozy. Pelayannya ramah. Kami sarapan pagi-pagi biar nggak terlalu ramai. Eh ternyata baru kami yang nyampai di resto. Menu sarapannya kami bisa milih, menu lokal atau western. Selain itu, kami bebas makan roti panggang, sereal, buah potong dan boleh minum teh, kopi, susu, jus buah, air mineral sepuasnya. 

Seperti biasa, Big A memilih sarapan ala bule, dengan omelet dan hash brown. Little A juga berlidah bule, maunya roti panggang dan selai. Tinggal Emaknya yang pilih sarapan lokal, pesan nasi goreng. Tapi karena Emak mewajibkan diri mengecek semua rasa bubur ayam ala hotel, akhirnya pesan bubur ayam juga, hahaha. Kami lama banget nongkrong di resto ini sambil ngobrol-ngobrol tentang… kehidupan! Cuma ada dua keluarga lain yang akhirnya sarapan di resto. Baru kami ingat kalau ini hari Senin!

Tarif hotel sudah termasuk sarapan untuk dua orang. Untuk anak di bawah usia 5 tahun gratis, sementara anak usia 5-12 tahun bayar Rp 25.000 aja.

Setelah sarapan, kami masih punya waktu sampai jam 12 siang untuk cek out. Jelas kami memilih untuk berenang-renang cantik biar nggak rugi. Kolam renangnya kecil, tapi bisa lah untuk membakar kalori setelah makan buryam. Little A sudah bisa berenang, tapi perlu waktu lama untuk pemanasan, sampai dia nyaman di air. Big A memilih duduk di tepi kolam sambil membaca buku. Hanya kami bertiga yang menggunakan kolam renang waktu itu, serasa punya kolam pribadi.

Kedalaman kolamnya mencapai 160 cm, tapi ada area yang dangkal, bisa untuk main bayi-bayi. Di dekat area dangkal, kedalaman kira-kira 120 cm. Pokoknya saya nggak tenggelam lah, bisa berdiri sambil jaga Little A yang renang wira-wiri.

Selesai renang dan mandi air pancuran hangat, badan cukup segar. Kami mengepak kembali barang-barang kami (cuma dua ransel sih) dan siap-siap pulang dengan kereta kembali ke Surabaya. An overnight stay well spent.

Reading or swimming?
Renang pakai bando? Cuma Little A ;p

Overall, kami puas menginap di sini. Ranjangnya sangat nyaman dan cukup besar (ukuran king) untuk bertiga. Malahan sepertinya masih muat untuk berempat. Spreinya halus dan lembut, desainnya nggak norak 😀 TV-nya ada dua, di depan kasur dan di living room, di depan sofa. Saluran untuk anak-anak ada, jadi no problemo. Wifinya kenceng, mau minta apa lagi? :p


Yang paling saya suka dari hotel ini adalah desainnya. Lantai di bangunan hotel dan resto diplester biasa, tapi dihiasi dengan tegel warna-warni. Mereka juga memberi perhatian ke hal-hal kecil, misalnya desain rak TV yang ada tempat untuk menaruh remote. Saya sampai jatuh cinta sama mug dan piring yang ada di kamar dan resto. Koleksi mereka seperti piring/gelas seng vintage dengan pinggiran biru, tapi tentu bahannya bukan seng karena terasa berat dan mantap. Meski tidak merokok, saya terkesan sama area merokok mereka yang mungil dan tetap trend. Biasanya resto di hotel lain menempatkan area merokok di luar ruangan, tapi di Lokal, pengunjung yang tidak merokok pun bisa memilih duduk di dalam atau di luar resto tanpa terganggu asap rokok. Mereka membuatkan area merokok di dalam ruangan. Saya suka banget dengan penataan seperti ini, sama-sama nyamannya.

Tentu hotel ini juga punya kekurangan, tapi masalah kecil aja sih. Tidak ada hairdryer dan safety box di kamar. Sofa di ruang tamu juga nggak ada bantal-bantalnya. Trus pasta gigi yang diberikan dikit banget, kami pencet-pencet nggak ada yang keluar, hahaha. Udah itu aja sih.

Oh, ya, satu lagi, kamar suite kurang cocok untuk anak-anak kecil, antara usia 2-5 tahun. Mereka nanti terlalu excited untuk naik turun tangga yang lumayan curam. Yang punya anak kecil mending milih kamar biasa aja. Tetep lucu kok desainnya 🙂 Saking senengnya sama hotel ini, Little A sempat bilang, “This hotel should be 4-star, not 3-star.”

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Pengalaman Memperpanjang e-Paspor di Kanim Surabaya

Bawa buku biar nggak bete nunggu

Ini dia urusan lima tahunan yang mesti dijalani: memperpanjang paspor. Sebaiknya, enam bulan sebelum masa berlaku paspor habis, harus segera diperpanjang lagi. Kalau enggak, sama saja tidak bisa dipakai ke luar negeri atau untuk aplikasi visa. Pengalaman Si Ayah ketika mendadak harus bertugas ke Australia, masa berlaku visanya 6 bulan plus 1 hari. Aplikasi visanya di-pending sampai dia bisa menyerahkan paspor baru. Akhirnya, karena mepet, Si Ayah meminta bantuan agen di Jakarta untuk membuat paspor yang sehari jadi. Agen bertugas mengambilkan nomor antrean dan mengisi formulir. Si Ayah tetap datang untuk foto dan wawancara.

Sebenarnya, membuat atau memperpanjang paspor sendiri sekarang gampang banget. Syaratnya mudah dan biayanya jelas. Hanya saja, memang perlu waktu seharian untuk antre pelayanan.

Untuk orang umum, ada dua macam paspor: paspor biasa dan e-paspor atau paspor elektronik. Fungsinya sama, hanya saja e-paspor sudah dilengkapi chip yang tertanam di sampulnya. Biaya pembuatan paspor biasa 355 ribu, sementara untuk e-paspor 655 ribu. Apa keuntungan membuat e-paspor? Paspor elektronik ini bisa digunakan untuk mendapat visa waiver (bebas visa) untuk negara Jepang. Kalau tidak ada rencana pergi ke Jepang dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, sebaiknya ajukan paspor biasa saja, karena e-paspor hanya bisa diajukan di kantor imigrasi tertentu saja (Jakarta, Surabaya, Batam).

Cara mengajukan atau memperpanjang paspor/e-paspor ada dua: registrasi manual (walk in/datang langsung) dan daftar online via website di imigrasi go id. Apa bedanya daftar manual dengan daftar online? Kalau daftar online, kita tidak perlu antre pagi-pagi di kanim. Nomor antrean online sudah diberi jatah, dan ditentukan oleh kita sendiri, mau hari apa datang ke kanim. Kalau daftar manual, kita harus berangkat pagi-pagi ke kanim. Kalau yang antre banyak, siap-siap kehabisan jatah antre bila datang kesiangan.

SAYANGNYA, DAFTAR ONLINE INI BARU BERLAKU UNTUK PEMBUATAN PASPOR BIASA. Jadi kalau ingin membuat e-paspor, harus daftar manual. [Don’t ask me WHY]


DOKUMEN
Sebenarnya informasi aturan, persyaratan dan langkah-langkah pembuatan paspor sudah lengkap di website imigrasi:
http://www.imigrasi.go.id. Tapi kadang desain website-nya membuat mata kita siwer karena terlalu banyak tulisan kecil-kecil dan panjang-panjang.

Ini versi sederhananya.

Persyaratan dokumen untuk paspor dewasa (bawa dokumen asli dan 1 fotokopi ukuran A4, jangan dipotong):
1. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku
2. Kartu Susunan Keluarga/KSK yang sudah ditanda tangani kepala keluarga
3. Pilih salah satu: Akte lahir, Buku Nikah, Ijazah SD/SMP/SMA.
4. Paspor lama (khusus perpanjangan)

Persyaratan dokumen untuk paspor anak (bawa dokumen asli dan 1 fotokopi ukuran A4, jangan dipotong):
1. KTP Ayah dan Ibu
2. Kartu Susunan Keluarga/KSK yang sudah ditanda tangani kepala keluarga
3. Akte lahir anak
4. Buku nikah orang tua
5. Paspor Ayah dan Ibu
6. Paspor lama anak (khusus perpanjangan)

Untuk urusan dokumen ini, lebih baik siapkan atau bawa semuanya untuk jaga-jaga. Pengalaman ibu saya yang memperpanjang e-paspor menggunakan ijazah SMA, ternyata tempat lahir beliau ditulis berbeda dengan KTP/KSK. Yang benar memang yang di KTP. Akhirnya beliau harus pulang, dan kembali lagi keesokan harinya dengan membawa dokumen akte lahir. Pastikan semua nama, nama orang tua, tempat dan tanggal lahir sama di setiap dokumen yang akan digunakan.


PENTING: Untuk pembuatan/perpanjangan paspor anak, KEDUA orang tua harus hadir. Di bulan Oktober, saya berencana memperpanjang e-paspor saya dan Big A. Kebetulan ada hari libur di sekolah Big A. Ternyata diperlukan kehadiran kedua orang tua saat wawancara, padahal Si Ayah sedang menjadi pembicara seminar, sehingga tidak bisa meninggalkan tempat. Akhirnya pada hari itu hanya e-paspor saya saja yang bisa diurus. Kasihan Big A yang sudah menunggu, ikut antre sejak pukul 6.30. Waktu itu, datang ke kanim Surabaya di Waru pukul setengah tujuh pagi, saya mendapat nomor antrean 69 dan baru dipanggil wawancara jam 11 siang.


ANTRE
Kami mengurus e-paspor lagi khusus untuk Big A (13 tahun) di hari libur bulan Desember. Usaha pertama tanggal 24 Desember gagal. Kami sampai di Kanim Surabaya Waru jam 6 pagi. Sudah banyak orang yang antre, alhamdulillah tertib. Hari ini jatah antrean untuk pendaftar manual adalah 110 orang. Tepat jam 7, petugas mulai mengecek dokumen dan memberi nomor antrean dari mesin. Tepat di depan kami antre, nomor habis. Ternyata kami antre nomor 111. Pintu ditutup dan mau nggak mau kami harus gigit jari, pulang. *nyesek banget*

Sepulang dari Taipei, kami coba lagi peruntungan antre di kanim tanggal 31 Desember 2015. Kami sampai di Kanim jam 5 pagi. Gilak, ternyata jam segini sudah banyak yang berkerumun di depan pintu gerbang yang belum dibuka. Karena belum bisa antre, kami menuliskan nama di selembar kertas sesuai urutan kedatangan. Saya dapat nomor 97! Wuidih, orang-orang ini datangnya jam berapa? 

Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Surabaya ini alamatnya di Jl. Letjen S Parman 58 A, Waru, Sidoarjo. Di kantor ini tempat parkirnya terbatas. Kalau Anda membawa mobil, bisa parkir di pinggir jalan (banyak tukang parkir yang akan membantu) atau di bangunan kosong sebelah kanim. Siap-siap kalau biaya parkirnya premium, yaitu 10.000 rupiah. Sepeda motor juga bisa diparkir di tepi jalan. 

Jam 6 pagi, gerbang dibuka. Pak satpam memanggil nama kami sesuai yang tertulis di kertas, agar antre berdiri sesuai urutan. Dia mengumumkan kalau hari ini jatahnya 110 nomor antrean. Saya yang dapat nomor 97 merasa belum aman. Gimana kalau ada yang menyerobot antrean?

Jam 7, petugas mulai memeriksa dokumen. Yang dokumen belum lengkap, tidak akan mendapat nomor antrean resmi dari mesin. Yang bajunya kurang sopan (kaos oblong, kaos singlet, celana pendek, rok mini) atau pakai sandal jepit malah tidak boleh masuk sama sekali. Ini lumayan sih, mengurangi antrean, hahaha. Akhirnya saya mendapat nomor 86. Dari nomor pra antrean 97 ke 86, berarti ada 11 orang yang ‘gugur’ di depan saya, entah karena dokumen kurang lengkap atau karena pakaian kurang sopan.

PROSEDUR
Setelah mendapat nomor antrean, kami bisa nunggu sambil duduk. Untuk perpanjangan paspor anak, ada tiga formulir yang perlu diisi: formulir pendaftaran, formulir permintaan kembali paspor lama (sama dengan form untuk dewasa) dan surat pernyataan orang tua. Karena anak belum punya nomor KTP, cukup isikan nomor NIK yang ada di KSK, di kolom nomor KTP. Semua formulir wajib ditanda tangani kedua orang tua, salah satunya dengan materai. Sebaiknya siapkan materai atau bisa beli di penjual koran/majalah yang nongkrong di kanim.
 
Jam 8 pagi, pelayanan one-stop-service dimulai. Nomor antrean bisa dilihat di layar. One stop service artinya satu orang akan dilayani oleh satu meja, mulai dari cek berkas, wawancara dan foto. Kita tidak perlu pindah-pindah loket, cukup satu antrean.

Setelah menunggu selama 4 jam, akhirnya nomor kami dipanggil juga. Saat wawancara saya ditanya mau ke mana? Saya jawab mau liburan ke Singapura. Kapan? Sekitar bulan Maret. Namanya juga rencana kan? Bisa kejadian beneran bisa batal 🙂 Perlu dicatat, kalau kalian membuat paspor untuk keperluan umroh, akan perlu surat keterangan dari travel agent tempat kalian mendaftar. Kalau membuat paspornya untuk pertukaran pelajar ke luar negeri, perlu ada surat dari sekolah dan agen yang mengurus pertukaran pelajar. Perlu juga didampingi guru yang akan turut serta dalam pertukaran tersebut. Agak ribet ya? Lebih gampang kalau tujuannya berlibur 😉

Saat wawancara ini baru ditanya, mau paspor biasa atau e-paspor. Kami diberi tahu kalau biaya e-paspor adalah Rp 655.000.

Setelah petugas ketak-ketik ketak-ketik dan cek cek ricek dokumen, akhirnya Big A difoto. Setelah itu mereka akan mencetak biodata untuk dicek, apa ejaan nama dan tanggal lahir sudah betul. Setelah semua beres, kami diberi slip pembayaran yang bisa dibayar di loket BNI. Bayarnya harus di loket bank, tapi nggak harus hari itu. Besok atau lusa masih bisa. Setelah itu, seminggu kemudian paspor boleh diambil.

Petugas bilang, untuk e-paspor perlu 10 hari kerja baru jadi, beda dengan paspor biasa yang 4 hari kerja sudah jadi. Hari Selasa ini, tujuh hari kerja setelah Big A foto, saya mendapat sms dari kanim yang isinya paspor a/n Big A sudah jadi dan bisa diambil. Informasi apakah paspor sudah jadi atau belum juga bisa dicek di website. Masukkan nomor yang ada di dalam slip pembayaran, nanti akan kelihatan status paspor: masih dicetak atau sudah bisa diserahkan.

Pengambilan paspor bisa diwakilkan, asal oleh orang serumah, sesuai KSK. Saat pengambilan ini, tidak ada antrean. Saya datang ke kanim sekitar jam 10 pagi. Cukup serahkan slip dan bukti bayar, lima menit kemudian nama Big A dipanggil. Saya perlu memfotokopi paspor baru tersebut dan memberikan fotokopian ke petugas sebelum akhirnya paspor lama juga diserahkan.
Alhamdulillah *lega*

PLUS MINUS 
Layanan pembuatan dan perpanjangan paspor oleh kantor imigrasi ini sudah ada kemajuan daripada tahun-tahun sebelumnya. Yang tadinya (2006) perlu 3 hari kedatangan (1 hari daftar, 1 hari foto dan 1 hari ambil), sekarang cukup 2 kali kedatangan (1 hari daftar dan foto, 1 hari ambil). Yang tadinya (tahun 2013) antre di 3 loket (pendaftaran, pembayaran, foto), kini sudah bisa diselesaikan di 1 meja. Yang tadinya ada pungli (map dan formulir disuruh membayar di koperasi), sekarang relatif tanpa pungli dan tidak ada transaksi uang di kanim karena pembayaran hanya lewat BNI. Yang tadinya (2013) ada istirahat satu jam penuh, semua layanan tutup tanpa pemberitahuan, sekarang layanan tetap buka saat jam istirahat, petugas bergantian makan siang dan salat.

Tapi tetap saja layanan ini perlu ditingkatkan karena panjangnya antrean. Booth layanan perlu ditambah, kuota antrean perlu ditambah untuk mengimbangi banyaknya masyarakat yang ingin mengurus paspor. Saya juga berharap tahun ini untuk e-paspor sudah bisa mendaftar secara online. Ini gampang banget seharusnya, tinggal memberi pilihan di sistem registrasi online-nya. Please!

Well, by the way, keempat paspor kami sudah nyala lagi sekarang. Tinggal pilih mau ke mana sekarang? Jepang? Hong Kong? NZ (lagi)?

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Memesan Vila di Bali dengan Airbnb

Vila Ratna 2 di Ubud yang kami pesan via Airbnb

Setelah sukses memesan tiket pesawat ke Bali dengan poin Garuda Miles, saya mulai berburu penginapan di Ubud. Tadinya saya pengen menginap di Tegal Sari, hotel kecil yang langganan menang di Tripadvisor untuk kategori Bargain Hotels. Tapi ternyata untuk tanggal yang kami perlukan, vilanya sudah penuh. Ya maklum sih, pas ada acara Ubud Writers and Readers Festival.

Lalu saya ingat masih punya kredit di Airbnb. Aha! Saya kan–alhamdulillah–menang kuis @kartupos yang hadiahnya voucher Airbnb yang lumayan banget, $250. Cukup lah ya buat sewa vila dua kamar dengan kolam renang pribadi.

Tidak perlu iri dengan kemujuran saya yang sering menang kuis, hehe. Kalau mau voucher juga, bisa langsung daftar Airbnb dari tautan ini: https://www.airbnb.com/c/akumalasari. Nanti otomatis akan mendapatkan kredit/voucher sebesar $20 (sekitar Rp 279 ribu) untuk pemesanan pertama. Mendaftar Airbnb gampang, bisa menggunakan akun Facebook, Gmail atau email yang lain. Kalau masih bingung caranya, bisa membaca tulisan saya yang ini.

Yang pengen dapat voucher, daftar di sini ya: https://www.airbnb.com/c/akumalasari

Cara memesan di Airbnb juga gampang. Setelah punya akun, kita tinggal search, ketikkan destinasi di kolom yang ada gambar kaca pembesarnya. Lalu masukkan tanggal cek in cek out dan jumlah orang yang menginap. Airbnb akan mencarikan penginapan yang tersedia di tanggal tersebut, dengan peta lokasi di sebelah kanan. Kita bisa menggeser peta sesuai kebutuhan. Kita juga bisa mengatur harga maksimal, tipe kamar atau fasilitas yang kita mau.
 
Di Ubud, sudah banyak vila cantik-cantik yang tersedia di Airbnb. Sekarang juga sudah ada fasilitas Instant Book, artinya pesanan kita akan langsung terkonfirmasi. Fitur ini ditandai dengan gambar flash/petir berwarna kuning.

