Kategori: Asia

Kartupos dari Maharasthra India

Awal bulan Juni Si Ayah mendapat undangan workshop di India. Biasanya dia agak nggak enak sering pergi meninggalkan keluarga, karena dia tahu saya yang lebih seneng traveling, sementara dia yang lebih sering mendapat kesempatan untuk pergi. Tapi kali ini, dia nggak merasa bersalah pergi karena tahu India nggak masuk ke bucket list, destinasi impian saya. Sampai saat ini saya belum pengen ke India, cukup membaca atau mendengar ceritanya saja 🙂

Acara workshop tentang Citizen-Led Assesment ini cukup padat. Nino cuma punya waktu satu setengah hari untuk jalan-jalan, itu saja diorganisir oleh panitia. Karena itu dia malas bawa kamera besar (nggak besar-besar banget sih, wong ‘cuma’ mirrorless), apalagi bawa tripod. Dalam perjalanan ke India kali ini, Si Ayah hanya berbekal kamera poket lawas, Canon S-95. Tapi dasar pinter motret, dengan kamera poket pun dia bisa menghasilkan foto-foto keren (menurut istrinya, hahaha). Memang bener sih yang bilang: yang penting bukan gadget-nya, tapi the man behind the camera.

Worskhop dilaksanakan di kota Aurangabad, distrik Maharashtra. Kota ini bisa ditempuh 1 jam naik pesawat dari Mumbai. Di sini ada beberapa atraksi wisata yang cukup menarik, antara lain: Bibi Ka Maqbara (Mini Taj Mahal), Ellora Cave dan Daulatabad Fort. Tak lupa Nino juga mengabadikan desa-desa yang dia kunjungi. Dengan bidikan lensanya, senja di pengkolan kampung di India sana pun tampak indah 😉 Saya senang bisa mendapat oleh-oleh foto suasana India yang berbeda dari yang biasa saya lihat di blog teman-teman traveler.

Selamat menikmati!

“Have you been to Taj Mahal?”
“No.”
“Then go. If you’ve been to Taj Mahal, no use going there.” Di Aurangabad, Maharashtra, ada Taj Mahal mini, sebutan resminya Bibi Ka Maqbara. Kalau pernah ke Taj Mahal asli, melihat edisi KW ini nggak bakalan terkesan. Alhamdulillah saya melihat yang kw duluan sebelum melihat yang asli, jadi masih bisa menikmati.


 

Situs arkeologis Ellora terdiri dari puluhan kuil yang dibangun pemeluk tiga agama berbeda: Budha, Hindu, dan Jai. Yang istimewa, kuil-kuil ini dibuat dengan cara melubangi, memotong, dan memahat bukit-bukit batu. Struktur sebagian kuil tampak begitu geometris, seperti hasil potongan mesin-mesin modern. Sulit membayangkan bahwa usia kuil-kuil sudah lebih dari seribu tahun. Sekarang kuil-kuil Ellora dipromosikan sebagai lambang kerukunan antar agama. Mungkin mirip dengan gereja dan masjid yang kerap dibangun berdampingan di alun-alun beberapa kota di Indonesia. Beberapa pengunjung Ellora masih memanfaatkannya untuk mengangkat dupa dan bersembah sujud. Sebagian besar pengunjung yang lain lebih memilih mengangkat ponsel dan mengabadikan kenangan.



Mohammed bin Tughluq, the sultan of Delhi who built this fort was possibly a paranoid man. The Daulatabad fort is famous for its series of trick defence and secret escapes routes. In the middle section of this 12th century fortress, I found a magnificent wooden door plated with iron. Just perfect for framing my picture.

 
Dari ketinggian jalan menuju puncak benteng Daulatabad, terlihat jelas kering dan tandusnya tanah di daerah ini. Maharashtra memang salah satu negara bagian yang mengalami kekeringan paling parah di India. Konon, kekeringan pula yang membuat kota yang dibentengi tembok berlapis ini ditinggalkan penghuninya, sekitar seribu tahun silam. Semoga hujan segera menyapa dan mengubah hamparan tanah tandusmu menjadi kebun-kebun yang hijau.

Foto & caption: @ninoaditomo
Difoto dengan kamera saku Canon S95.