Dulu ketika saya memesan apartemen di Paris dengan Airbnb, saya harus mengirim pesan ke host dulu, memastikan bahwa di tanggal tersebut apartemennya kosong. Tapi untuk vila di Ubud ini, saya tinggal klik instant book kalau memang sudah mantap dengan vila tersebut. Tidak perlu mengirim pesan ke host, kecuali kalau memang ada yang ditanyakan. Baru setelah pesanan vila saya terkonfirmasi, saya mengirim pesan perkenalan ke host.

Sangat banyak pilihan yang tersedia di Ubud. Saya sendiri sampai bingung berhari-hari membandingkan satu vila dengan lainnya. Saya pengennya menginap di vila dua kamar biar duo Precils tidur di kamar sendiri, sementara saya dan Si Ayah bisa nganu, tidur dengan nyaman juga 😀 Lalu kolam renang juga wajib, kalau bisa kolam privat biar saya bebas pakai bikini, hahaha. Sarapan pagi nggak begitu penting, karena biasanya vila ada dapurnya. Lagipula, kami mungkin pengen nyoba sarapan di kafe yang trendi.

Karena susah milih, vila-vila yang saya taksir saya masukkan ke wishlist (klik tanda hati). Ini contekan wishlist saya, yang buanyak banget saking bingungnya: https://www.airbnb.com/wishlists/40161556. Akhirnya saya menemukan Vila Ratna 2 dan jatuh hati karena desain interiornya yang cerah, dan harganya juga di bawah vila 2 kamar lainnya. Kalau tertarik menginap di Vila Ratna 2, ini tautannya: Listing: https://www.airbnb.com/rooms/5451185.

Selain dari harga dan fasilitas yang disediakan, saya memilih vila ini juga karena review-nya bagus. Tadinya ada vila yang saya taksir juga, tapi dari reviewnya, sering ada orang yang masuk begitu saja ke dalam vila menawarkan transport, jadi privasi nggak terjamin. Duh, ngeri kan kalau gini? Saya juga tidak berani pesan vila baru yang belum ada review-nya.

Tarif menginap di Airbnb mengikuti rate USD. Ketika saya memesan di bulan Juni 2015, tarif per malam adalah Rp 1.267.509. Service fee dari Airbnb sebesar Rp 306.871. Total yang harus saya bayar untuk dua malam adalah Rp 2.841.889. Tapi bayarnya nggak perlu pakai uang karena saya masih punya kupon. Uang yang saya keluarkan untuk memesan vila ini adalah Rp 0. Kalau kredit atau kupon airbnb tidak mencukupi, sisanya bisa dibayar dengan kartu kredit atau kartu debit. Untuk memasukkan nomor kartu yang digunakan untuk membayar, klik account setting >> payment methods >> add payment methods >> masukkan nomor kartu dan data lainnya >> klik Add Card. Kartu kredit yang diterima untuk pembayaran adalah visa, mastercard, amex dan discover. Kalau tidak punya kartu kredit, bisa pinjam punya orang lain. Saya memasukkan nomor kartu kredit punya suami di akun saya dan nggak masalah. Sementara untuk kartu debit, yang sudah saya coba masukkan dan diterima adalah kartu debit dari Permata Bank yang ada tulisannya VISA Electron. Kartu Debit dari Bank Mandiri ditolak. Coba aja deh semua kartu yang ada 🙂

Berikut screenshot pemesanan saya menggunakan apps Airbnb di iPad.

Beres? Ternyata belum. Sebulan sebelum berangkat, ada perubahan rencana. Big A ternyata ada acara outbond di sekolah, jadi tidak bisa ikut ke Ubud. Hiks. Akhirnya rencana kami juga ikut berubah. Yang tadinya menginap dua malam, terpaksa jadi menginap semalam saja karena esoknya harus menjemput Big A di sekolah.

Untungnya pemesanan di Airbnb bisa diubah. Ini tergantung kebijakan pembatalan dari host ya. Kebetulan host yang ini, Mbok Ratna, cancellation policynya moderate (bisa dilihat di profil penginapan). Artinya, 5 hari sebelum tanggal kedatangan, pesanan masih bisa diubah. Nanti uangnya dikembalikan, kecuali biaya servis Airbnb.

Seminggu sebelum berangkat, saya mengubah pesanan dari dua malam menjadi satu malam saja. Saya juga mengirim pesan ke host bahwa rencana berubah karena anak saya ada acara di sekolah. Alhamdulillah host langsung menyetujui perubahan ini dan uang (kredit) saya dikembalikan satu malam. Nggak masalah.

Untuk mengubah atau membatalkan pesanan, klik Your Trips >> klik Change or Cancel >> pilih Change Reservation >> ubah tanggal atau jumlah tamu >> Submit Alteration.

Ingat, perubahan atau pembatalan mengikuti kebijakan pembatalan dari host. Cek dulu cancellation policy masing-masing penginapan di profilnya. Kalau kebijakannya strict, booking tidak bisa dibatalkan.

Pesan vila sudah beres. Sekarang tinggal packing bikini. Ada yang mau ikut kami renang-renang di kolam pribadi di Ubud, lanjut dengan ngopi atau ngeteh di gazebo tepi sawah?

~ The Emak

Follow @travelingprecil

Staycation Surabaya: Hotel Swiss Belinn Manyar

Little A jumping on the bed

Senin pagi, ketika kami pulang dari berakhir pekan di Malang, kami mendapati jalan di depan rumah kami sudah dipasangi terop. Rupanya tetangga mau punya hajatan. Acaranya mulai jam 6 sore. Kami tahunya juga dari spanduk yang terpasang karena si tetangga tidak bilang permisi sama sekali ke kami. Yo wes, nanti tinggal pergi aja sorenya biar nggak pusing kena bising. E ternyata cek sound sudah dimulai jam 9 pagi, dengan suara dentuman speaker raksasa yang menggetarkan jendela rumah kami. Little A yang kebetulan libur karena ada UN SD sampai takut dan teriak-teriak. Waduh, kalau begini caranya harus keluar rumah nih, sebelum gendang telinga kami meledak. Saya dengan cepat mengais-ngais promo/kupon/poin yang saya punya untuk booking hotel. Mendadak Staycation!

Saya ingat punya voucher dari apps booking hotel di HOTELQUICKLY. Apps yang bisa dipasang di iOS maupun Android ini memang khusus untuk pemesanan hotel yang mendadak, untuk malam ini atau besok malam. Jadinya harga mereka bisa lebih murah, tentu saya sudah cek di toko sebelah 😀 Tambah diskon lagi. Lumayanlah, saya tinggal bayar harga setelah diskon dengan saldo Paypal hasil jualan voucher hadiah airbnb. Emak-emak nggak mau rugi banget! Booking via HotelQuickly prosesnya gampang, tampilan apps-nya pun sederhana dan menarik. Cuma ada beberapa pilihan hotel yang tersedia, jadi lebih cepat memutuskan. Saya pilih staycation di hotel yang cukup dekat dengan rumah: Swiss Belinn Manyar.

Oh, iya, yang pengen dapat voucher hotel juga sebesar Rp 170.000, bisa langsung pasang apps HotelQuickly di handphone dan masukkan promo code dari The Emak ya: AKUMA72. Lumayan kan diskon 170 ribu.

Kami naik taksi, dan nggak sampai setengah jam kemudian sudah sampai di hotel Swiss Belinn di Jalan Kertajaya (Manyar Kertoarjo). Little A seneng banget diajak nginep di hotel. Tidak lupa saya packing bikini Little A untuk berenang di sore hari. Untuk baju ganti Si Ayah dan Big A, saya ambil sembarangan saja karena terburu-buru. Mereka akan menyusul nanti sore sepulang kerja dan sekolah. Saya memberi tahu Si Ayah juga setelah mendapat kunci kamar. Biar dia pasrah manut saja, hahaha.

Meski cek in resminya baru bisa jam 2 siang, kami sudah boleh masuk kamar jam 11 siang, karena sudah ada kamar yang siap. Kata Mbak Resepsionis, untuk kamar non-smoking tinggal yang dua single bed, tapi bisa didempetkan. Ya udah, daripada kamar bau asap rokok kan? Cek in dengan pesanan dari HotelQuickly juga gampang kok, saya tinggal berikan print bookingan saya yang dikirim via email. Cukup perlihatkan KTP. Hotel ini tidak meminta uang deposit.


Kami mendapat kamar di lantai 11, paling tinggi. Lantai ini non-smoking floor, jadi tidak tercium asap rokok sama sekali. Alhamdulillah, kami alergi asap rokok je, bisa bengek nanti kalau ada asap sedikit saja. Kamarnya cukup luas, bersih, dengan dekorasi minimalis modern. Single bed-nya cukup lebar: 120 cm, jadi buat keluarga kami yang berukuran mini ini bisa cukup untuk berdua. Malah dua kasur didempetkan ini lebih nyaman buat kami berempat daripada berdesakan di satu kasur queen bed. Kasurnya King Koil, sudah jaminan mutu dan terasa sangat nyaman. Little A juga puas lompat-lompat di kasur 🙂

Kamar mandi dan toilet standar, tapi bersih. Tidak ada bathtub, hanya mandi pancuran. Amenities-nya juga standar: sabun, shampoo, sikat dan pasta gigi. Handuk bersih, tebal dan lembut. Ada safety deposit box untuk menyimpan barnag-barang berharga. Ada ketel listrik untuk menjerang air. Sayangnya teh dan kopinya minimalis banget, hanya ada satu teh celup dan dua sachet kopi plus creamer dan gula.

Fasilitas yang tidak ada di kamar ini adalah mini bar, jadi kami tidak bisa menyimpan makanan di kulkas mini. Tapi tidak begitu penting sih karena hanya menginap semalam. Yang penting, fasilitas TV kabelnya lengkap, ada chanel untuk anak-anak. Little A bisa anteng nonton Nickelodeon sementara Emaknya istirahat.

Untuk staycation kali ini, saya pilih hotel yang ada kolam renangnya, biar bisa berenang, nggak cuma numpang nginep doang. Swiss Belinn punya kolam renang di lantai lima, tapi tidak ada fasilitas gym. Setelah Si Ayah dan Big A menyusul ke hotel sorenya, kami berenang sampai matahari tenggelam. Dari kolam renang, kami bisa melihat apartemen yang belum jadi di sebelah rumah kami, dan juga bisa melihat atap sekolah Big A dan Little A. Haha, memang dekat sih hotelnya.

Lokasi Swiss Belinn cukup strategis. Di sebelah-sebelahnya banyak pilihan restoran, jadi kalau mau makan malam di luar hotel tinggal jalan. Restoran di dekat hotel dalam jarak jalan kaki 5-15 menit antara lain: KFC, Zenbu, Little Chicken, Steak Hut, Ayam Bakar Primarasa, Pondok Jenggolo, Restaurant Pantai Seafood dan Layar Seafood. Kami pilih makan di Primarasa, Si Ayah jelas lebih doyan masakan tradisional.

Di ujung kanan terlihat apartemen di sebelah rumah kami.

Bufet sarapan yang dihidangkan hotel cukup beragam, ala Barat dan ala Indonesia. Mulai dari roti, pastry, salad, nasi goreng, mie goreng, pecel, soto, tahu telor, sampai jajanan angkringan. Kami tentu pilih yang sehat-sehat dong. Si Ayah aja sarapan salad (ronde pertama sih, hehe). Duo lidah bule sarapan roti oles mentega. Sementara The Emak makan pecel, tanpa nasi!

Buah dan minuman yang disediakan juga beragam. Ada Mas-Mas yang menawarkan jamu beras kencur, kunir asam dan sinom. Ini rasanya seger banget. Tapi sayangnya, kopinya nggak enak. Nggak tahu deh, negeri penghasil kopi tapi jarang ada kopi enak terhidang di hotel. Missing link-nya di mana ya?

Kami tidak bisa berlama-lama sarapan karena Big A dan Si Ayah harus kembali ke sekolah. Setelah mereka pergi, saya dan Little A melanjutkan sarapan dengan makan banyak buah dan sayur. Little A habis semangkuk brokoli rebus!

Oh, iya, sebenarnya jatah sarapan hanya untuk dua orang per kamar. Karena anak-anak sudah besar, saya harus tambah ekstra. Biaya sarapan di Swiss Belinn Rp 110.000 per orang, sudah termasuk pajak. Untuk anak-anak antara 5-12 tahun bayar 50%. Kalau kalian booking hotel di HotelQuickly, cek dulu apakah tarif sudah termasuk sarapan apa belum. Karena ada beberapa hotel yang sudah termasuk sarapan, ada yang belum.

Swiss Belinn Manyar hotel yang relatif baru, jadi interior dan dekorasinya masih tampak fresh. Hotel ini juga dekat (15 menit naik taksi) dengan ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) Surabaya, jadi bisa jadi alternatif kalau ada kerabat yang wisuda atau menghadiri pernikahan di gedung ITS. Tapi nanti kalau apartemen kami di Pakuwon City sudah jadi, mending nginep di apartemen kami aja ya kalau liburan di Surabaya, bakalan nyaman untuk sekeluarga.

~ The Emak

Baca juga: 
Staycation in Surabaya: Hotel 88 Embong Kenongo

Menyusuri Sungai Sekonyer dengan Klotok

Klotok Borneo Lestari

Kami sudah pernah mencoba berbagai macam penginapan, mulai dari menginap di tenda, kabin, apartemen, motel, hostel, suite hotel bintang lima, campervan sampai terombang-ambing di kabin kapal feri menyeberangi Tasmania. Menginap dua malam di perahu klotok (atau kelotok) adalah pengalaman baru yang kami nanti-nantikan. Ternyata asyik kok, goyangnya nggak seberapa dan gak bikin mabuk. Malah berasa naik kapal pesiar 😀

Menginap di klotok adalah standar akomodasi ketika kita mengunjungi Tanjung Puting National Park. Di sini memang ada satu hotel dan beberapa homestay, tapi pengalaman yang lebih otentik adalah dengan Live On Board (LOB) di river house boat alias klotok ini.

Klotok adalah perahu tradisional Kalimantan yang dibuat dari kayu Ulin. Ukurannya bervariasi. Diberi nama klotok karena tadinya perahu ini menggunakan mesin bersuara keras, terdengar seperti “klotok klotok klotok”. Mesin kapal yang sekarang sudah lebih halus, tapi nama klotok masih menempel. Klotok kami ukuran kecil, sekitar 3 x 12 m, muat untuk berdua sampai berempat. Berenam mungkin cukup, tapi ruang geraknya terbatas. Klotok ini terdiri atas dua lantai. Lantai di bawah adalah untuk servis: tempat tidur kru, ruang kemudi, dapur dan kamar mandi. Sementara lantai atas untuk turis, terdiri dari lounge yang bisa disulap jadi tempat tidur di malam hari, ruang makan plus wastafel dan viewing deck di depan dan belakang.

Dari bandara Iskandar di Pangkalan Bun, kami naik taksi sekitar 30 menit sampai pelabuhan Kumai. Di sana, klotok kami sudah menunggu. Untuk sampai ke klotok, kami menyeberangi (melompati) klotok-klotok lain. Big A senang bagian lompat-lompat ini, sok pede tanpa dipegangi. Seru!

Begitu sampai di klotok, kami berkenalan dengan kru yang akan mendampingi kami selama 3 hari 2 malam. Ada Pak Syahrizal sebagai kapten kapal, Pak Pi’i sebagai pemandu (tour guide), Bu Atik sebagai koki dan Heri sebagai asisten. Terasa mewah banget bagi kami punya 4 asisten sekaligus, soalnya di rumah kami nggak ada ART, apalagi sopir.

Pelabuhan Kumai

Kondisi klotok kami cukup bersih dan nyaman, meski perabotnya sederhana. Selama menyusuri sungai Sekonyer, kami leyeh-leyeh di kasur tipis yang digelar di lounge. Angin yang membelai lembut membuat kami jadi ngantuk dan sukses tidur siang bergantian, dengan pose masing-masing :))

Menjelang malam, Kapten kapal akan mencarikan tempat yang nyaman untuk menambatkan kapal di pinggir sungai. Kami parkir di sebelah pohon yang penuh dengan kunang-kunang. Setelah makan malam, kru akan menyiapkan tempat tidur kami. Lounge disulap menjadi dua ‘kamar tidur’ lengkap dengan kelambu. Kami bisa tidur dengan nyenyak karena suasana malam sangat tenang. Sayangnya saya lupa membawa selimut (sarung Bali serbaguna yang biasanya saya bawa). Alhasil kami berebut sarung Si Ayah untuk selimutan. Mungkin bagi bule-bule, udara malam di Pangkalan Bun tidak dingin sama sekali, beda dengan yang kami rasakan. Selimut tipis sudah cukup kok. Nyamuk nakal tidak sampai mengganggu kami karena ada kelambu dan kami juga mengoleskan roll on anti nyamuk.

Malamnya tidur ditemani kerlip kunang-kunang, paginya kami dibangunkan oleh ocehan burung-burung.

Kamar mandi klotok cukup bersih dan tidak bau. Ada toilet duduk, tapi tanpa flush, jadi kami harus mengguyur toilet dengan menggunakan gayung. Air yang dipakai untuk mandi adalah air tanah (sungai kecil) di daratan, yang diambil di Pondok Tanggui dan air merah (air akar) di Camp Leakey. Sementara air untuk toilet adalah air sungai Sekonyer. Airnya cukup segar untuk mandi. Saya juga berhasil memaksa precils untuk mandi, setelah badan lengket oleh keringat gara-gara trekking. 

Dari dek kapal, depan dan belakang, kami bisa duduk santai menikmati pemandangan. Awalnya adalah vegetasi pohon nipah, kemudian berganti dengan daun-daun pandan hutan dan akhirnya vegetasi pohon hutan hujan tropis, dengan air sungai sebening air teh. Little A sempat menggambar dan membuat cerita tentang perjalanan kami. Ketika memasuki kawasan taman nasional, kami berkali-kali melihat hewan liar di alam, seperti monyet, bekantan, lutung dan orang utan. Kupu-kupu cantik tak terhitung banyaknya berseliweran di perahu kami.


Bagian yang paling mengasyikkan (setidaknya buat The Emak) dari jalan-jalan kali ini adalah: makanannya. Asyik karena nggak perlu masak, apalagi cuci piring, hehehe. Semua telah terhidang tepat saat jam makan. Makanannya enak karena bahannya segar dari alam dan dimasak di tempat. Menunya adalah olahan ikan dengan nasi, sayuran dan buah-buahan. Untuk sarapan pagi hari pertama kami dibuatkan pancake pisang (endeeees!) dan juga disediakan roti dengan berbagai macam olesan. Sarapan berikutnya kami dibikinkan nasi goreng. Baru kali ini juga saya ketemu yang namanya buah cempedak, yang memang banyak ditemukan di sana. Rasanya enak banget, perpaduan antara manisnya nangka dan creamy-nya durian. Baunya harum, tapi tidak semenusuk bau durian.
Untuk makanan ini, saya tidak minta macam-macam. Saya hanya bilang agar makanannya dibuat tidak pedas untuk anak-anak, tapi tetap disediakan sambal untuk Si Ayah. 