~ The Emak

Cara Gampang Mengurus Bebas-Visa Jepang

Saya mendapatkan bebas-visa atau visa waiver Jepang ini secara tidak sengaja. Sampai saat ini saya belum punya rencana pasti, kapan akan ke Jepang. Pengen sih pengen, tapi belum ada rencana dan belum beli tiket. Dalam waktu dekat saya dan Si Ayah malah akan pergi ke Taipei. Saya mengajukan bebas-visa Jepang karena ‘tertipu’ postingan sebuah blog yang mengatakan bahwa kita bisa mengajukan visa Taiwan secara online kalau kita punya visa Jepang. Saya kurang teliti mencari konfirmasi, ternyata yang bisa mengurus visa Taiwan online adalah WNI yang sudah punya VISA Jepang (stiker besar yang ada fotonya), bukan VISA WAIVER yang hanya tempelan stiker kecil doang. Tapi ya sudah lah, tetap ada hikmahnya. Gara-gara postingan itu saya dan suami jadi punya visa waiver Jepang. Jadi kalau ada yang sedekah tiket ke Jepang, saya tinggal berangkat, hahaha. Ada?

Bebas visa Jepang sudah diberlakukan bagi WNI mulai 1 Desember 2014. Tapi tentu ada syaratnya. Yang bisa mengajukan bebas visa adalah pemegang e-paspor (paspor yang sudah ada chip elektroniknya). Sebelum berangkat, pemegang e-paspor wajib mendaftarkan diri dulu di kedutaan atau konsulat Jepang di Indonesia.

Kiri: paspor Biasa. Kanan: e-paspor (ada gambar chip)

Formulir Aplikasi Bebas Visa Jepang

Syarat-syarat untuk mendapatkan bebas visa Jepang (Japan Visa Waiver) sudah tertulis jelas di website Japan Embassy: http://www.id.emb-japan.go.jp/news14_30.html. Syaratnya cukup sederhana: cukup bawa e-paspor dan mengisi formulir aplikasi. Formulirnya pun sangat sederhana, tinggal mengisi data diri dan alamat yang ditempati sekarang. Jangan lupa tanda tangan 🙂 Formulir aplikasi bisa diunduh di tautan ini. Biayanya GRATIS.

Saking sederhananya, saya malah jadi sangsi. Beneran nih segampang ini?? Nggak pakai pasfoto? Nggak pakai buku tabungan, slip gaji? Tapi berdasar cerita teman-teman travel blogger, syaratnya memang cuma dua itu. Ya udah, pokoknya saya berangkat. Saya masih menyisakan pertanyaan: bisa nggak diwakilkan? Karena yang bisa mengurus visa waiver di hari kerja cuma saya, sementara Si Ayah sibuk mengabdi pada bangsa dan negara. Ya udahlah, pokoknya saya mintakan tanda tangan Si Ayah di formulir, bawa paspornya dan berangkat!

Lokasi konsulat jendral Jepang di Surabaya ada di daerah Gubeng. Dengan satu klik di Google Map, langsung ketahuan alamat lengkapnya di Jl Sumatra No. 93. Saya naik taksi ke sana dan masuk lewat jalan Jawa. Perlu dicatat, konjen Jepang ini tidak menyediakan tempat parkir. Yang bawa mobil atau motor, bisa parkir di pinggir jalan Sumatra yang cukup sepi ini di seberang konjen, tapi tidak boleh terlalu dekat dengan bangunan konsulat. Atau… bisa titip di warung/toko di Jl. Jawa. 

Jam kerja konjen Jepang adalah Senin sampai Jumat. Pengajuan visa atau bebas visa dilayani pagi hari pukul 8.15 sampai 11.30. Sementara pengambilan dilayani siang jam 13.15 sampai sore jam 15.30.

Sebelum masuk gedung, kita harus lapor satpam terlebih dahulu, keperluannya apa. Kita juga diminta mengisi buku tamu, menunjukkan KTP atau SIM dan menitipkan barang-barang elektronik, dalam kasus saya cuma handphone saja. Kemudian satpam akan membukakan pintu setelah kita melewati metal detector. 

Ketika saya datang Senin pagi untuk mengurus bebas visa, konjen Jepang tampak sepi, hanya ada dua orang selain saya. Saya mengambil nomor antrean dari mesin dan duduk menunggu. Tidak lama kemudian, saya dipanggil dan segera saya serahkan dokumen ke loket: e-paspor saya dan suami beserta dua formulir registrasi yang sudah ditanda tangani. Petugas mengecek sebentar kemudian membuatkan tanda terima. “Besok bisa diambil,” katanya. Hah, gitu doang? Saya senyum-senyum ajaib dan bilang terima kasih.

Peta lokasi Konjen Jepang di Surabaya

Keesokan siangnya, saya kembali ke konsulat jendral Jepang di Surabaya di Gubeng. Kembali menjalani pemeriksaan satpam dan masuk ke gedung. Kali ini tidak ada orang sama sekali. Saya mengambil nomor antrean dan menunggu. Ternyata harus menekan bel untuk memberi tahu kalau ada tamu. Akhirnya petugas muncul di loket, saya menyerahkan tanda terima dan petugas mengambilkan e-paspor kami berdua. Saya cek, stiker bebas visa sudah bertengger manis di paspor saya dan Si Ayah. Alhamdulillah.