Selain makan berat, kami juga selalu diberi camilan dan soft drink atau jus dingin setiap kali selesai trekking. Duh, dimanja sekali pokoknya. Di kulkas rumah kami tidak pernah ada minuman bersoda, jadi Precils nyengir-nyengir bahagia boleh minum coke dan sprite selama liburan.

Ketika saya memesan paket liburan ini ke Kak Indra @bpborneo, saya belum tahu akan dapat klotok yang mana. Memang kami dikirimi contoh perahu kelotok dan menu makanan, tapi belum pasti dapat klotok yang mana. Dalam perjalanan ke Tanjung Puting NP, kami berbarengan dengan klotok-klotok lain beraneka rupa. Seperti biasa, klotok tetangga tampak lebih hijau, hahaha. Ada satu klotok tetangga yang mewah banget interiornya, dengan kasur spring bed dan mandi air panas. Bulenya yang naik cakep pula :p Tapi setelah kami pulang dan saya cek tarifnya, memang bukan kelas kami, hehe.

Saya merasa beruntung mendapat kru yang baik di klotok ini. Pak Pi’i, pemandu kami tadinya adalah koki, tapi kemudian berusaha belajar dan mengikuti kursus agar bisa menjadi pemandu. Dia belajar tentang taman nasional, margasatwa, konservasi orang utan dan juga bahasa Inggris dari pelatihan yang diadakan departemen pariwisata. Pak Pi’i ini senang dengan anak-anak dan bisa akrab dengan Little A. Ketika Little A capek trekking, Pak Pi’i mau menggendongnya di pundak. Untung badannya besar. Pak Pi’i juga yang selalu membawakan botol-botol air minum kami. Manja banget ya, dasar turis Indonesia :)) Di hari terakhir sebelum tugasnya selesai, dia sempat memberikan pelajaran sulap untuk Little A. Bonus!

Untuk liburan ke Taman Nasional Tanjung Puting ini saya memesan paket 3 hari 2 malam, yang termasuk antar jemput bandara, sewa klotok, bahan bakar, gaji kru, makan dan minum, dan tiket masuk ke taman nasional. Tarif 3D/2N untuk dewasa adalah Rp 1.750.000 per orang, sementara untuk anak-anak Rp 1.500.000 per orang. Total Rp 6,5 juta all in. Tinggal nambah tiket pesawat dari kota masing-masing ke Pangkalan Bun.

Yang nggak sanggup bermalam di perahu, bisa menginap di Rimba Ecolodge atau homestay yang ada di sana. Tapi dijamin, pengalamannya lebih seru kalau menginap di perahu, goyang-goyang kecilnya masih terasa sampai dua hari kemudian 🙂

Klotok tetangga, pakai spring bed
Penginapan Rimba Eco Lodge
Pak Pi’i, pemandu kami
Pak Syahrizal (kapten) dan Bu Atik (koki)

~ The Emak

Baca juga: 
Orang Utan Trip With Kids: Itinerary & Budget

Orang Utan Trip With Kids: Itinerary & Budget

Tom, penguasa Camp Leakey

Saya sudah bercita-cita mengunjungi Tanjung Puting National Park sejak lama, ketika pesawat ke Pangkalan Bun masih pakai baling-baling dan hanya ada dari bandara Semarang. Niatan saya menguat ketika mengunjungi Singapore Zoo dua tahun lalu. Di sana, orang utan kita dijadikan maskot dan diperlakukan istimewa. Sementara di sini kadang saya menemukan orang-orang yang menjadikan orang utan sebagai bahan olok-olok dengan teman. Waktu itu saya berjanji ke Little A untuk membawanya mengunjungi orang utan di habitat aslinya. “Their real home is in Indonesia?” tanya Little A. Yes!

Alhamdulillah trip mengunjungi orang utan ini bisa terwujud tahun ini ketika ada liburan paskah. Kami memesan tur 3 hari 2 malam. Di tulisan ini saya akan sharing rangkuman itinerary dan budgetnya dulu. Tentang klotok dan taman nasional Tanjung Puting akan saya tulis tersendiri. 

Bisa nggak sih mengunjungi orang utan di habitat aslinya bersama anak-anak? Bisa banget.

Day 1
Pesawat kami berangkat jam enam pagi dari Surabaya. Cuma diperlukan waktu 55 menit untuk terbang menuju bandara Iskandar di Pangkalan Bun. Selain dari Surabaya, Pangkalan Bun (PKN) bisa dicapai dari Jakarta (1 jam 15 menit), Solo dan Semarang. Maskapai yang melayani rute ini adalah Trigana Air dan Kalstar.

Keluar dari bandara, kami disambut guide yang mengantar kami ke pelabuhan Kumai, tempat klotok parkir. Perjalanan dari bandara Iskandar ke Kumai sekitar 30 menit. Setelah beres-beres sebentar dan berkenalan dengan kru klotok (river boat), kapal berangkat dari Kumai jam 9 pagi. Klotok berjalan pelan menyusuri sungai Sekonyer yang menjadi batas luar dari Taman Nasional Tanjung Puting. Di kiri kanan sungai kami melihat pohon-pohon Nipah yang daunnya digunakan sebagai atap rumah oleh penduduk lokal. Daun muda Nipah juga menjadi makanan orang utan.

Setelah tiga jam, klotok ditambatkan untuk istirahat dan makan siang. Jangan khawatir, makan siang sudah disiapkan oleh tukang masak yang ikut sebagai kru klotok. Kami tinggal makan saja. Manja banget ya orang Indonesia? Hehe.

Jam dua siang, kami melanjutkan perjalanan ke Tanjung Harapan. Dari tempat kami parkir klotok, cuma perlu waktu setengah jam. Dari dermaga, kami perlu berjalan kurang lebih setengah jam (1 km) ke tempat pemberian makan orang utan (feeding platform). Jalan setapaknya mulai dari tanah berpasir sampai tanah gambut yang becek dengan akar pohon yang menonjol. Ya namanya juga hutan :p Little A (6 tahun) kuat jalan sendiri. Untuk anak balita mungkin perlu digendong atau jalan pelan-pelan. Jadwal pemberian makan di Tanjung Harapan adalah jam tiga sore.

Sekitar jam tiga sore, petugas meletakkan dua karung buah-buahan dan satu baskom besar susu di feeding platform. Kami para turis (lebih banyak bulenya daripada orang Indonesia) menunggu kedatangan orang utan dengan harap-harap cemas, semua siap dengan gadget di tangan 😀

Kami termasuk beruntung karena bisa bertemu dengan Gundul, orang utan penguasa Tanjung Harapan. Saat musim buah begini, tidak banyak orang utan yang datang ke tempat pemberian makan karena mereka sudah cukup kenyang dengan buah-buahan di alam liar. Selain Gundul, ada beberapa orang utan dan bayi mereka yang ikut nimbrung minum susu, tentu dengan seizin si penguasa.

Sejam kemudian kami kembali naik ke kelotok dan mulai berburu Bekantan. Kalian ingat maskot Dufan? Nah, seperti itulah bekantan (Proboscis Monkey), monyet yang hidungnya panjang, yang merupakan endemik di Tanjung Puting. Kami menemukan banyak bekantan yang nongkrong di pucuk pohon, menunggu matahari terbenam. 

Makan malam alias candle lit dinner disajikan pukul tujuh. Guide kami mencarikan tempat berlabuh yang banyak kunang-kunangnya. Klotok bagian atas disulap menjadi tempat tidur, lengkap dengan kelambu untuk menangkal nyamuk dan serangga. Sayang sekali di langit tidak terlihat bintang karena mendung. Kami tidur ditemani suara-suara binatang malam.

Jalur trekking menuju Tanjung Harapan
Gundul, penguasa Tanjung Harapan

Day 2
Kami bangun disambut oleh suara-suara burung yang bersahutan. Sarapan disajikan jam 6.30. Menunya roti panggang dengan macam-macam olesan dan banana pancake. Yummy. Sambil sarapan, klotok tetap berjalan karena kami tidak ingin terlambat ke Pondok Tanggui. Jadwal pemberian makan di Pondok Tanggui adalah jam sembilan pagi.

Sekitar dua jam kemudian kami sampai di dermaga Pondok Tanggui. Trek menuju feeding platform juga sekitar 1 km, dapat ditempuh dengan jalan santai kurang lebih setengah jam. Belum sampai ke tempat pemberian makan, kami sudah melihat orang utan yang leyeh-leyeh di pohon bersama bayinya: Ricak dan Robby. Anak orang utan diberi nama sesuai huruf awal ibunya. 

Ternyata tidak ada orang utan yang datang di feeding platform Pondok Tanggui. Kami dan turis lainnya menunggu sampai satu jam, tidak ada seorang pun, eh, seekor pun yang datang. Yah gimana lagi, mungkin mereka sudah tercukupi kebutuhannya di dalam hutan. Akhirnya kami trekking untuk melihat vegetasi yang ada di sekitar hutan Pondok Tanggui. 

Dari Pondok Tanggui kami melanjutkan ke Camp Leakey, sekitar dua jam perjalanan. Kami makan siang di jalan, masih dengan menu ikan segar yang baru saja dimasak. Jadwal pemberian makan di Camp Leakey adalah jam dua siang. 

Trekking dari dermaga Camp Leakey menuju feeding platform cukup jauh, dua kali lipat dari camp sebelumnya. Kami butuh waktu 45 menit berjalan dengan kecepatan sedang. 

Hari ini kami beruntung bisa bertemu dengan Tom, alpha male di Camp Leakey. Penguasa hutan ini umurnya 35 tahun dan punya kekuatan delapan orang dewasa. Jadi memang aturannya kita tidak boleh dekat-dekat dengan orang utan, apalagi mengajak selfie. Ingat, ini habitat asli mereka, bukan kebun binatang. Setelah bertemu Tom, kami sempatkan singgah di information centre untuk melihat foto-foto dan display pengetahuan tentang orang utan. Tahu nggak kalau DNA orang utan 97% sama dengan DNA manusia? 🙂

Di sebelah information centre adalah rumah Dr Birute Galdikas yang pertama kali meneliti orang utan di Tanjung Puting sejak tahun 1971.

Jam empat sore kami pergi dari Camp Leakey. Pak Pi’i, guide kami menawarkan trekking malam untuk melihat binatang-binatang nocturnal di Pondok Ambung, tapi kami sudah terlalu capek dan anak-anak juga tidak mau. Hahaha, turis malas :p 

Sebagai gantinya, kami bisa melihat gerhana bulan dari deck klotok dan makan malam bersama ribuan bintang yang terlihat benderang di langit. Karena kecanggihan kamera kami tidak bisa mengabadikan keindahan bulan dan bintang-bintang di malam hari, semuanya kami rekam baik-baik dalam ingatan. Sambil nyanyi lagunya Ed Sheeran ‘… kiss me under the light of a thousand stars…’

Keluarga precils di Camp Leakey

Day 3
Hari ini kami sudah harus balik lagi ke kota, meninggalkan sungai dan hutan yang tenang dan damai. Sarapan dihidangkan jam tujuh. Kemudian jam sembilan kami berangkat menuju Sekonyer Village untuk berjalan-jalan dan melihat suasana desa di tepi sungai Sekonyer ini. Dulu, penduduk ini tinggal di dalam taman nasional, tapi kemudian dipindah ke sini dan beranak pinak.
 

Sambil berjalan kembali ke pelabuhan Kumai, kami makan siang awal, sekitar jam sebelas. Jam dua belas siang kami sudah sampai di Kumai. Setelah berpamitan dengan kru klotok, kami diantar ke bandara dan bisa langsung cek in menuju Surabaya.
 
Sebenarnya ada itinerary untuk 2 hari 1 malam yang bisa dilakukan di akhir pekan. Tapi itinerary 2D/1N ini cukup padat dan melelahkan. Di hari pertama (pagi hari) kita diantar langsung menuju Camp Leakey, camp yang paling jauh dari pelabuhan Kumai. Perjalanan bisa sampai enam jam. Baru di hari kedua, klotok berbalik arah dan singgah di Pondok Tanggui dan Tanjung Harapan, sekalian kembali ke pelabuhan Kumai.

Klotok alias River Boat yang kami sewa

BUDGET
Saya memesan tur ini ke Kak Indra dari @bpborneo. Tarif tur sudah all in termasuk transfer dari bandara ke pelabuhan Kumai, sewa klotok + bahan bakar, gaji kru (kapten, cook, asisten), guide, tiket masuk taman nasional, tiket kamera, biaya parkir klotok, makan 7 kali, camilan beserta teh kopi soft drink. Kami tinggal beli tiket pesawat (saya beli via Traveloka) dan bawa badan saja.

Tiket pesawat Trigana Air SUB – PKN pp       4x 1.150.000 = IDR 4.600.000
Tour all in Adult                                         2x 1.750.000 = IDR 3.500.000
Tour all in Children                                     2x 1.500.000 = IDR 3.000.000

TOTAL (4 orang ) = IDR 11.100.000

Pengeluaran lain (opsional) untuk membeli suvenir dan tip kru (kalau mau memberi).

Sebelum memutuskan ngetrip dengan Backpacker Borneo, saya sudah cek toko sebelah, dan memang Kak Indra yang tarifnya paling terjangkau buat kami. Satu kapal klotok bisa eksklusif untuk keluarga kami saja, empat orang. Tentu kalau ngetrip dengan lebih banyak orang, jatuhnya akan lebih murah per-orangnya. Klotoknya juga akan dapat yang lebih besar. Tapi rata-rata fasilitasnya sama, hanya furniture dan dekorasinya saja yang berbeda. Harga yang lebih mahal biasanya dapat kapal yang lebih baru dengan interior yang lebih bagus.

Sebelum memutuskan ngetrip dengan siapa, coba cek dulu beberapa operator tur yang aktif di sosial media ini:
1) Tukang Jalan
2) Kakaban Trip
3) Ibu Penyu

Kalau ingin naik klotok yang lebih fancy, bisa pesan klotok langganan emak-emak Ostrali ini. Tapi tarifnya dolar 😀 http://www.borneotour.org

Atau kalau nggak sanggup tidur di kapal dan nggak bisa hidup tanpa AC dan mandi air panas, bisa menginap di hotel satu-satunya di sana. Cek langsung di http://rimbaecolodge.com 

Saya sendiri memilih Kak Indra yang putera Borneo asli. Cek blognya di sini, dan website turnya di sini.

Tur mengunjungi orang utan di habitat aslinya ini sangat menyenangkan karena perjalanannya santai. Bagi anak-anak, ini pengalaman istimewa yang akan mereka kenang dan bisa mereka ceritakan ke teman-temannya. Bisa jalan-jalan di hutan, tidur di kapal, mandi dengan air sungai, melihat bintang, melihat orang utan, bekantan, monyet, lutung, gibon, ratusan kupu-kupu di rumahnya sendiri. Pengalaman seperti ini tidak bisa mereka dapatkan di kebun binatang dalam kota.

~ The Emak

Baca juga: 

Menyusuri Sungai Sekonyer dengan Klotok

Kartupos Dari Alor

Si Ayah baru saja pulang dari Alor, Nusa Tenggara Timur. Ketika ditawari menjadi tim penyeleksi beasiswa di pulau ini, dia langsung setuju. Tapi sesaat kemudian dia mengirim pesan WA ke saya, “Alor itu di mana sih?”

IQ boleh tinggi, TOELF boleh mendekati sempurna, tapi Si Ayah ini gak jago geografi. Dia pikir Alor dekat sama Lombok *keselek*. Untuk yang buta peta Indonesia juga, kepulauan Alor itu di sebelah utaranya Pulau Timor (tahu kan, yang bagian timurnya sudah masuk wilayah East Timor?). Untuk menuju Alor, ada penerbangan dari Kupang (yang ini ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur, ada di pulau Timor). Sehari ada dua penerbangan Kupang – Alor (jam 10.00 dan jam 14.00), dan dua penerbangan balik Alor – Kupang (jam 11.10 dan jam 15.10). Penerbangan ini dilayani oleh maskapai Trans Nusa. Lama penerbangan dari Kupang ke Alor adalah 50 menit. 


Sementara itu, ada banyak jalan menuju Kupang. Dari Surabaya ada 4 maskapai yang melayani penerbangan ke Kupang: Sriwijaya, Lion Air, Citilink dan Garuda Indonesia.

Dari Alor, Si Ayah membawakan oleh-oleh kain tenun, kacang kenari, kue-kue, dan terutama cerita. Tentang penduduk Alor yang seumur hidupnya belum pernah keluar dari pulau. Tentang jamuan makan malam dengan Bapak Bupati (menu ikan tentu saja). Tentang Bapak Bupati yang semangat mengirim putera daerah untuk sekolah lagi. Tentang anak-anak yang gembira bermain dengan penyu dan mengembalikannya ke laut setelah mereka puas. Dan terutama tentang alam Alor yang sangat indah, meski penduduk lokal merasa biasa-biasa saja.

Selamat menikmati cerita tentang Alor, lewat foto-foto Si Ayah ini.

The beauty of Alor…

And the people of Alor…

~ The Emak

Keliling Dunia di Museum Angkut Malang

Suasana Batavia

Museum Angkut yang baru saja dibuka di kota wisata Batu (30 menit dari kota Malang) ini seketika menjadi hot destination. Nggak heran sih, koleksinya menarik dan penataannya apik. Museum ini juga didesain agar pengunjung bisa berinteraksi (baca: foto-foto) maksimal. Kabarnya, museum ini selalu ramai, tidak hanya di akhir pekan saja. Alhamdulillah, sekarang orang Indonesia cinta museum 🙂

Lokasi Museum Angkut ini mudah dicari, di pojokan jalan Sultan Agung. Kalau datang dari arah Malang, belok kiri di Jl Imam Bonjol Bawah (sebelah kanan ada Matahari- Lippo Plaza). Lokasi museum di belakang Jatim Park 1. Harga tiketnya hari kerja 50 ribu dan akhir pekan 75 ribu. Kalau ingin tiket terusan ke museum topeng bayar tambahan 10 ribu. Anak-anak yang tingginya di atas 85 cm sudah harus bayar penuh. Little A seneng banget sudah harus beli tiket sendiri. Emaknya yang nggak happy, pengennya gratisan atau diskon 😀 Kamera juga harus bayar tiket tambahan sebesar 30 ribu. Tapi kalau ‘cuma’ kamera hape atau tablet nggak bayar kok.

Little A senang sudah nggak little lagi, bayar penuh!

Lokasi Museum Angkut, Jl Terusan Sultan Agung Atas No.2 (klik untuk memperbesar)

Museum buka mulai jam 12 siang. Kami sekeluarga besar mruput datang pas museum buka dengan harapan suasana masih sepi. Eh ternyata sampai di sana tempat parkir sudah penuh semua. Akhirnya kami dapat tempat parkir ‘VIP’ di dekat pintu masuk. Pengunjung banyak sekali tapi bisa antre dengan tertib untuk beli tiket dan masuk ke museum. Saya sudah agak ilfil dengan banyaknya orang, tapi ternyata setelah sampai di dalam kami masih punya ruang untuk menikmati koleksi yang dipajang, tidak berdesak-desakan karena bangunannya besar banget.

Di lantai satu ada koleksi campur-campur mulai dari kereta kuda sampai mobil balap. Ada mobil dan helikopter yang dulu pernah dipakai presiden RI pertama: Ir Soekarno. Ada koleksi sepeda dari perusahaan pembuat mobil ternama. Juga ada koleksi berbagai macam sepeda motor dari seluruh dunia. Dari koleksi-koleksi ini sebagian hanya boleh dipandang, tapi sebagian lain boleh dinaiki. Mobil balap merah ini termasuk yang laris difoto bersama anak-anak. Kalau orang dewasa, mungkin lebih senang berfoto bersama mobil balap F1 dan Michael Schumacher KW. Ada kok, tapi harus antre.

Di lantai dua ada koleksi moda angkut yang lebih tradisional: becak dan bendi dari berbagai daerah, dengan nama dan ornamen yang bervariasi: andong, cidomo, dokar. Moda transportasi lain yang dipamerkan adalah kapal laut, mulai dari kapal yang sangat sederhana dari balok kayu utuh sampai replika kapal yang rumit. Saya dan Big A asyik membandingkan replika kapal Majapahit dan kapal junk dari Hong Kong. Ada juga sih replika kapal Titanic, tapi sudah puas lihat di filmnya, nggak seru lagi :p  

Di lantai dua ini ada berbagai display interaktif yang menarik seperti permainan tebak suara (suara pesawat jenis tertentu dan jenis klakson kereta api), film kartun pendek yang informatif tentang kereta dan nukilan film pendek sejarah kapal terbang, serta display game lainnya. Little A terpaku melihat display cara kerja mesin kereta api dan mesin mobil. Big A sampai hafal fakta-fakta tentang perkeretaapian (di mana kereta api terpanjang, kereta api terberat, stasiun tersibuk dll). Sementara itu Si Ayah tidak bisa membedakan suara pesawat dan gergaji listrik! *tepok jidat* 


Lantai dua cukup menarik dengan display interaktifnya, tapi terlalu bising buat saya. Untungnya, keluar dari lantai dua ini kami diajak ke arena luar ruang: Batavia. Suasana hiruk pikuk Batavia tempo dulu dihidupkan kembali lewat bangunan toko-toko pecinan dan kendaraan yang parkir di jalan-jalan: sepeda, gerobak, becak, bajaj, oplet dan dokar. Di sebelah Stasiun Jakarta Kota ada set pelabuhan dengan berbagai macam mode angkut. Di pojok pelabuhan ada warung zaman dulu yang baru buka besok 😀 Hujan rintik-rintik tidak menghalangi para pengunjung untuk berfoto dengan pose aneh-aneh. Termasuk saya tentu saja. Tapi dari sekian pose foto yang saya coba, yang paling ‘wangun’ kok cuma pose saya naik sepeda bawa segunung krat dan pose dengan motor honda tahun 70-an ya? *why*

Kami keluarga precils berempat berkunjung ke museum angkut ini dengan Ibu, Bapak, adik saya Dila, suami siaganya serta Baby K. Bapak saya paling cocok berpose di depan rumah-rumah Tionghoa. Sementara keluarga Dila keren banget posenya di samping bis Lambaiyan Bunga. Wajahnya Melayu banget, hehe.



Dinamika dan alur pengunjung museum ini enak diikuti. Setelah ada arena luar ruang, kami diajak ke dalam ruangan lagi menikmati koleksi mobil-mobil Australia dan sepeda motor Jepang. Setelah itu ada ruang terbuka lagi. Kali ini dengan tema Broadway. Kalau saja tidak hujan, jalanan Broadway ini asyik untuk foto-foto. Setting bangunannya: kantor polisi, kantor pemadam kebakaran, apartemen, salon, bank dan teater cukup meyakinkan, seperti set film. Ditambah mobil-mobil kuno Amerika yang ‘parkir’ di pinggil jalan, hasil foto bisa seperti di Amrik sungguhan. Padahal KW, hehe.

Dari jalanan Amerika, kami langsung melompat masuk ke Eropa. Disambut dengan vespa-vespa Italia yang diparkir di pinggir pantai. Lantai ruangan ini dari batu-batuan sehingga suasananya mirip dengan lorong-lorong sempit di kota-kota di Eropa. Dari Italia kami menuju… Perancis! Kota Paris dibuat miniaturnya lengkap kafe-kafe cantik dengan menara Eiffel KW2. Big A dengan dramatis bilang, “O la laa, de ja vuuu…” Dia tidak bisa menahan tawa melihat orang-orang sibuk berfoto dengan menara Eiffel KW. Ya biar lah Kak, siapa tahu jadi bisa ke Paris beneran. Sementara Little A asyik-asyik aja diajak pose-pose sama Tantenya.

Dari Perancis, satu lompatan membawa kami ke Jerman. Suasana desa di Jerman ini asyik banget, dengan rumah tradisional dan mobil-mobil VW. Pohon berdaun cokelat seperti di musim gugur semakin menambah romantis suasana. Cocok lah buat pemotretan pre-wed :p Tak lupa kami berfoto di depan tembok Berlin KW3. Btw, orang-orang Jerman memang segedhe itu ya dibanding orang Asia? 😀


Jerman adalah negara kesayangan Big A, karena tugas akhirnya di kelas 6 adalah membuat pameran dan presentasi tentang Jerman. Big A merasa tahu banget tentang Jerman dan cinta segala sesuatu buatan Jerman. Jadi dia betah banget di Jerman buatan ini. Sementara itu… tepat di seberang Jerman adalah: Inggris! Sekarang giliran Tante Dila yang histeris. Dia senang sekali segala sesuatu yang berbau Inggris dan bercita-cita pengen ke sana.


Simbol-simbol London disajikan lengkap: kotak telepon umum warna merah, simbol kereta bawah tanah, penjaga istana, The Beatles dan Mr Bean. Keluar dari London-londonan ini kami bisa melihat Istana Buckingham (nggak tahu ini KW berapa). Tampak depannya cukup mirip, tamannya pun meyakinkan. Cuma kalau mau foto di depan sini, jangan sampai tulisan ‘Istana Buckingham’ ikut muncul. Kenapa? Karena ‘Istana’ itu bahasa Indonesia, bahasa Inggrisnya ‘Palace’ :))

Kejutannya, ternyata istana Buckingham ini tidak cuma depannya doang, ada dalamnya beneran. Langit-langitnya dihiasi lampu gantung mewah. Di pojokan juga ada tahta sang ratu, lengkap dengan Ratu Elizabeth KW. Di tengah istana, anak-anak bisa bermain dengan double decker bus, bis tingkat warna merah yang menjadi simbol khas London. Atau, seperti kami, naik kereta mini keliling istana. Gratis! Little A langsung jatuh cinta dengan kereta mini ini dan bilang kalau Istana Buckingham adalah tempat favoritnya di museum angkut.

Meskipun tiket masuknya cukup mahal (dibanding museum-museum yang lain), kami cukup puas dengan museum ini karena fasilitasnya cukup bagus. Museum ini aksesibel, ada lift dan ramp bagi yang berkursi roda atau membawa stroller. Toilet disediakan di setiap area dan kondisinya bersih. Tempat duduk juga selalu ada di setiap area. Bapak saya pernah terserang stroke ringan sehingga tidak kuat jalan jauh. Tapi di museum ini, beliau bisa beristirahat (duduk) di setiap area sementara kami masih sibuk beredar. Alhamdulillah Bapak kuat ‘keliling dunia’ sampai akhir. Selain kursi tempat duduk, di beberapa area juga ada warung atau kafe makanan kecil untuk pengganjal perut. Kami sempat duduk-duduk di area Broadway sambil nyemil kentang goreng, hot dog, dan minum kopi dan milo hangat. Sebenarnya sambil menunggu hujan reda tapi kok ya nggak berhenti-berhenti. Di wahana terakhir (Hollywood) ada restoran cepat saji CFC. Sebenarnya ada warung apung yang juga menjual makanan tradisional yang tentunya lebih enak dari ayam goreng cepat saji, tapi sayang sekali kalau hari hujan area outdoor tersebut tidak bisa dinikmati.

Yang masih perlu diperbaiki dan ditambah adalah fasilitas mushollanya. Tempat ibadah yang terletak di dekat tempat parkir bus ini kurang besar untuk menampung pengunjung sebegitu banyak. Tempat wudhu juga cuma sedikit. Saran saya membuat musholla baru lagi atau memperbesar fasilitas yang sudah ada ini.

Secara umum kami senang dan puas mengunjungi Museum Angkut. Petugasnya cukup ramah dan sigap membantu. Di dalam ruangan saya juga tidak menghirup asap rokok. Sayangnya ada satu dua pengunjung yang masih membuang sampah sembarangan di area outdoor, padahal tempat sampah sudah disediakan, kira-kira dua meter dari mereka berdiri. Duh, harus diapain ya orang-orang seperti ini?

Bravo untuk pengelola Museum Angkut. Museum ini wajib dikunjungi untuk yang berlibur ke kota wisata Batu dan Malang. Semoga keluarga-keluarga di Indonesia jadi semakin cinta museum 🙂 

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Review Hotel Melia Purosani Yogyakarta

View dari kamar No 552

Libur Idul Adha tahun ini, kami pengen staycation di Jogja bareng rombongan sirkus keluarga besar. Terus terang aja kami belum pernah menginap di hotel manapun di Jogja, lha wong punya rumah di dekat sini kok 🙂 Mumpung punya voucher Agoda, sekali-sekali nyoba hotel di Yogyakarta.

Tadinya saya dan Diladol, adik saya tercintah pengen nyobain hotel-hotel baru di Jogja. Memang banyak banget hotel baru yang dibangun di Jogja dua tahun belakangan ini, seperti cendawan di musim hujan. Mulai dari hotel bintang tiga sampai bintang lima. Kali ini kami pengen hotel yang: 1) punya kolam renang untuk anak dan 2) sarapannya enak. Lokasi nggak masalah karena kami bawa mobil sendiri. Dari sini kami coret daftar hotel bintang 3 karena nggak ada kolam renangnya.

Hotel-hotel baru di Jogja yang masuk incaran kami adalah: The 101 Tugu (dekat Tugu Jogja, tentu), Grand Zuri (dekat stasiun Tugu), dan Grand Aston (Jl. Solo). Ada teman yang merekomendasikan Tentrem, hotel bintang lima baru yang terkenal punya tempat main (indoor play area) yang besar banget. Tapi saya kurang sreg sama hotel ini. Teman lain merekomendasikan Santika Premier (Jl. Sudirman) yang menu sarapan tradisionalnya paling top se-Jogja. Lokasi Santika juga gak jauh sih dari Tugu dan Malioboro, bisa naik becak.

Tapi akhirnya kami pilih Melia Purosani, dengan alasan ini hotel bintang lima yang tarifnya paling murah. Persis prinsip Si Ayah banget. Hotel bintang lima di ‘belakang’ Malioboro ini sudah berdiri sejak 1995. Zaman SMA dulu, sudah ratusan kali saya lewat tikungan depan hotel pinky ini dan hanya bisa memandang kagum 😀 Kami memesan hotel ini via Agoda, setelah membandingkan harga di Hotelscombined. Tarif Agoda memang paling murah, bahkan dibanding dengan memesan online dari website hotel. Lagipula, saya memang ingin memakai poin Agoda. Kami memesan 3 kamar dengan tarif Rp 730 ribu per kamar per malam, termasuk pajak dan sarapan.

Kami datang di hari Minggu jam 2 siang, tepat saat cek in dibuka. Nggak mau rugi dong. Pelayanan resepsionis cukup ramah, tapi proses cek in lumayan lama. Seminggu sebelum cek in, saya sudah mengirim email meminta connecting room dan satu baby cot (boks bayi). Jam dua siang, baru ada dua kamar yang siap, itu pun bukan connecting rooms. Ya sudah nggak papa. Kami diberi kamar di level yang tinggi agar tidak berisik dan menghadap ke kolam renang, sesuai permintaan saya di email.

Setelah mendapat kunci, precils langsung melesat ke kamar. They looooove hotels :p Little A langsung loncat-loncat di kasur, sebelum saya usir karena harus difoto dulu sebelum kusut, hehe. Saya cek kelengkapan kamar dan kamar mandi, semua bersih dan rapi jadi tidak perlu komplain.

Kamar yang saya dan duo precils tempati nomor 552, dengan pemandangan ke kolam renang. Kasurnya queen bed, cukuplah untuk tidur bertiga. Sayang sekali Si Ayah harus masuk kerja hari Senin, jadi tidak bisa ikut menginap di hotel. Tapi Si Ayah sempat mencoba kolam renangnya dengan Little A. Di pojok kamar ada 2 seater sofa, coffee table dan meja kerja. Kamar mandinya cukup besar dengan bak mandi (bathtub) dan pancuran (shower) terpisah. Wastafelnya kelihatan tua dan letih, minta direnovasi. Tapi secara umum cukup bersih.

Amenities di kamar mandi lengkap banget: sabun, shower gel, shampoo, kondisioner, sisir, kikir kuku, cukuran, body talc, body lotion, alat jahit, sikat gigi, pasta gigi, penggosok sepatu, shower cap bahkan deterjen. Di atas bak mandi juga ada tali jemuran yang bisa untuk jemur pakaian renang. Hotel juga menyediakan dua botol air mineral gratis. Cuma yang saya heran, botolnya kecil banget, nggak bakal cukup untuk seharian. Minibar menyediakan teh dan kopi gratis, dengan gula dan krimer. Ada hadiah kecil khusus kamar ini yaitu sandal batik yang bisa dipakai di rumah. Lumayan 🙂

Kamar yang ditempati Bapak dan Ibu saya nomor 548, selisih satu kamar dengan kamar saya. Interiornya sama persis, hanya saja ada balkonnya. Di balkon ada dua kursi untuk duduk-duduk. Dari balkon bisa melihat pemandangan kolam renang dan sisi hotel bagian dalam. Kamar mandinya sama, televisinya juga sama. Kami senang karena chanel kabelnya lengkap, mau nonton apa saja bisa: berita, film, petualangan, tayangan anak, olahraga, musik, dan lain-lain. Bapak saya senang bisa nonton Nat Geo Wild seharian. Beliau sampai nanya apa bisa dipasang di rumah, hehe.
 
Sementara Ibu saya senang bisa mandi berendam. Beliau mengaku mandi berendam dua kali biar nggak rugi bayar hotelnya, hehe. Ketahuan kan prinsip ngiritisme The Emak menurun dari siapa? 😉

View dari balkon kamar 548
View dari kamar 544
King bed di kamar 544
boks bayi gratis

Begitu selesai menaruh barang di kamar, kami langsung turun untuk berenang. Suasana kolam dan sekelilingnya sangat nyaman, cocok untuk bersantai. Sore itu cuma ada beberapa bule yang leyeh-leyeh di kursi malas. Little A langsung nyemplung dan senang banget bisa perosotan berkali-kali. Baby K yang hampir satu tahun usianya juga nyemplung berbekal pelampung leher. Tapi cuma bisa sebentar karena airnya dingin. Saya juga menyempatkan berenang beberapa kali putaran. Cuma agak susah juga karena bentuk kolamnya free form. Kolam seperti ini cuma cocok untuk main-main dan leisure swimming saja, bukan untuk olahraga serius.

Di sebelah kolam renang ada fasilitas bilas yang cukup bersih dan nyaman, dengan bilik pribadi dan pancuran air hangat. Kolam ini buka dari pukul 8 pagi sampai 8 malam.

Selesai berenang, kamar ketiga yang kami pesan siap. Kamar nomor 544 ini punya kasur ukuran king yang besar banget. Untuk tidur berempat pun cukup. Di kamar ini juga ada baby cot seperti yang sudah saya pesan. Kamar ini ditempati Diladol, Suami Siaga dan Baby K.

welcome drink: jus terong belanda

Ketika cek in kami diberi kupon welcome drink yang bisa ditukar dengan minuman di bar. Menu hari itu jus terong belanda yang ternyata enak, asem-asem seger gitu. Kami minum-minum di bar setelah makan malam di luar. Tadinya kami ingin mencoba Ayam Goreng Bu Tini, tapi karena sudah tutup, kami melipir ke Bebek Cak Koting di depan eks bioskop Mataram. Banyak pilihan makan malam di Jogja yang lebih enak dan lebih murah daripada di hotel 🙂 Melia dekat sekali dengan Malioboro, cukup 15 menit jalan kaki. Malam hari bisa jalan kaki sampai ke toko Mirota Batik, ujung jalan Malioboro untuk belanja-belanji oleh-oleh sekaligus makan malam di Kafe Oyot Godhong. Yang nggak kuat terbiasa jalan kaki bisa naik becak yang mangkal di samping hotel.

Paginya, kami sengaja mruput sarapan, ketika suasana masih sepi. Kami memilih duduk di sofa di pojok. Tak lupa meminta kursi makan bayi untuk Baby K. Keuntungan sarapan awal, menu makanan masih lengkap, tidak perlu antre dan… masih banyak waktu untuk ambil berkali-kali. Sesuai prinsip ‘jangan sampai rugi’, kami mencoba semua makanan, sedikit-sedikit. Precils yang berlidah bule, seperti biasa sarapan roti dan olesan, disusul sosis dan kentang wedges (sayangnya tidak ada hash brown kesukaan Big A). Sementara saya, mewajibkan diri mencoba bubur ayam di setiap hotel. Buryam Melia saya kasih nilai 7, cukup enak dan gurih, tapi tidak spesial. Nasi kuningnya juga biasa saja. Kalau roti dan pastry-nya bolehlah, ada pilihan whole wheat, sordough dan baguette.

Yang membuat saya senang, Bapak dan Ibu saya menikmati sekali sarapan di hotel. Ibu saya mencoba semua makanan ‘aneh-aneh’ yang tidak biasa beliau makan sehari-hari. Ibu senang sekali dengan baked beans, yang beliau makan bersama dengan… nasi goreng, hahaha. Bapak saya juga senang mencoba beberapa makanan, meski tidak sebanyak ibu.

Sayangnya makanan enak-enak ini tidak ditemani dengan kopi enak pula. Sepertinya kopinya cuma standar kopi sachet seperti yang tersedia di minibar kamar. Padahal negara ini punya kopi-kopi lokal yang rasanya khas dan nikmat. Mestinya nanti hotel-hotel bintang lima seperti ini bekerja sama dengan artisan kopi lokal di wilayahnya untuk menyuguhkan kopi andalan.

Kenyang, kami istirahat, beres-beres sebentar dan cek out sekitar jam 9.30. Ibu saya ingin segera kulakan bahan untuk tokonya, hahaha. Alhamdulillah, staycation kali ini sukses dan semua senang. Staycation berikutnya, enaknya ke hotel mana ya?

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Baca juga:
Indrayanti Sang Primadona Gunung Kidul
Griya Pesisir Pantai Pulang Sawal[review penginapan]

 

Parkir Inap di Bandara Juanda Surabaya

Suasana cek in di Terminal 2 Juanda Airport

Home airport baru kami, bandara Juanda Surabaya terminal 2 mulai beroperasi 14 Februari 2014, tepat ketika Gunung Kelud meletus. Waktu itu, bandara yang baru saja dibuka, terpaksa ditutup kembali. Seluruh penerbangan dibatalkan, termasuk penerbangan kami ke Johor Bahru.