Petugas mengingatkan kalau bebas visa saya hanya berlaku untuk kunjungan singkat maksimal 15 hari di Jepang (dalam satu waktu). Masa berlaku visa waiver selama 3 tahun sejak tanggal diberikan atau sesuai masa berlaku paspor, mana yang terjadi lebih dulu. Artinya saya bisa bebas wira-wiri ke Jepang sampai 8 Desember 2018. Tentu kalau punya tiket dan sangu 😀

Dari pengalaman saya, mengajukan bebas visa Jepang ternyata mudah sekali, asal sudah punya e-paspor. Saya sarankan untuk yang pengen ke Jepang, mending membuat atau memperpanjang e-paspor daripada membuat visa Jepang yang membutuhkan syarat macam-macam. Selisih paspor biasa dan e-paspor adalah 300 ribu. Sementara visa Jepang biayanya 330 ribu untuk single entry dan 660 ribu untuk multiple entries. Lebih murah bikin e-paspor dan mengajukan bebas visa kan? Coba baca pengalaman kami memperpanjang e-paspor di Kantor Imigrasi Surabaya.
 
Good luck ^_^

~ The Emak
Follow @travelingprecil

Lampiran: 
Alamat Kedutaan dan konsulat Jepang di Indonesia dan wilayah kerjanya.
Sumber: http://www.id.emb-japan.go.jp

Bagian Konsuler Kedutaan Besar Jepang di Jakarta

Jl. M.H. Thamrin No. 24, Jakarta 10350, INDONESIA
Telephone: (021) 3192-4308
FAX : (021) 315-7156

Wilayah Yurisdiksi (wilayah kerja) :
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung

Kantor Konsuler Jepang di Makassar

Gedung Wisma Kalla Lantai 7
Jl. Dr. Sam Ratulangi No. 8-10, Makassar, INDONESIA
Telephone : (0411) 871-030
FAX : (0411) 853-946
Website : http://www.surabaya.id.emb-japan.go.jp/makassar/

Wilayah Yurisdiksi (wilayah kerja) :
Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Maluku, Papua (Irian Jaya), Papua Barat

Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya

Jl. Sumatera No. 93, Surabaya, INDONESIA
Telephone : (031) 503-0008
FAX : (031) 503-0037, 502-3007 (Visa)
Website : http://www.surabaya.id.emb-japan.go.jp/

Wilayah Yurisdiksi (wilayah kerja) :
Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan

Konsulat Jenderal Jepang di Denpasar

Jl. Raya Puputan No.170, Renon, Denpasar, Bali, INDONESIA
Telephone : (0361) 227-628
FAX : (0361) 265-066
Website : http://www.denpasar.id.emb-japan.go.jp/

Wilayah Yurisdiksi (wilayah kerja) :
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur


Konsulat Jenderal Jepang di Medan

Sinar Mas Land Plaza (Wisma BII), 5th floor
Jl. Pangeran Diponegoro No. 18, Medan, Sumatera Utara, INDONESIA
Telephone : (061) 457-5193
FAX : (061) 457-4560
Website : http://www.medan.id.emb-japan.go.jp/

Wilayah Yurisdiksi (wilayah kerja) :
Aceh Nangroe Darusalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Kepulauan Riau

Tiket Nol Rupiah Yang Membuka Mata

“Mbak, kok bisa sering jalan-jalan, gimana sih caranya?” Begitu mention yang muncul di akun twitter saya. Jawaban simpelnya: “Caranya ya beli tiket, packing, terus berangkat.” Terlalu tega nggak sih

Kenyataannya memang betul seperti itu. Saya dan keluarga bisa ‘sering’ traveling karena prioritas bersenang-senang kami memang untuk jalan-jalan. Anggaran kami jaga dari bahaya: ngopi, makan di luar, nonton bioskop, beli gadget terbaru, belanja sesuatu karena lucu, dan lain-lain. 

Memang tidak mudah mencari tiket murah, apalagi untuk kami berempat: saya, Si Ayah, Big A (12 tahun) dan Little A (6 tahun). Tiket promo selalu ada, tapi kalau dikalikan empat, tentu saja tidak murah lagi. Satu-satunya jalan adalah mencari tiket super promo alias tiket gratis. Untungnya ada Air Asia yang bisa kami andalkan untuk menjadi ‘sponsor’ perjalanan keluarga kami menjelajah Asia.