Setelah mengganti jadwal terbang, kami pun berkesempatan mencoba bandara baru ini. Saya dengan pedenya bilang ke Si Ayah bahwa terminal 2 letaknya di sebelah terminal 1. Mobil kami pun melenggang ke terminal 1 dan rencananya kami akan parkir inap di sana. Ternyata oh ternyata, letak terminal 2 ini jauh banget dari terminal 1. Dan karena ini Indonesia, tidak ada sky train atau moda transport cepat apapun yang menghubungan terminal 1 dan 2. Perlu setengah jam dalam kondisi jalan ramai. Saya uring-uringan karena kondisi jalan menuju bandara Juanda terminal 2 ini jelek banget, jalan kampung, tanpa petunjuk arah. 


“Jalan ini lurus, belok kiri, trus belok kiri lagi. Itu lho, bekas bandara Juanda lama, puspenerbal.” Begitu kira-kira kalau kita tanya jalan ke orang, dikiranya semua orang tahu letak bandara lama yang sekarang menjadi bandara baru setelah direnovasi.

Saya menyayangkan minimnya informasi bandara baru ini. Bahkan di website resminya, tidak ada keterangan lokasi. Ketika mencari tahu tentang parkir inap pun, saya tidak menemukan info apa-apa. Akun twitter resmi mereka pun tidak merespon ketika ditanya. Meh!

Minimal, kalau info di website belum beres, petunjuk jalan di lapangan sudah harus ada. Saya tidak menemukan satu papan petunjuk pun, dari terminal 1 ke terminal 2. Satu-satunya ‘clue’ bahwa kita menuju jalan yang benar adalah gerbang besar Pusat Penerbangan TNI AL (puspenerbal). 

Berikut peta dari bandara Juanda terminal 1 dan 2. Kapan ya, mereka akan membuat sky train?

Dari T1 ke T2: tujuh km, setengah jam.

Begitu melihat gerbang T2, saya mulai lega. Tampak dari luar memang cukup bagus. Nggak kalah dengan bandara di Sydney. Masuk ke gerbang parkir otomatis, kami mengambil tiket. Tidak ada petugas yang bisa ditanyai apakah bisa parkir menginap, letaknya di mana dan berapa biayanya. Baiklah, kami nekat saja, cari parkir biasa dan langsung masuk untuk cek in.

Gedung bandara baru terasa luas dan lebih lega. Di luar gedung, meski ada tanda tidak boleh merokok, beberapa orang tetap merokok. Ya gimana ya, memang sudah tradisi warisan leluhur? :p Kami juga melihat ada fasilitas air siap minum, fountain persis yang kami temui di Australia dan Singapura. Big A senyum-senyum tidak percaya. “Is it really safe to drink?” Padahal biasanya dia semangat minum dari pancuran 😀
 
Dekorasi toko-toko yang ada di luar konter cek in tampak baru dan cemerlang. Kami paling suka dengan toko Bon Bon, dengan mas-mas bercelemek pink. Gorjes! Tempat cek in juga luas dan nyaman. Setelah cek in, kami naik ke atas menuju imigrasi dan ruang tunggu. Sebelum imigrasi, ada pemeriksaan keamanan, dipisah antara laki-laki dan perempuan. Saya tidak masalah dengan pemisahan ini, karena memang perempuan akan diperiksa petugas perempuan kalau perlu. Hanya saja karena precils dua-duanya perempuan, saya jadi lebih repot, harus saya yang bawa anak-anak. Solusinya, tas serahkan semua ke Si Ayah, biar saya melenggang badan aja, bareng dengan anak-anak tentunya.

Pemeriksaan imigrasi lancar, hanya ada dua konter, tapi memang antrean pas tidak banyak. Sampai kami ke sana akhir April, baru beberapa toko yang buka setelah imigrasi. Duty Free belum buka, penukaran uang juga belum ada. Hanya ada starbucks, burger kings, hokben dan beberapa tempat makan lainnya.

T2 Juanda ini dibuka untuk mengurangi beban T1 yang sudah penuh banget. Terminal 1 tetap beroperasi melayani penerbangan domestik, sementara Terminal 2 melayani penerbangan domestik untuk airline tertentu dan semua penerbangan internasional.

Berikut daftar maskapai di Juanda Airport.
Terminal 1:
Domestik: Citilink, Lion Air, Batik Air, Wings Air, Kaltstar, Trigana, Sriwijaya, Express Air.

Terminal 2:
Domestik: Garuda Indonesia, Air Asia, Mandala Tiger Air
Internasional: Garuda Indonesia, Air Asia, Mandala Tiger Air, Lion Air, Jetstar/Valuair, Silk Air, Singapore Airlines, Cathay Pacific, Royal Brunei Airlines, Saudia, Eva Air, China Airlines.

Yang saya senangi di T2 ini, semua pesawat dilengkapi garbarata alias belalai gajah, jadi tidak perlu naik turun tangga, atau bahkan harus naik bis ke landasan karena parkirnya jauh. Fasilitas seperti ini sudah sepantasnya, karena Juanda ini termasuk airport yang pajaknya paling mahal, Rp 75.000 untuk domestik dan Rp 200.000 untuk penerbangan internasional. Jadi, jangan seneng dulu kalau dapat tiket murah ke LN dari bandara Juanda, masih harus bayar 200 ribu, hehehe.

Pulangnya, ada travelator yang membantu kita berjalan menuju imigrasi. Travelator ini sangat membantu untuk orang-orang tua dan anak-anak (dan Emak-emak yang males :p). Layanan imigrasi sekarang juga lebih cepat, lebih banyak konter yang dibuka. Selepas imigrasi, pemeriksaan custom/cukai juga cepat. Setelah menyerahkan kartu kedatangan, berisi deklarasi barang-barang yang kita bawa, seluruh tas penumpang tinggal dilewatkan ke pemeriksaan X-Ray. 

Surprise, toilet (baru) di T2 Juanda ini lebih bagus dari bandara Senai dan Penang. Hore! Di dekat pintu keluar, sudah ada layanan pemesanan taksi dengan argo. Bagus lah, memang kayaknya bandaranya jadi lebih baik. Tinggal asap rokoknya itu lho… Nggak tau deh bagaimana mengendalikan ‘tradisi’ yang satu ini.

travelator
imigrasi
pemesanan taksi

Alhamdulillah, mobil kami masih ada di tempat parkir, setelah dua hari ditinggal. Biaya parkir baru kami ketahui setelah kami melewati loket parkir. Untuk 44 jam, kami membayar Rp 60.000. Sedangkan pengalaman kami yang kedua, masuk Jumat pagi jam 8 dan keluar Minggu sore jam 4, bayar Rp 75.000. Coba deh hitung sendiri berapa tarif per jam atau per harinya :)) Kami tidak begitu peduli, yang penting kami tahu bahwa parkir menginap di T2 Juanda memang bisa, cukup gampang, nyaman dan aman. Tarif parkir inap lebih murah daripada kalau naik taksi pp ke rumah. Tentu saja, kalau dibandingkan tarif parkir di Sydney airport, Juanda murah banget. Di Sydney, Rp 75.000 (AUD 7) cuma bisa untuk parkir setengah JAM :p

We love Surabaya!

~ The Emak
 Follow @travelingprecil

Staycation in Surabaya: Hotel 88 Embong Kenongo

Cabang Hotel 88 di Embong Kenongo, Surabaya
Untuk menghindari berisik suara terompet, kembang api swadaya dan knalpot brong di malam tahun baru, kami memutuskan staycation di hotel (murah) di Surabaya.
Sebenarnya rencana staycation ini tidak sengaja. Ketika saya cek akun Agoda, ternyata poin saya bakal hangus per 31 Desember 2013 kalau tidak digunakan. Sayang banget kan poin-poin yang didapat dari bantu teman-teman backpacker yang belum punya kartu kredit untuk booking hotel ini hilang begitu saja. Iseng-iseng saya cari hotel yang bisa ditukar dengan 12,500 poin Agoda, dan ketemu hotel ini. Saya pesan dua bulan sebelumnya tanpa membuat rencana malam tahun baru sama sekali. Kalaupun nanti nggak jadi ya gakpapa, toh nggak rugi apa-apa.

Hotel ini relatif baru, salah satu cabang Hotel 88 yang banyak saya lihat di Singapore. Review-nya bagus. Lokasinya oke, di jalan Embong Kenongo 17, dekat dan bisa jalan kaki ke Plaza Surabaya (Delta), Monumen Kapal Selam, Pasar Bunga Kayoon, TIC (Tourism Information Centre), Perpustakaan Kota dan Es Krim Zangrandi. Yang nggak mau jalan kaki, taksi Blue Bird mangkal di depan hotel. Rate standar hotel ini sekitar 350 ribu, sudah termasuk sarapan. Kami dapatnya gratis pakai poin Agoda, jadi ya lumayan, pake banget :p

Enaknya pesan hotel di Indonesia, gak perlu pusing dengan aturan maksimal berapa orang per kamar. Asal muat dan mau empet-empetan aja, monggo, dipersilahkan, haha. Ketika cek in, saya hanya diminta menunjukkan KTP, tanpa ditanya berapa orang yang ikut menginap. Kamar superior kami terletak di lantai dua, untuk non-smoking room. Kamarnya mini banget sih, cuma 17 meter persegi, dengan satu king bed tanpa jendela. Tapi apalah artinya jendela kalau di kamar ada sambungan wifi yang cepat dan gratis. 

Fasilitas kamar ini standar, ada TV kabel, meja kerja, toilet dengan shower terpisah. Air minum botolan, handuk, sabun, shampo, sikat gigi dan sandal hotel juga disediakan. Tapi di kamar tidak ada mini bar (kulkas) dan alat pembuat teh/kopi. Nggak masalah sih, karena di tiap lantai ada dispenser air panas dan dingin. Di lobi juga disediakan teh dan kopi panas setiap saat. Bahkan di malam tahun baru ini ada bonus camilan kacang rebus, ubi dan singkong rebus dan wedang ronde, meski rasa wedangnya tidak karu-karuan :))

Seminggu sebelum malam tahun baru, saya baru tahu kalau di Surabaya diadakan Car Free Night di beberapa ruas jalan. Salah satunya adalah Jalan Jenderal Sudirman yang cuma 50 meter dari hotel ini. Wah, kebetulan banget. Karena anak-anak tidak mau keluar dan memilih menonton film di kamar, saya punya kesempatan pacaran dengan Si Ayah, menengok keramaian di CFN malam tahun baru. 

CFN-nya ramai, dan berisik tentu saja. Tapi saya sudah pakai senjata noise-cancelling earphone. Di sepanjang Jl Sudirman, sampai tugu bambu runcing, berjajar gerai makanan, promosi produk dan komunitas. Di titik-titik tertentu ada atraksi dari berbagai komunitas: capoeira, sepeda lipat, cosplay, ular tangga raksasa, atraksi ular raksasa (beneran). Warga Surabaya tumblek blek di sini, semakin malam semakin ramai saja. Setelah berhasil membelikan nasi kuning untuk makan malam Precils, kami menikmati last supper kami, berupa lontong kikil, sambil menonton sirkus sepeda motor yang ahli menjungkirbalikkan tunggangan mereka. Haha, cara melewatkan tahun baru yang aneh.
Breakfast station di lantai 2

Meski harus berdempetan berempat tidur di satu ranjang, untungnya, kamar hotel kami lumayan kedap suara, jadi kami bisa tidur nyenyak tanpa terganggu kemeriahan pesta jalanan tahun baru di luar sana. 

Pagi harinya, sarapan disediakan mulai jam enam, di lantai dua dan lantai tiga. Saya senang sekali dengan pemisahan ini, karena bisa sarapan dengan nyaman tanpa terganggu asap rokok. Pilihan menu sarapan sederhana: bubur ayam, nasi goreng, pecel dan roti panggang dengan selai. Minumnya ada teh, kopi dan jus jeruk. Pilihan buah hanya ada semangka. Untuk pencuci mulut disediakan singkong rebus dengan gula merah. Saya mencoba bubur ayam dan rasanya lumayan enak.

Karena tempat terbatas, kami tidak bisa berlama-lama di area sarapan ini. Begitu piring atau gelas kami kosong, pelayan dengan cepat mengambilnya. Bahasa halusnya tentu saja ingin mengusir kami karena memang harus bergantian dengan tamu lain. Untung kamar kami dekat dengan area sarapan ini, jadi bisa ambil ini itu dan dimakan di kamar.

Happy New Year 2014!

Mobil tamu bisa parkir gratis di hotel ini. Kalau tempat parkir di depan hotel habis, bisa parkir di pinggir jalan sekitarnya, keamanan dijamin pihak hotel 12 jam. Layanan cek out hotel ini secepat kilat. Saya cukup menyerahkan kartu kunci dan beres sudah karena sudah dibayar oleh Agoda. Little A cukup senang tinggal di sini, meski dia lebih senang lagi kalau hotelnya ada jendelanya. Big A juga senang karena wifinya bisa untuk streaming YouTube tanpa jeda. Si Ayah senang karena bisa numpang mengerjakan PR. The Emak ikut senang karena semua senang. Setelah meninggalkan hotel ini jam 11.30 siang, Little A langsung bertanya, “Kapan kita ke hotel gratis lagi, Mommy?”

Keluarga The Precils mengucapkan Selamat tahun baru 2014. Semoga semua destinasi impian bisa tercapai tahun ini. Cheers.

 ~ The Emak

Baca juga: 
Staycation Surabaya: Hotel Swiss Belinn Manyar

[Penginapan] Griya Pesisir Pantai Pulang Sawal

Beach front accommodation

Setelah berkali-kali gagal menelepon penginapan-penginapan lain di sekitar pantai Pulang Sawal alias Indrayanti, akhirnya Dila, adik saya berhasil menghubungi pemilik Griya Pesisir. Di akun Facebook-nya, penginapan ini tidak begitu meyakinkan. Tapi ternyata, lumayanlah untuk menginap semalam dan menikmati senja dan pagi di pantai. Fasilitas memang sangat basic, tapi pemandangan laut dari balkon luar biasa.
Gunung Kidul, Yogyakarta punya banyak pantai cantik di pesisir selatan. Sayang, belum banyak akomodasi dengan standar bagus untuk pengunjung yang ingin menginap. Biasanya, orang-orang melakukan day trip dari Yogyakarta. Memang jarak Jogja dengan pantai-pantai di Gunung Kidul bisa ditempuh sekitar 2,5 – 3 jam. Tapi kami tidak ingin terlalu capek dan memutuskan menginap semalam di akhir pekan.

Ternyata tidak mudah memesan penginapan di sekitar pantai Pulang Sawal. Saya browsing di internet, tidak ada informasi lengkap mengenai akomodasi di Indrayanti. Saya juga minta tolong teman yang kebetulan main ke pantai ini untuk mencatat nomor kontak penginapan yang bisa dihubungi. Tapi ternyata tidak bisa tersambung. Di tengah ketidakpastian, saya mendapatkan akun facebook Griya Pesisir yang tidak begitu meyakinkan. Tapi tidak ada salahnya dicoba, kan?

Akhirnya Dila berhasil menelepon nomor 0877-3801-7351 ini dan memesan satu kamar untuk kami berdelapan. Harga yang semula Rp 750 ribu dia tawar menjadi Rp 700 ribu 🙂 DP 100 ribu kami kirimkan lewat transfer bank. Ketika memesan, belum jelas fasilitas apa yang akan kami dapatkan nantinya. Tapi pemilik penginapan meyakinkan kamar ini muat untuk 6 orang dewasa dan 2 anak-anak.

Untuk jaga-jaga, kami membawa sleeping bag, thermos, berbotol-botol air mineral dan banyak makanan instan. Sedia payung sebelum hujan, sedia camilan daripada kelaparan :p Mobil New Avanza yang kami sewa seharga 250 ribu perhari pun jadi terlalu penuh makanan 😀

Dua double bed dan satu sofa bed
Basic toilet

Lika-liku perjalanan menuju pantai Pulang Sawal sudah saya ceritakan di sini. Kami menemukan penginapan Griya Pesisir di tepi jalan dekat lapangan tempat parkir pantai yang sudah penuh sesak dengan mobil dan bus. Kami disambut Mas Nardjo, penjaga penginapan yang langsung menyilakan kami memarkir mobil di dalam.

Penginapan ini terdiri atas dua lantai. Lantai pertama dipakai untuk parkir dua mobil, plus dapur dan tempat duduk-duduk. Sementara di lantai dua ada tiga kamar tamu berukuran sedang dan balkon luas yang asyik untuk leyeh-leyeh dan memandang lautan.

Ukuran kamar kami kira-kira 4×5 meter. Ada satu dipan dengan double bed, satu kasur dobel ekstra yang bisa digelar di lantai kayu dan satu sofa bed yang bisa dipakai tidur satu orang dewasa. Di ujung kamar ada kamar mandi basic dengan toilet duduk, ember dan shower head dari pipa pralon kecil 🙂 Wastafel kecil menempel di luar kamar mandi. Mereka juga menyediakan handuk dan dispenser sabun dan shampoo.

Ada dispenser air panas dan dingin di balkon. Tapi kalau butuh air mendidih, kita juga bisa meminta Mas Nardjo untuk memanaskan air di dapur. Pagi harinya disediakan air satu thermos plus kopi, teh dan gula. Dan ternyata kami mendapat sarapan dua piring nasi goreng dengan telur! Rasanya? Ehm… bisa dimakan lah :))

Di kamar kami ada kipas angin, tapi tidak terlalu dibutuhkan karena cuaca yang cukup nyaman. Suhu udara tidak terlalu panas dan angin laut bertiup cukup kencang. Jangan ditanya bagaimana kami bisa tidur berdelapan, hanya dengan 2 kasur dan 1 sofabed. We could manage 🙂

Kami cukup senang menginap di sini. Bapak saya yang sudah tidak kuat berjalan kaki jauh, tetap bisa menikmati suasana pantai dengan duduk-duduk di balkon. Little A ditemani Om dan Tante juga puas main air di depan penginapan persis dan bilas dengan pancuran air bersih di lantai bawah. Ibu saya puas jalan-jalan ke mana-mana dan membeli camilan macam-macam. Saya puas bisa pacaran sama Si Ayah 😉 

Ketika jalan-jalan pagi, saya sempatkan untuk melihat penginapan lain di sekitar. Ada Penginapan Walet di seberang jalan pantai yang menyediakan guest house dan camping ground. Tarif penginapan ini Rp 350 ribu semalam per kamar. Bangunan guest house ini tampak bagus dan lingkungan sekitarnya pun tertata apik dan bersih. Tapi sayangnya lokasinya tidak berada di pinggir pantai persis sehingga tidak mendapat pemandangan laut. Penginapan ini kira-kira 50 meter dari pantai, terhalang kafe Indrayanti dan jalan aspal. Untuk memesan, bisa menghubungi 087838601129 atau 082133065501. Good luck 🙂

Rombongan Darmawisata :))
Griya Pesisir terlihat dari atas bukit

~ The Emak

Baca juga:
Indrayanti Sang Primadona Gunung Kidul
Review Hotel Melia Purosani Yogyakarta

Indrayanti Sang Primadona Gunung Kidul

Pantai Indrayanti alias Pulang Sawal

Sudah lama saya penasaran sama pantai Indrayanti di Gunung Kidul, yang kata orang cantik, bersih dan nyaman untuk jalan-jalan karena ada fasilitas kafe dan restoran untuk leyeh-leyeh sambil memandang laut. Begitu ada kesempatan ke Jogja, saya kasak-kusuk dengan adik saya, Dila, untuk mengatur GK Trip, semalam menginap di pantai ini.

Jalan Menuju Pulang Sawal
Meski lebih dikenal sebagai pantai Indrayanti, sebenarnya nama pantai ini adalah Pantai Pulang Sawal. Dahulu kala disingkat menjadi pantai pulsa :p Tapi karena di pantai ini ada kafe Indrayanti yang terkenal dengan gazebo-gazebo cantiknya, masyarakat lebih suka menggunakan nama ini. Ya sudah, asal dicatat saja, dalam perjalanan menuju pantai ini akan ada papan penunjuk jalan menggunakan nama pantai Pulang Sawal (versi pemda) dan pantai Indrayanti (versi warga lokal). Biar nggak nyasar 🙂
Pantai ini terletak di kecamatan Tepus kabupaten Gunung Kidul, propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari Jogja, kita bisa menggunakan mobil atau sepeda motor menuju Wonosari (ibukota Gunung Kidul). Perjalanan naik gunung ini bisa ditempuh dalam satu sampai satu setengah jam, tergantung padatnya lalu lintas. Setelah memasuki kota Wonosari, kita akan melewati pasar (jalan satu arah), dari sana kita belok kanan melalui Jl. Baron. Ikuti terus Jl. Baron ini sampai nanti ada petunjuk jalan ke kiri, ke arah pantai Pulang Sawal yang searah dengan pantai Sundak, Pok Tunggal dan Siung. Kalau tidak menemukan plang ke arah Pulang Sawal/Indrayanti, ikuti dulu yang ke arah pantai Sundak. Dari Wonosari ke tepi pantai sekitar satu jam. Jalannya beraspal sampai ke parkiran pinggir pantai, meski beberapa ruas jalan sangat sempit dan sulit untuk berpapasan dua mobil.

Yang punya GPS, sila dicatat koordinat pantai Pulang Sawal ini: S8°9’2″   E110°36’44”. Untuk memberi perspektif, sila buka peta pantai-pantai yang ada di Gunung Kidul, di link ini. Yang punya smartphone, sila membuka peta di hp masing-masing. Tapi pengalaman kami, hanya sinyal Telkomsel yang bisa sampai pantai, sementara sinyal XL dan Indosat hilang ditelan ombak 🙂

Kafe dan Restoran Indrayanti
Sunset dilihat dari Pantai Landeng

Kami berangkat jam 2 siang dari Jogja utara dan sampai di pantai Pulang Sawal pukul 4.45 sore. Kami langsung memarkir mobil di dalam area penginapan kami di Griya Pesisir yang letaknya tepat di bibir pantai. Suasana sabtu sore di pantai lumayan ramai. Setelah beres-beres barang bawaan, kami duduk leyeh-leyeh di balkon penginapan lantai dua sambil melihat senja berganti malam. Little A bersama Om dan Tantenya tidak tahan untuk tidak berbasah-basah di pantai, meski saat itu air laut surut sehingga bebatuan nampak di bibir pantai.

Garis pantai Pulang Sawal tidak terlalu panjang, berada di antara bukit kecil di sebelah timur dan batu karang di sebelah barat. Lokasi pantai ini kurang bagus untuk memotret sunset atau sunrise. Begitu langit memerah, Si Ayah berjalan melipir ke barat melewati batu karang. Dia mengambil foto sunset dari pantai tetangga di balik karang: pantai Landeng.

Saya jalan-jalan menyusuri pantai sambil cari makan di kafe Indrayanti. Kafe ini buka sampai malam jam sembilan asal bahan makanan masih ada, hehe. Saya memesan makanan: ikan bakar, filet goreng, tahu, sayur kangkung dll. Total 196 ribu untuk berdelapan. Makanan bisa diantar sampai kamar, kayak room service 🙂 Rasanya tidak istimewa tapi cukup enak. Malam itu kami tidur nyenyak diiringi deburan ombak dan sayup-sayup terdengar lagu dangdut dari arah kampung.

Dreamy Trenggole beach in the morning

Matahari terbit terlihat dari bukit di atas pantai Trenggole

Saya bangun pagi dengan semangat untuk berburu sunrise bersama Si Ayah. Kapan lagi ada kesempatan bisa pacaran berdua? Kami pamit pada ortu dan adik setelah sholat subuh, tak lupa menitipkan anak-anak dan bergegas berjalan ke arah timur, berharap mendapat view yang bagus dari balik bukit. Di balik bukit di sebelah timur pantai Pulang Sawal adalah pantai Trenggole. Pantai ini lebih sepi daripada tetangganya yang lebih terkenal. Kami hanya melihat dua orang backpacker yang tidur di pasir dengan menggelar kantung tidur. Satu orang bangkit dan mulai berenang. Dan Si Ayah pun sibuk memotret ombak yang memecah bebatuan.

Matahari terbit yang kami nantikan tidak juga datang. Tentu saja, pantai Trenggole ini juga berbatasan dengan bukit di sebelah timur. Di balik bukit tersebut ada pantai Goa Lawang yang jaraknya 500 meter ke arah timur. Jalan ke pantai ini hanya jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh orang dan sepeda motor.

Akhirnya kami memutuskan untuk naik ke bukit. Pemandangannya cukup bagus dari atas. Kalau memandang ke arah barat, kita bisa mengintip pantai Sundak. Ternyata matahari muncul dari balik pegunungan kapur. Pantes saja mataharinya tidak kelihatan, saya cari-cari ke arah yang salah ^_^ Kami cukup lama di atas bukit sampai saya lihat tiga titik yang bergerak-gerak di depan penginapan. Lho, ternyata Little A sudah bangun dan langsung turun ke pantai. Duh, waktu pacaran habis dan kami segera kembali ke penginapan.

Tukang Payung buka lapak
Little A puas main air
Little A minta ‘naik gunung’

Di pagi hari, pantai masih sepi, cukup asyik untuk main-main air sampai puas. Yang nggak pengen main air, bisa leyeh-leyeh dengan menyewa payung dan tikar seharga Rp 20.000, dipakai sepuasnya. Di pantai ini, jangan takut kelaparan karena banyak orang berjualan camilan: arem-arem, tahu, bakpao, dll. Warung-warung mie instant pun banyak bertebaran, berjejer dengan bilik-bilik toilet dan kamar mandi.

Pantai Paling Bersih?
Rumor yang beredar, pantai Pulang Sawal ini menjadi primadona karena pasirnya yang putih dan bersih, bebas dari sampah. Kabarnya, yang membuang sampah di sini bakal didenda Rp 10.000. Hmm… saya benar-benar penasaran dan ingin melihat langsung tingkat kebersihan pantai ini, dan tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia membuang sampah pada tempatnya 😉

Benarkah pantai ini bersih bebas sampah? Bersih dengan standar siapa dulu, hehe. Mungkin dibandingkan pantai-pantai lain, Pulang Sawal cukup bersih. Tapi saya masih saja melihat puntung rokok dan bungkus mie instan berserakan, botol minuman terombang-ambing di laut dan bahkan, popok bayi bekas pakai tepat di depan penginapan saya. Wait, What? Orang macam mana yang membuang popok bayi di pantai? Grrrhh… Di beberapa sudut warung, batok-batok kelapa muda ditumpuk begitu saja dan mengundang lalat. Saya amati, tempat-tempat sampah di pantai ini diletakkan cukup tersembunyi di belakang warung dan toilet, tidak terlihat langsung dari pantai. Menjelang siang, saya tanya Bapak saya yang setia duduk di kursi balkon mengamati suasana pantai, apa ada petugas kebersihan yang memunguti sampah. Kata Bapak saya, yang memungut sampah adalah mas-mas yang menyewakan payung. God bless them 🙂 Dari TOA lifeguard, berulang kali diingatkan agar pengunjung tidak membuang sampah di pantai.

Colourful beach
Minggu jam 9 pagi, sudah ramai banget

Secara umum, weekend getaway kami kali ini cukup menyenangkan. Ibu saya senang bisa jalan-jalan pagi dari ujung barat pantai Landeng sampai ujung pantai Trenggole di timur dan berbelanja oleh-oleh peyek rumput laut. Bapak saya yang sudah tidak kuat berjalan-jalan lagi, cukup puas menikmati pemandangan pantai dari balkon lantai dua. Tante Dila dan Om Irham puas main air dengan Little A dan puas berfoto-foto post-wed 😀 Si Ayah, meski capek menyetir, cukup menikmati liburan singkat ini. Hanya saja dia kurang puas dengan look out untuk memotret sunrise dan sunset. Kita harus coba pantai lain kalau begitu, ya? 😉

Rasa penasaran saya akan primadona Gunung Kidul ini terpuaskan. Tapi kalau melihat ramainya pengunjung yang memadati pantai ini, saya juga sedikit khawatir, akankah pantai ini tetap menjadi pantai yang cantik dan bersih, atau lambat laut akan tercemar karena ulah pengunjung sendiri.

Untuk keluarga yang ingin berkunjung ke sini, apalagi di akhir pekan, saya sarankan datang pagi atau sore sebelum matahari terik dan pantai ramai. Kalau perlu memang menginap seperti yang kami lakukan agar tidak terlalu capek dan lebih santai. Kalau tidak malas, sebenarnya bisa sekalian menyusuri pantai-pantai yang ada di sekitar Pulang Sawal ini: Pok Tunggal dan Sundak yang konon juga secantik Indrayanti. Tapi tolong… tolong banget, jangan kotori pantai-pantai jelita ini ya. Buang sampah di tempatnya, oke?

~ The Emak

Baca juga:
Griya Pesisir Pantai Pulang Sawal[review penginapan]
Hotel Melia Purosani [review penginapan]

A Quick Rocking Experience At Hard Rock Hotel Bali

Cool guitars 🙂

Meskipun ‘liburan’ kami ke Bali kali ini termasuk sangat singkat, kesan yang kami dapatkan sungguh menyenangkan. Salah satunya karena kami menginap di ‘the bestest hotel ever‘ versi Little A 🙂

Berawal dari mendapatkan durian runtuh tiket gratis Air Asia untuk Surabaya – Denpasar bulan April ini, saya mulai cari-cari hotel untuk menginap di Bali. Kriterianya yang paling penting adalah family friendly, artinya bisa muat untuk dua dewasa dan dua anak dalam satu kamar, tanpa extra bed atau tanpa sembunyi-sembunyi menyelundupkan anak, hehe. Meskipun hotel di Bali banyak banget, ternyata tidak gampang mencari kamar hotel dengan dua double bed. Biasanya hotel menyediakan satu queen/king bed atau dua single bed. Kapasitas juga terbatas untuk dua dewasa dan satu anak kecil. Kalau anak sudah berusia 11 tahun seperti Big A, sudah tidak nyaman satu ranjang dengan orang tuanya. Jadi meskipun ada promo-promo hotel yang murah jatuhnya tetap mahal karena harus ada extra bed atau malah harus pesan dua kamar.

Kriteria lain adalah harus dekat dari bandara karena flight kami kembali ke Surabaya cukup pagi. Kami tidak mau deg-deg-an di jalan terkena macet atau harus berangkat terlalu pagi. Pilihannya tinggal di daerah Jimbaran, Tuban, Kuta Selatan atau Kuta karena saya maunya beachfront, di depan pantai persis. Selain itu saya masih punya syarat lagi: punya kolam renang untuk anak-anak agar kami tidak perlu main di Waterbom. Tiket Waterbom ternyata lumayan mahal juga untuk berempat. Trus syarat yang terpenting adalah tarifnya tidak mahal! Duh, Emak-Emak memang banyak maunya ya? :p

Website andalan saya untuk membaca review hotel adalah Trip Advisor, meski harus diakui terjemahan bahasa Indonesia lucu banget. Mending baca website berbahasa Inggrisnya deh. Hard Rock Hotel Kuta lumayan dapat review bagus, terutama oleh keluarga yang membawa anak kecil. Hotel ini juga dipilih pembaca Trip Advisor menjadi salah satu dari 10 Hotel Keluarga Terbaik di Indonesia tahun 2013. Saya langsung cek harga (sekaligus membandingkan dengan tarif hotel lain) di Agoda, HotelsCombined dan website resminya.

Ternyata paling murah di website resminya, saudara-saudara. Di Agoda malah lebih mahal dan belum tentu dapat diskonan, voucher dan bonus macem-macem. Kami mendapat harga Rp 1.204.764 per malam untuk kamar deluxe (yang paling murah pokoknya), sudah termasuk pajak, termasuk sarapan untuk dua dewasa dan dua anak-anak. Not bad. Dan kalau booking di websitenya, kita tidak perlu bayar di muka. Bisa bayar ketika cek out, tapi nomor kartu kredit kita dicatet. Sebenarnya ada bonus free shuttle dari bandara kalau menginap dua malam, atau bonus free family dinner kalau menginap tiga malam. Sayangnya kami cuma menginap semalam karena ada teman yang mengundang kami menginap di Vila barunya di Canggu.

Sayangnya Hotel Hard Rock ini baru bisa cek in jam 3 sore. Padahal maksud saya setelah makan siang di sekitar Kuta, kami berharap bisa langsung ke hotel sekitar jam 2-an. Saya hubungi akun twitter mereka: @hrhbali untuk mengemis early check in. Ternyata si admin ramah banget dan kami boleh cek in jam 2. Mari kita follow @hrhbali, siapa tahu mereka kasih promo atau bagi-bagi gratisan (modus, hehe).

Sesuai itinerary, setelah makan siang di restoran favorit Little A kami cek in di hotel. Kejutan! Kamar kami di-upgrade menjadi Kids Suite. Whoa! Hadihaha, yay! Saya melirik Big A yang tidak bisa berhenti tersenyum. Ini salah satu impian dia, menginap di Kids Suite, Hard Rock. Berkali-kali dia membuka website Hard Rock dan melihat-lihat kamar spesial ini. Hanya saja saya bilang belum mampu bayar tarifnya. Ntar aja kalau lagi ada diskon. Atau di-upgrade :)) Big A’s dream comes true. “Why do they upgrade our room, Mommy?” tanya Big A. Karena tidak tahu, saya juga jawab sekenanya. “Mungkin mereka tahu kalau kita gak mampu bayar kamar suite.” Big A meringis. “No, maybe because we are good people. Let’s go to our room berfore they change their mind.” Dengan semangat empat lima kami menuju kamar yang terletak di wing 1, ditemani petugas yang membawakan ransel-ransel kami, yang baju seragamnya persis kemeja yang saya kenakan, euw 😀 Senyum Little A mengembang begitu melihat tanda bintang di depan pintu kamar kami: Rock Star!

The Precils dapat kamar sendiri. Asyik!
Kamar The Emak dan Si Ayah. #okesip :p
Posisi wuenak! Udah susah diajak keluar hotel 🙂

Cerita berikut ini seharusnya disensor demi reputasi pemilik blog ini, tapi begini lah yang terjadi setelah kami masuk kamar. “Whoohoo!” Big A berteriak kegirangan dan langsung meloncat ke ranjang atas bunk bed. Little A ikut-ikutan naik ke ranjang, memeluk boneka yang tersedia di sana. Big A meloncat turun dan mendarat di bean bag besar yang disediakan untuk leyeh-leyeh. Saya ikut senang melihat ekspresi precils yang sangat gembira, sambil nyemil coklat-coklat kecil yang disediakan di meja makan. Tapi saya segera menguasai keadaan: ayo foto-foto dulu sebelum semuanya berantakan!

Kamar Kids Suite ini memang sangat asyik, melebihi ekspektasi kami. Ada ruang khusus untuk anak-anak yang didesain sangat cute, dilengkapi dengan amenities yang menarik untuk mereka: bunk bed alias ranjang susun, boneka plush toys, bean bag, peralatan main pasir, buku-buku, dan Play Station 3 termasuk guitar untuk main guitar hero. Lebih asyik lagi, precils mendapat kamar mandi sendiri dengan sikat gigi, pasta gigi, sabun, shampo dan kaca mata renang khusus untuk anak-anak. Kids Suite ini benar-benar memanjakan precils, menjadikan mereka lil’ rocks 🙂

Dari pengalaman kami traveling, beberapa kali kami memesan penginapan dua kamar, tapi the precils jarang dengan sukarela mau tidur sendiri di kamar yang disediakan. Biasanya mereka akan ikut tidur di ranjang utama. Kecuali di Kids Suite hotel ini. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan kamar Si Ayah dan The Emak. Asyik kan? :p


Saya sendiri suka dengan perhatian kecil yang diberikan hotel ini. Misalnya kartu selamat datang yang ditulis tangan oleh manajer hotel, buah-buah segar yang disediakan (meski saya tidak tahu bagaimana caranya memotong nanas dengan pisau roti), nama saya di kotak peralatan mandi (berarti boleh dibawa pulang ya?) dan tentu saja cokelat-cokelat selamat datang (yang sebagian besar dimakan Si Ayah, bukan saya). Yang paling saya suka: ada mesin pembuat kopi! Pagi-pagi sebelum cek out, saya sempatkan membuat kopi dari pod yang disediakan. Tentu kopinya lebih sedap daripada kopi instan. Sayangnya mereka tidak menyediakan susu segar untuk teman minum kopi, seperti hotel/motel di Australia dan New Zealand. Di Indonesia, biasanya cuma disediakan kopi bubuk, creamer dan gula. Untungnya kami membawa sendiri susu segar. Punya anak-anak sih, minta dikit gak papa kan? Duh, saya jatuh cinta sama mesin kopi Pod Brewer ini, pengen saya bawa pulang 🙂 Pagi itu baru saya tahu kalau ada yang lupa menyediakan sendok kecil untuk mengaduk kopi. Atau saya aja yang tidak berhasil menemukan?

Masalahnya dengan kamar hotel yang terlalu nyaman, rasanya malas sekali untuk keluar. Setelah selesai beres-beres, Si Ayah, Little A dan Big A duduk nyaman di day bed menonton film di televisi. Si Ayah sedari tadi sudah ‘tidak rewel’ sejak saya beri password untuk menyalakan wifi, yang katanya lumayan kencang. Posisi wuenak mereka ini susah untuk diganggu gugat. The Emak harus ultimatum: renang jam empat, lihat sunset di Kuta jam 5! Hening, tidak ada jawaban kecuali suara dari speaker televisi kabel.

Dengan kolam renang terbesar di Bali ini, saya bisa bilang bahwa Hard Rock sebenarnya bukan hotel, tapi kolam renang raksasa yang kebetulan juga menyewakan kamar-kamar. Kamar kami cukup jauh dari kolam renang utama, harus berjalan melewati lobi dan seluncuran raksasa yang bentuknya persis dengan foto yang saya lihat di website (ya iya laaah). Meskipun seluncuran itu sangat menggoda dan menantang, saya tidak berani bawa anak-anak ke sana karena Little A belum bisa berenang dan tidak membawa pelampung. Kami berjalan melewati pantai pasir buatan, tempat sekelompok anak-anak yang kebanyakan berambut pirang berlomba balap karung. Sepertinya ini aktivitas Kids Club. Sebenarnya The Precils otomatis sudah terdaftar di Kids Club. Tapi kami tidak sempat menggunakan fasilitas ini karena mereka maunya berenang saja. Padahal kalau the precils bisa dititipkan ke club yang diasuh para profesional ini kan Emak dan Si Ayah bisa pacaran… #abaikan.

Saya intip di website mereka, untuk mendaftar ke Kids Club ini harganya Rp 250.000, cukup dibayar sekali dan berlaku selama menginap. Tapi kalau booking lewat website resmi, ada diskonnya kok. Harga ini termasuk minum, makan siang gratis, gift pack dan seluruh aktivitas. Cocok banget untuk yang ortunya punya acara sendiri 😉

Puas nonton precil-precil bule jatuh bangun lomba balap karung, kami melipir ke Kids Pool yang ada di pojokan. Kami berpapasan dengan pelayan restoran yang mengantarkan minuman, meluncur dengan in-line skate. Wuih, ide yang bagus, biar pelayanannya lebih cepat. Asyiknya berlibur ketika orang-orang lain masih di kantor, kami tidak perlu rebutan bangku di pinggir kolam. Suasana cukup sepi, hanya ada beberapa keluarga yang main di Kids Pool yang kedalamannya cuma 30 centimeter ini. Little A dan Big A senang banget main di sini. Awalnya Little A masih takut karena ada ember yang memuntahkan air sewaktu-waktu. Tapi lama-lama dia tidak takut lagi dan asyik balapan seluncur dengan kakaknya. Saya cuma menjaga mereka dari tepi kolam, tidak ikut nyemplung.

Puas bermain air, kami menuju pantai Kuta yang letaknya persis di depan hotel, sambil berharap-harap cemas karena mendung tetap menggantung di langit. Benar saja, kami tidak bisa menyaksikan sunset warna-warni. Setelah langit gelap, kami pulang kembali ke hotel dengan pasir yang lengket di kaki. Yang saya sayangkan, saya tidak menemukan pancuran untuk bilas di sekitar pantai. Di depan hotel pun tidak ada, entah mereka punya atau tidak. Rasanya tidak nyaman berjalan di selasar hotel masih dengan pasir yang menempel. Tidak enak sendiri berpapasan dengan staf hotel yang tetap tersenyum dan menyapa ramah pada kami yang meninggalkan jejak pasir di selasar hotel.

Kids Pool
Ready, Set, Go!

Setelah mandi dengan air hangat dari pancuran besar, rasanya nyaman sekali. Saya suka aroma shampo dan sabun dari hotel ini: jasmine & orange. Terutama suka sama sabun glycerinnya untuk cuci muka (iya, yang ini saya colong). Malam itu ada orang yang mengantar gift pack untuk Little A dan Big A, mungkin karena mereka tidak jadi ikut kegiatan Kids Club. Isinya tas serut, boneka teddy bear dan pin. Boneka teddy ini sebenarnya dijual untuk amal, kerjasama kampanye Yoko Ono untuk memerangi kelaparan pada anak-anak miskin di seluruh dunia. Sementara pin pinky keren yang diberikan untuk kami dari kampanye melawan breast cancer. Saya tersenyum mendapati tulisan di tas serut: “Stolen from Hard Rock Hotel, Bali”. Hakdush!

Selesai mandi, saya berniat menukarkan welcome drink di CenterStage. Ketika cek in, banyak sekali voucher yang diberikan: diskon spa, Hard Rock Cafe, souvenir di toko, dan gratis foto di gitar Hard Rock depan hotel. Duh, yang terakhir ini pun kami tidak sempat karena hari keburu gelap. Ternyata welcome drink juga sudah tidak berlaku lagi pada malam hari. Tapi di CenterStage, yang sebenarnya lobi hotel, kami bertemu dengan Fandy dan Wangi dari Hard Rock. Kami ditraktir jus yang seger banget sambil ngobrol-ngobrol tentang hotel yang pertama kali didirikan oleh Hard Rock di Asia ini. Kata Fandy, mereka memang sedang giat mempromosikan hotel ini sebagai hotel ramah keluarga. Selama ini brand Hard Rock populernya di kalangan anak-anak muda atau yang berjiwa muda. Padahal mereka juga cater untuk keluarga dengan anak-anak. Kalau menurutku sih hotel yang family friendly itu jelas kelihatan dari fasilitas-fasilitas yang diberikan. Kalau sampai ada kolam renang untuk anak, Kids Club, menu makan khusus anak, sampai ada Kids Suite, pasti hotel ini cocok untuk anak-anak. Kata Fandy, kebanyakan tamu mereka yang keluarga berasal dari Australia, sebelas dua belas sama keluarga-keluarga di Indonesia. Baru selanjutnya keluarga dari Malaysia dan Singapura.

Fandy dan Wangi juga memamerkan fasilitas-fasilitas yang mereka punya. Duh, memang tanggung banget kalau cuma menginap semalam di sini. Apalagi besoknya saya harus cek out pagi-pagi. Saya belum merasakan spa, lihat-lihat toko merchandise-nya, main catur raksasa (pura-pura), nongkrong di cafe, mencoba rock climbing (belum tentu bisa, tapi kan harus dicoba), dll. Bahkan kami tidak akan merasakan menu sarapan hotel karena kami minta sarapan kami dibungkus untuk dimakan di bandara. Dan… saya baru ingat, belum sempat mencoba gelato yang katanya enak banget, direkomendasikan oleh teman-teman yang pernah menginap di sini.

Sebetulnya, dari semua cerita tadi, yang paling mengesankan ketika kami menginap di Hard Rock Hotel ini adalah pelayanan yang ramah, tulus dan sigap membantu dari semua staf. Semua bisa membangun hotel dengan fasilitas yang paling mewah, tapi tidak semua hotel bisa membuat seluruh stafnya merasa memiliki, sehingga membuat mereka tulus pada setiap tamu yang datang. Pelayanan seperti ini yang kami rasakan sejak pertama kali kami menitipkan tas di depan hotel, seluruh staf sepertinya menjadi owner dari hotel ini, bertanggung jawab untuk membuat tamu-tamunya betah dan ingin kembali lagi. Kami dilayani dengan baik ketika reservasi, diantar oleh petugas yang sigap membawakan ransel kami. Ketika Big A bingung dengan setting PS3-nya, ada petugas yang siap datang ke kamar untuk mengecek. Kami bertemu staf yang tetap ramah menyapa kami ketika kaki-kaki kami yang berlepotan pasir mengotori selasar. Kami bertemu Fandy dan Wangi yang menemani kami minum di centerstage. Pagi harinya, jam lima, sudah ada staf yang mengantarkan kotak-kotak sarapan kami, dengan bonus senyuman lebar. Tapi yang paling membuat kami terharu adalah staf yang dengan sigap dan tanpa diminta membantu kami mencari taksi pagi-pagi, dan meminta maaf karena kami harus berjalan ke depan hotel karena jalan masuk untuk mobil sedang diperbaiki. Staf ini membawakan ransel saya dan memastikan kami masuk ke dalam taksi yang akan mengantar kami ke bandara.

Tidak heran kalau Little A mengalami post holiday sydndrome setelah kami kembali ke Surabaya. Dia sangat ingin kembali ke hotel ini lagi. Dia bilang kalau Hard Rock Hotel adalah ‘the bestest hotel ever’. Bahkan tadi, ketika saya memasang foto-foto untuk ilustrasi blog ini, Little A masih saja bertanya, “When will we go back to Hard Rock Hotel, Mommy? Next week, okay?

~ The Emak

Quick Bali with Kids

Senja yang mendung di Kuta

Kami sudah sering selalu transit di Bali setiap kali melakukan perjalanan dari Indonesia – Australia atau sebaliknya, tapi rasanya belum pernah mengunjungi Bali dengan ‘baik dan benar’. Trip kali ini pun sekedar kabur sebentar, menginap dua malam di Bali.

Sebenarnya ini liburan spontan, tanpa rencana. Tahun lalu, ketika kami masih tinggal di Sydney, dan koneksi internet masih 10x lipat lebih cepat daripada di sini, saya berhasil mendapatkan tiket ‘gratis’ Air Asia untuk Surabaya – Bali seharga Rp 5000 per orang. Saya beli saja waktu itu tanpa berpikir, kalau pun nanti tidak jadi kami pakai juga tidak rugi-rugi amat, total tiket berempat pp cuma 40 ribu 😀

Jadwal penerbangan kami: berangkat Minggu siang dan pulang Selasa pagi. Jadi kami cuma punya waktu satu setengah hari efektif untuk main-main di Bali. Karena tidak punya waktu banyak, saya putuskan untuk tinggal dekat dengan bandara dan rencananya memang cuma pengen leyeh-leyeh di hotel saja. Tak disangka, salah satu teman menawarkan untuk menginap di Vila barunya di daerah Canggu. Wah, rezeki nggak boleh ditolak kan? Lumayan, sponsor liburan kami bertambah: Air Asia dan teman pemilik Vila. #okesip

Saatnya #pengakuan: kami belum pernah naik Air Asia! Untuk pesawat murah domestik Australia kami mengandalkan Jetstar. Dilihat dari interiornya, kursi Air Asia ini mirip dengan Jetstar. Hampir tidak ada bedanya. Empat hari sebelum berangkat, saya sudah melakukan web check in dan mencetak sendiri boarding pass, jadi cepat banget waktu cek in di counter. Kami juga tidak membawa checked baggage, tas untuk dimasukkan bagasi. Cuma bawa ransel masing-masing udah cukup kok. (Alasan utama adalah malas beli biaya tambahan untuk bagasi :p) Ternyata memang lebih asyik traveling tanpa bawa bagasi 🙂

Karena skip ketika ada tawaran memilih kursi, saya sedikit khawatir tidak mendapatkan kursi berdampingan, kan repot kalau saya dan anak-anak duduknya terpencar. Tapi ternyata bisa diakali. Kalau tidak ingin membeli kursi, usahakan web check in awal. Komputer akan memberikan nomor kursi secara otomatis. Biasanya sih kalau beli tiketnya bareng bisa dapat kursi bersebelahan. Kalau kursinya terpencar, baru ‘terpaksa’ menggunakan pilihan untuk ganti kursi. Berangkatnya saya duduk bertiga dengan Little A dan Big A, sementara Si Ayah duduk sendiri di depan kami. Pulangnya kami duduk terpencar dua-dua, selisih dua baris. Saya dengan Little A dan Si Ayah dengan Big A. Penerbangan dengan Air Asia kali ini lumayan mulus, pilotnya jago kok. Dari SUB – DPS tidak ada penjualan makanan di pesawat, mungkin tidak ada yang pesan? Sementara di penerbangan sebaliknya jual makanan. Big A tampak senang dan motret-motret dengan kamera sakunya. Saya senang karena ini salah satu tanda kalau dia tidak bosan. Penerbangan cuma berlangsung 50 menit. Belum sempat ‘mabuk’, kami sudah disuruh siap-siap mendarat lagi :))

Kami tiba di bandara Ngurah Rai jam dua siang. Teman kami dan sopirnya sudah siap menjemput. Perjalanan dari bandara ke Canggu penuh horor, melewati jalan-jalan kecil yang kalau untuk berpapasan mobil, bisa cuma selisih satu senti. Untung sopir kami jago banget, meliuk-liuk dengan luwes di antara pengemudi Bali yang… tidak pakai aturan. Saya yang baru bulan Juni tahun lalu ke Bali tidak begitu kaget. Si Ayah yang terkaget-kaget melihat perkembangan Bali sejak dia tinggalkan empat tahun yang lalu. Memasuki daerah Petitenget menuju Canggu, sawah-sawah sudah berubah menjadi Vila. Kata teman saya, vila-vila ini ‘dimiliki’ warga negara asing, meskipun mereka sebenarnya dilarang punya properti di Indonesia, tapi ada aja caranya. Saya bertanya-tanya, kalau sawahnya habis, terus pemandangannya apa ya?

Mendekati Canggu, semakin banyak terlihat penjor yang daunnya mulai layu, terpasang di depan rumah-rumah penduduk, dihiasi sajen-sajen cantik. Payung dengan ‘ekor’ warna-warni melambai di tepi pematang. Masih terasa aroma hari raya Galungan dan Kuningan. Di satu ruas jalan kami harus memutar melalui gang kecil karena jalan ditutup untuk upacara. Teman kami bilang: “Yang pengen cepat-cepat ke bandara pasti nangis kalau ketemu upacara di sini.” ^_^

Canggu adalah daerah di antara Kuta dan Tanah Lot. Pantai-pantai yang ada di sini antara lain: Berawa dan Echo beach yang ombaknya terkenal bagus untuk berselancar. Kami sempat melipir ke pantai Berawa di depan hotel Legong Keraton, tapi the precils tidak mau turun. Ya sudah, kami langsung ke vila yang kira-kira dua kilometer dari pantai.

Little A dan The Emak di kabin Air Asia
Foto oleh Big A. Canon Powershot S 95

Vila teman kami ada di tengah sawah yang hijau. Begitu masuk, kami langsung kesengsem sama kolam renangnya. Meskipun kecil, kolam ini cukup asyik untuk berenang. Karena tidak perlu berbagi dengan orang lain, serasa punya kolam renang pribadi. Lucu juga berenang sambil melihat hamparan sawah menghijau, ayam dan bebek yang mencari makan dan petani yang sibuk bekerja. Kalau untuk bule yang jarang-jarang lihat tanaman padi pasti eksotis sekali 🙂

Villa compound ini punya 3 vila: 1 vila dengan dua kamar tidur dan 2 vila masing-masing satu kamar tidur. Satu vila dihuni sendiri oleh teman kami dan istrinya yang sangat ramah menyambut kedatangan kami. Teman kami yang baik ini menyilakan kami menggunakan vila dengan dua kamar tidur. Wah, pengalaman menginap di vila ini asyik sekali. Nanti saya tulis tersendiri ya… Kami menutup hari dengan makan malam ikan bakar yang dibeli dari pasar ikan Jimbaran.

Budget Hari Pertama
Taksi ke bandara Rp 45.000
Tiket pesawat AA SUB-DPS, 4x 5000 = Rp 20.000
Pajak bandara 4x 40.000 = Rp 160.000
Roti Boy Rp 51.000
Total Hari Pertama = 276.000

Kolam renang di Vila Adem Ayem, Canggu
Big A ngelamun di bale bengong

Vila kami letaknya lumayan tersembunyi dari jalan besar, jadi suasananya tenang sekali, cocok untuk yang pengen menyepi. Paginya kami sarapan masakan rumahan yang dimasak sendiri oleh istri teman. Ngopi, sarapan sambil ngobrol di bale bengong pinggir kolam, rasanya tidak pengen pulang! Big A juga asyik ngelamun sambil kakinya kecipak-kecipuk di air kolam. Tenang dan damai. Saya ngobrol ngalor ngidul dengan istri teman yang sudah lama tinggal di Bali. Obrolannya mulai dari pergeseran gaya hidup anak-anak muda di sini yang menurutnya sudah seperti orang bule, sampai pemberantasan anjing-anjing liar di Bali dengan ditembak karena rabies. Jam 11.30 siang kami baru siap menuju Kuta. Hitungannya late check out ya kalau di hotel.

Perjalanan dari Canggu ke Kuta lebih horor lagi daripada kedatangan kami dari bandara. Di tengah jalan kami berpapasan dengan macam-macam tingkah manusia. Ada yang menaruh pasir bangunan sampai menutup setengah jalan, ada yang memarkir mobil besarnya sampai mengambil satu lajur, dan tentu saja banyak sepeda motor di kiri kanan yang melesat cepat, seolah pengemudinya punya nyawa dobel. Di Canggu, beberapa perempatan penting dan ramai tidak ada lampu lalu lintasnya. Kata sopir kami percuma saja, banyak yang tidak menaati. Jadi masyarakat sini mengatur dirinya sendiri. Ya sudah, kami menikmati saja sirkus jalan raya ini. Tipsnya: jangan nyetir sendiri di Bali, serahkan pada ahlinya.

Selanjutnya kami melewati jalan yang lebih lebar di Seminyak. Di kanan-kiri jalan banyak berdiri butik-butik kecil dan kafe-kafe lucu. Saya jadi teringat suburb-suburb di Australia yang suasananya seperti ini. Terutama di Byron Bay. Bule-bule yang berseliweran menambah suasana mirip kampung di Australia. Sepertinya Bali ini sudah diangkat menjadi kampung halaman kedua mereka. Sama mengamati beberapa bule sudah mahir mengendarai sepeda motor seperti orang lokal. Yang saya lihat, banyak yang memodifikasi sepeda motor mereka dengan besi pengait di samping. Tadinya Si Ayah mengira untuk membawa galon air mineral, hehe. Ternyata untuk membawa surf board. Saya cuma bisa tersenyum melihat seorang Ayah Bule yang melesat kencang dengan sepeda motor tanpa helm, membawa anak balitanya yang berdiri di depan. Indonesia banget! Kalau di negaranya sana, mana berani melakukan seperti itu. Membawa anak-anak di dalam mobil yang ‘aman’ saja harus ‘diikat’ di car seat. Mana istilah yang tepat: Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya atau Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung? Tanda bahwa akulturasi budaya sudah berhasil? 🙂

Ruas jalan yang paling ramah pejalan kaki menurut saya adalah Jalan Legian. Jalan sempit satu arah ini ditutup dengan paving, bukan aspal, sehingga kendaraan bermotor lebih pelan ketika lewat. Di sepanjang jalan ada toko-toko kecil, semua ada di sini: fashion, art, cafe. Saya juga mengeja deretan hotel-hotel yang kami lalui, yang namanya sudah saya hafal luar kepala saking seringnya mengintip Hotels Combined 😀 Sopir kami melambat ketika kami melewati Ground Zero, Monumen Bom Bali. Sopir bertanya apa kami mau berhenti dan singgah sejenak? Saya menggeleng, terlalu sedih bahkan untuk mengingatnya. Di pantai-pantai Sydney (Coogee, Bronte, Malabar, Maroubra dll) didirikan monumen kecil untuk mengenang warga lokal korban bom Bali. Biasanya setelah bermain di pantai, kami menghampiri monumen-monumen kecil ini sejenak, menatap bunga yang kadang diletakkan di sana, sambil mengeja nama-nama orang yang nyawanya diambil oleh pembunuh dari negeri kami.

Kami mampir sebentar untuk menitipkan tas di Hotel Hard Rock, dan diturunkan sopir di Mal yang terhitung baru: Beachwalk. Mal ini cukup asyik, konsepnya terbuka dan enak dibuat jalan-jalan. Karena kami ke sana hari Senin, Mal tidak ramai. Kami cuma belanja sebentar di Roxy dan langsung keluar lagi. Tadinya mau makan siang di sini. Tapi harga makanannya bikin niat kami menciut. Resto-resto yang buka di sini kelas menengah ke atas, dengan paket makan siang sekitar 125K – 150K per orang. Benar-benar harga Aussie, sayangnya dolar kami sudah habis.

Vending Machine sandal Havaianas
Mal baru, BeachWalk
Hore, ada trotoar!

Si busur kuning menyelamatkan kami dari kelaparan. Kenyang, kami jalan kaki ke hotel, sekitar 300 m dari Mal. Saya senang karena ada trotoar yang berfungsi sepanjang jalan. Trotoar ini mulus, nggak bolong, nyambung dan tidak dikuasai pedagang kaki lima (penting!). Kalau di sepanjang jalan dibuat trotoar seperti ini, kami tidak akan keberatan jalan kaki. 

Cek in di Hotel Hard Rock, kami disambut dengan kejutan yang menyenangkan: kamar kami di-upgrade jadi Kids Suite! Yay! Rupanya Hard Rock juga pengen menjadi co sponsor liburan kami, hehe. Big A tak bisa berhenti tersenyum, karena menginap di kamar Kids Suite ini sudah menjadi cita-citanya sejak dulu. Hanya saja Emaknya baru sanggup untuk booking kamar biasa.

Kami sangat terkesan menginap di Hard Rock. Tadinya saya pilih hotel ini karena review yang bagus di Trip Advisor. Juga karena sesuai kriteria saya: dekat dengan bandara, pantai, dan ada kolam renang untuk anak-anak. Harganya pun masuk akal, satu kamar bisa untuk dua dewasa dan dua anak tanpa perlu extra bed. Review hotel selengkapnya akan saya tulis di postingan tersendiri ya.

Little A loooove her special room
Kids pool at Hard Rock hotel
Mengintip upacara

Selesai main-main air di kolam renang, kami melihat sunset di Pantai Kuta, yang tinggal menyeberang jalan dari hotel. Big A tidak ikut karena ingin mencoba PS3 yang disediakan di Kids Suite. Pantai Kuta sekarang lumayan rapi, lebih sedikit sampah, dan tidak terlalu ramai (mungkin karena hari Senin?). Pedagang yang berjualan di sana pun tidak terlalu mengganggu. Mereka punya kartu identitas dan mestinya sudah di-training cara berdagang yang tidak mengganggu. Little A gembira banget ketika Si Ayah setuju membelikannya kalung dan gelang dari pedangan asongan.

Sayangnya cuaca mendung, jadi kami gagal menikmati sunset yang berwarna di pantai Kuta. Saya dan Little A asyik bermain pasir, membuat sumur dan benteng untuk menghindari ombak. Sementara Si Ayah sibuk memotret orang-orang yang sibuk memotret 😀 Di sebelah-sebelah kami menggelar sarung Bali, banyak turis mancanegara. Dari obrolan mereka, saya tahu mereka dari Malaysia, Cina, Jepang, Amerika Latin dan tentu saja Australia.

penjaja di Kuta, pakai ID card
Little A pamer gelang dan kalung barunya 🙂

Little A cukup puas bermain di pantai. Sayangnya saya tidak menemukan tempat bilas di dekat pantai, seperti fasilitas standar di pantai-pantai di Australia. Mungkin disediakan, tapi saya tidak bisa menemukan karena hari sudah gelap. Kami kembali ke hotel dengan pasir yang menempel di kaki.  

Budget Hari Kedua
Tips Sopir Rp 100.000
Roxy rash vest Rp 345.000
Mc Donald  Rp 123.000
KFC Rp 117.000
Hotel Hard Rock Rp 1.204.764
Sandal 2x Rp 145.200
Gelang Kalung Rp 15.000
Total hari kedua Rp 2.049.964

Little A was trying to stop the wave
Can’t catch meeee…. :p

Liburan yang benar-benar singkat. Pagi harinya kami harus early check out tanpa sarapan di hotel karena mengejar flight jam 7.35. Pihak hotel sudah mengantar empat box sarapan ke kamar kami jam 5 pagi. Concierge membantu kami mencari taksi (Blue Bird) di depan hotel. Perjalanan ke bandara cukup lancar karena masih pagi sekali, cukup 15 menit. Hanya saja kami perlu berjalan kaki cukup jauh sampai ke area boarding di bandara Bali yang baru ini. Benar-benar olahraga pagi.

The Precils sudah siap-siap dengan seragam sekolahnya. Rencananya, dari bandara Juanda, kami akan langsung naik taksi ke sekolah. Big A menyeletuk gembira, “Ma, kita berangkat sekolah naik pesawat, haha.” Little A yang masih mengantuk, menyambut dengan sedikit merengut, “This is too short, Mommy. I want TEN DAYS holiday.” Hehehe, “Me too, Darling.”

Budget Hari Ketiga
Taksi ke bandara Rp 48.000
Tiket pesawat AA DPS – SUB 4x 5000 = Rp 20.000
Pajak bandara 4x 40 = Rp 160.000
Taksi dari Juanda Rp 101.000
Total hari ketiga Rp 329.000

Grand Total = Rp 2.654.964

~ The Emak

Baca Juga:
Review Hard Rock Hotel Bali

Bromo With Kids

Lanskap Bromo

Perlu waktu lima tahun dan lebih dulu berkeliling ke negeri-negeri asing sebelum akhirnya saya melihat dengan mata kepala sendiri, landscape yang agung dan megah ini adanya di belakang rumah kami.

Si Ayah menghabiskan masa remajanya di kota Malang, beberapa kali ke Bromo, dan pernah mendaki gunung Welirang dan Arjuna. Namun sejak kami menikah, belum sekali pun Si Ayah punya niatan membawa saya jalan-jalan ke Bromo, yang notabene dekat sekali dengan Malang. Ketika kami pindahan dari Australia bulan September tahun lalu, saya sedikit memaksa Si Ayah untuk mengajak saya dan anak-anak mengunjungi Bromo.

Agaknya saya sedang beruntung. Seorang teman yang rumahnya di Tumpang (30 menit ke arah utara Malang), menawarkan akan ‘mengantar’ kami. Kebetulan tetangganya menyewakan Hard Top dan sering mengantar turis ke Bromo. Klop lah. Saya langsung mengiyakan dan sepakat berangkat seminggu kemudian, sebelum musim hujan mulai datang.
 
Bromo bisa dicapai dari kota Probolinggo (jalur paling populer dengan jalan paling mulus), Pasuruan dan Malang. Bisa juga dari Lumajang (jalur paling tidak populer). Kalau kita ikut tur atau menyewa mobil dan sopir dari Surabaya, biasanya akan dilewatkan jalur Probolinggo ini, yang bisa dilalui oleh mobil biasa (MPV), tidak perlu 4 WD. Nanti sampai Cemoro Lawang, kita perlu menyewa Hard Top (Jeep) untuk turun ke lautan pasir. Alternatif lain adalah naik ojek atau kuda.

Kabarnya, jalur dari Malang adalah jalur yang paling bagus pemandangannya, meskipun jalannya kurang bagus (baca: tidak ada jalan aspal!). Jalur yang akan kami lewati adalah: Malang – Tumpang – Gubug Klakah – Ngadas – Jemplang – Padang Savana – Lautan Pasir – Cemoro Lawang – Penanjakan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di peta yang saya unduh dari website resmi Bromo Tengger Semeru National Park.

Peta Wisata Bromo dari website resmi BromoTenggerSemeru. Klik untuk memperbesar.

Kami bermalam di rumah teman di Tumpang dan berangkat sekitar pukul 3 dini hari. The precils yang masih tidur langsung saya angkut ke mobil. Hard top yang kami sewa bisa muat untuk empat dewasa, tiga precils plus sopir. Pak Wawan, sopir kami, menyewakan hard top ini seharga Rp 700 – 800 ribu per hari, sudah termasuk bensin. Untuk kami tentu pakai harga teman, hehe

Sampai GubugKlakah jalanan masih lumayan mulus. Tapi menuju desa Ngadas, jalan mulai mendaki dan mengocok perut. Little A aman-aman saja di pangkuan saya, sementara Big A berusaha melanjutkan tidurnya. Sesekali mata saya terbuka melihat bulan penuh yang mengikuti, dan ngarai yang terpampang nyata di sisi mobil kami. Sambil terkantuk, saya ingat mobil kami menyusuri jalanan sempit berbatu di desa Ngadas, yang terletak di ketinggian 2100 dpl. Konon, Ngadas ini merupakan desa tertinggi di Jawa Timur. Setelah Ngadas, kami sampai di Jemplang, persimpangan jalan menuju Bromo dan Ranupani. Di sini banyak pemuda yang menyewakan motor trail untuk dipacu mendaki gunung dan melewati lautan pasir. Jalan dari Jemplang menuju padang savana dan lautan pasir betul-betul Innalillahi, tidak mungkin dilalui oleh mobil (atau sepeda motor) biasa. Awalnya jalan ini sempit dan berbatu-batu, kemudian berganti dengan lautan pasir yang bisa membelit ban kendaraan tanpa ampun. Melewati lautan pasir, Pak Wawan semakin hati-hati menyetir. Saya membuka mata lebar-lebar melihat pegunungan menjulang yang mengepung jalan kami di sisi kiri dan kanan. Bulan masih setia mengikuti di belakang. Saya tidak sabar melihat pemandangan ini ketika matahari sudah bersinar.

Sekitar jam 4.30 kami tiba di Cemoro Lawang yang hiruk pikuk. Hard top kami merayap menuju lapangan parkir di Penanjakan, look out untuk melihat matahari terbit. The Precils survived. Tapi bau solar yang menguar dari puluhan kendaraan membuat saya ingin muntah.

Sunrise di Bromo


Cuaca bulan September cukup dingin, tapi tidak sedingin yang saya bayangkan, mungkin sekitar 15 derajat celcius. Kami cukup memakai baju dalam termal, baju biasa, kaos kaki dan jaket. Tak lupa syal dan beannie. Turun dari mobil, kami langsung disambut penjaja sarung tangan, syal dan kupluk. Sambil menahan perut yang bergejolak, saya pasang cengiran lebar agar tidak diganggu. Si Ayah membelikan sarung tangan untuk Big A. Sementara Little A baik-baik saja dengan kostum yang dia kenakan.

Barang penting yang wajib dibawa ketika mengunjungi Bromo adalah masker, yang untungnya sudah disediakan oleh teman kami. Debu di Bromo ini luar biasa banyaknya, terutama pada akhir musim kemarau. Dari tempat parkir, kami berjalan sedikit mendaki ke vantage point di Penanjakan. Sabtu pagi ini ramainya luar biasa. Menjadi tujuan wisata yang populer untuk berlibur, mungkin Bromo memang seramai ini tiap akhir pekan. Spot-spot terbaik sepertinya sudah diambil orang. Kalau kami paksakan tetap di lokasi itu, mungkin hanya akan melihat orang-orang yang saling memotret dengan kamera dan gadget mereka. Bukannya saya tidak ingin berbagi keindahan sunrise Bromo yang terkenal ini, tapi saya sangat terganggu dengan tingkah polah beberapa pengunjung yang sangat berisik. Mereka tertawa terlalu keras dan berteriak-teriak. Memporak porandakan bayangan saya akan sunrise romantis yang bisa kami nikmati dengan khusyuk. Mungkin dengan secangkir kopi yang baru diseduh. Saya menghibur diri dengan melihat ke sisi gunung Bromo, tempat bulan yang bersiap undur diri. Di bawah sana, terlihat kerlip lampu barisan kendaraan yang merayap. Lain kali, kami sebaiknya ke sini di luar akhir pekan dan musim liburan.

Diam-diam, saya bawa The Precils melipir ke tempat yang lebih sepi.

Kami menemukan tempat yang cukup lapang dan hangat untuk melihat naiknya matahari. Dalam hening, kami menyaksikan lukisan cahaya memenuhi langit, memerah dan membangunkan bunga-bunga liar di sekeliling kami.

Kami menunggu satu persatu kendaraan yang membawa para pengunjung turun ke lautan pasir. Saya mengajak The Precils untuk naik dan duduk di atap Hard Top melihat-lihat suasana, sambil makan camilan. Akhirnya hiruk pikuk usai dan kami pun meninggalkan Penanjakan. Mobil turun dan parkir di dekat Gunung Batok yang fotogenik, cantik difoto dari sudut mana saja. Di sana sudah banyak warung-warung portabel yang buka untuk melayani sarapan. Kami sendiri sudah membawa bekal nasi kotak dari rumah, menikmati sarapan di dalam mobil untuk menghindari debu yang bersliweran.

Di dekat tempat parkir kendaraan bermotor ini ada toilet umum. Sayangnya, seperti layaknya toilet umum di Indonesia, kebersihannya kurang terjaga. Di toilet duduk yang kami pakai, lantainya banjir dengan luberan air entah dari mana. Wastafel di luar toilet pun tidak bisa digunakan. Duh, ini tujuan wisata internasional tapi toiletnya standar kampung 😐

Lautan pasir dilihat dari Penanjakan
One last standing

Di pelataran Gunung Batok ini Little A bisa bermain-main dengan temannya, dan tampaknya sangat menikmati suasana. Untuk anak kecil, apa yang lebih menyenangkan dari lapangan luas yang bisa untuk berlarian sepuasnya? Dan bisa naik kuda.

Banyak pemuda Tengger yang menawarkan jasa naik kuda pada kami. Mereka sopan dan tidak memaksa. Teman kami bilang, jangan terburu-buru menawar. Rupanya dia sudah punya langganan naik kuda di sini, temannya entah kenal dari mana 🙂 Dia menelpon Woko, si pemuda Tengger ini untuk datang. Yak sodara-sodara: di gunung Bromo ada sinyal! Kita bisa narsis sepuasnya, langsung update status di Facebook, unggah foto di Instagram, unggah video di Vine, berkicau di Twitter, atau kultwit sekalian. Adakah yang lebih keren daripada kultwit dari atas punggung kuda melewati lautan pasir menuju Gunung Bromo?

Tapi kalau tidak menyimpan gadget kita yang canggih ini di dalam saku atau tas, kita bakal kehilangan banyak pesona yang terjadi di sekeliling kita. Ibu pemilik warung melayani pelanggan dengan senyum ramah, tidak berusaha mengambil keuntungan yang tidak masuk akal, meski dia berjualan di obyek wisata internasional. Penjaja suvenir kaos Bromo tetap tersenyum meski saya menolak membeli dagangannya. Sepasang kekasih berpose mesra dengan latar belakang pegunungan yang megah. Lalu setitik debu di kejauhan sana, berderap, mendekat…

Woko si pemuda Tengger datang.

Deru Debu
Bersama pemuda Tengger. Woko di sebelah kanan 🙂
Little A dan temannya di depan Gunung Batok

Kami kembali mendapat ‘harga teman’ dari Woko. Di akhir pekan, susah mendapatkan harga Rp 100 ribu untuk naik kuda. Biasanya mereka minta Rp 150 – 200 ribu. Rute pilihannya adalah mengelilingi Pura atau berhenti sampai di depan tangga menuju puncak Bromo. Saya berboncengan dengan Little A menuju puncak Bromo. Sementara Big A memilih jalan memutari Pura saja. Entah mengapa, Big A punya ketakutan terhadap volcano, gunung berapi.
 
Kata Si Ayah, landscape gunung Bromo ini sudah jauh berubah, lautan pasirnya jauh lebih tebal daripada yang dia ingat dulu. Mestinya memang letusan tahun 2010 yang mengubah landscape gunung ini. Jalan dari tempat parkir mobil menuju kawah Bromo tidak terlalu jauh, tapi dengan debu yang bersliweran dan ketebalan pasir yang membuat kaki kita bisa lesap, lebih bijaksana kalau menyewa kuda untuk sampai di depan anak tangga. Saya bersyukur duduk di atas punggung kuda, kalau tidak, mungkin tenaga saya sudah habis untuk menaiki tangga sampai di puncak Bromo.

Tadinya saya berniat menghitung jumlah anak tangga menuju puncak Bromo, apakah benar 250 seperti yang diceritakan orang-orang. Tapi apa daya, di anak tangga kesepuluh napas saya sudah mulai tersengal. Sementara Little A dengan gagah perkasa bertekad untuk naik tangga sendiri tanpa digendong. Beberapa orang lokal menawarkan jasa ojek gendong (yep, semua ada di Indonesia), tapi saya tidak rela melepaskan Little A digendong orang asing. Lagipula anaknya baik-baik saja  dan malah senang kok 🙂

And we made it! Kami sampai di puncak dan masih bisa berpose tersenyum untuk difoto. Saya tidak berani lama-lama di puncak karena sungguh-sungguh berbahaya. Di atas sana tidak ada pengaman yang cukup menjamin seseorang tidak terjatuh ke kawah. Tolong pegang anak anda erat-erat! Di atas, saya sempatkan mengambil satu momen hening, menghirup udara memenuhi paru-paru dan membuat catatan mental bahwa saya pernah ada di atas puncak Bromo ini. Dari atas, saya bisa melihat manusia menyemut, dan mobil-mobil yang hanya tampak seperti titik-titik debu. Di tengah semua ini, saya melihat Pura Luhur Poten, tempat sembahyang masyarakat Tengger, yang berdiri dengan kokoh namun anggun. Pura ini seperti menjembatani kekerdilan kita dan keagungan mahakarya Sang Pencipta.

Are you ready, Little A?
Di puncak Bromo

Si Ayah menggendong Little A menuruni tangga, karena jalan turun ternyata lebih berbahaya daripada jalan naik. Kami kembali ke mobil, dan Pak Wawan membawa kami ke Pasir Berbisik. Lautan pasir ini mendapatkan namanya yang sekarang karena menjadi lokasi syuting Dian Sastro di film dengan nama sama. Di lautan pasir ini, kami mendapati beberapa motor trail meraung-raung memamerkan ketangkasan mereka. Sementara di balik bebatuan, ada seorang perempuan tua berbaju pink menjaga warung portabelnya, sendirian

Kalau memilih jalur Malang, dari lautan pasir kita akan langsung kembali melewati padang Savana yang berisi bukit-bukit kecil yang lucu. I hate to say it, but they call it Bukit Teletabis. Ketika kami melewati bukit ini, rerumputan tampak kering, karena akhir musim kemarau. Kata teman saya, waktu terbaik untuk mengunjungi Bromo adalah di awal musim kemarau, sekitar bulan Mei. Rumput-rumput masih hijau karena masih mendapat sisa hujan, pasir sudah tidak lagi menjadi lautan lumpur dan debu masih belum terlalu tebal.

Perjalanan pulang kami lanjutkan. Dalam kantuk yang kembali menyerang, saya masih bisa mendengar Pak Wawan membunyikan klakson Hard Top bernada riang dan lucu setiap kali kami melewati tikungan tajam yang hanya cukup untuk satu mobil. Sebelum saya akhirnya memejamkan mata, saya masih sempat melihat dua orang penduduk desa Ngadas membawa babi hasil tangkapan mereka yang diikat pada tongkat panjang. Mungkin sebagai persiapan menjelang Upacara Karo. Ingatan saya kembali melayang pada pura yang saya lihat dari puncak Bromo.

Pura Luhur Poten. Difoto dari puncak Bromo

~ The Emak

Foto oleh Anindito Aditomo