Tahun 2012, keluarga kami pulang kampung ke Surabaya. Setelah puas berkelana di Australia dan Selandia Baru, saya ingin mengajak anak-anak berkenalan dengan Asia. Sejak Air Asia mulai meluncurkan promosi Kursi Gratis, saya sudah mengincar destinasi-destinasi dengan penerbangan langsung dari Surabaya. Langkah awal tentu dengan langganan nawala (newsletter) dan mengikuti berita di akun Facebook dan Twitter agar selalu menjadi yang pertama tahu kalau ada tiket promo. Usaha dikit lah ya. Ndilalah-nya (lucky me), saya berhasil mengamankan tiket nol rupiah tiga kali: ke Bali, Johor Bahru dan Penang.

Ternyata tiga perjalanan tersebut tidak sekedar keren-kerenan bisa jalan-jalan (ke luar negeri) dengan ongkos irit. Tiga destinasi ini ternyata membuka mata kami, terutama The Precils, anak-anak kami, untuk melihat Asia, dunia yang berbeda dari yang selama ini mereka saksikan di Australia. 

Little A di penerbangannya yang ke-19

Bali, April 2013 

Tiket nol rupiah untuk Surabaya – Denpasar ini berhasil saya dapat setahun sebelumnya, ketika kami masih tinggal di Sydney, dan koneksi internet masih 10x lipat lebih cepat. Tanpa masuk waiting room, saya dengan cepat menemukan tanggal ketika tiket pergi dan pulangnya ‘gratis’. Jangan kaget, waktu itu saya hanya bayar Rp 5000 per tiket. Jadi total untuk empat orang cuma 40 ribu. Yay! Waktu itu saya pikir, kalau toh tahun depan terjadi apa-apa dan liburan kami batal, saya tidak rugi-rugi amat.

Ini pertama kali kami sekeluarga naik Air Asia dan penerbangan Little A-waktu itu 4 tahun-yang ke sembilan belas (ya, saya mencatat hal-hal kecil semacam itu). Pertama kali juga kami terbang tanpa bagasi. Tinggal lenggang kangkung ke bandara karena saya sudah web check in dan mencetak sendiri boarding pass. Omong-omong, pajak bandara jatuhnya lebih mahal daripada tiket kami :p

Di Bali, Little A dan Big A berkenalan kembali dengan negeri dan bangsanya. Mendarat di bandara Ngurah Rai, kami disambut kepulan asap rokok. Lalu kami dibawa sopir yang cekatan menikung di gang-gang kecil di daerah Canggu, menghindari jalan yang ditutup untuk upacara. Di kanan kiri jalan, kami masih bisa melihat sisa-sisa hiasan perayaan Galungan. Di beberapa ruas jalan, kami menyaksikan anak-anak bule telanjang dada yang senang banget bisa berdiri di atas sepeda motor yang dikendarai Bapaknya. Negara bebas, hey? The Precils tentu masih ingat peraturan di Australia: anak-anak harus ‘diikat’ di car seat di kursi belakang mobil.

Setelah liburan singkat menikmati tenangnya Canggu dan ramainya Kuta, Selasa pagi kami pulang. Dari bandara Juanda, anak-anak langsung kembali belajar. Berangkat sekolah naik pesawat terbang? Like a boss! 😀

Johor Bahru, Maret 2014

Johor Bahru tidak bisa dipisahkan dari Legoland, dan memang hanya itu tujuan kami ke sana. Saya mengincar tiket penerbangan langsung SUB – JHB ketika promo Kursi Gratis April 2013 dan mendapatkan tiket 0 rupiah untuk penerbangan tahun depan. Tiket Rp 0 bukan berarti kita nggak bayar sama sekali ya. Penumpang masih harus membayar pajak dan fuel surcharge. Alhasil, total harga tiket SUB – JHB pp per orang Rp 400.000.

Kami bersenang-senang di Legoland, apalagi diundang menginap gratis di hotel Legoland yang seperti kastil, dengan keping-keping lego yang bertebaran di mana-mana. Kami berempat fans berat Lego, jadi mabuk berat belanja di obralan, bermain di lobi hotel, theme park, water park, bahkan di restorannya.

Pulangnya, melewati jalan bebas hambatan yang cukup sepi, dengan pemandangan semak belukar dan tanah gersang, saya menyatakan kekaguman pada pemkot Johor Bahru yang bisa membuat daerahnya dikunjungi oleh banyak wisatawan, bahkan dari luar negeri. Saya tantang Big A dengan pertanyaan, “Apa yang kamu lakukan seandainya kamu jadi walikota, agar kotamu banyak dikunjungi orang, Big A?

Air Asia di bandara Senai, Johor Bahru

Penang, April 2014

Tiket nol rupiah yang satu ini saya dapatkan saat promo Oktober 2013. Termasuk pajak dan surcharge, kami habis sekitar Rp 2 juta untuk tiket SUB – PEN berempat, atau Rp 500 ribu per orang pp. Harga normal sekitar Rp 750.000 sekali jalan. Percayalah kalau tiket 0 rupiah selalu lebih murah. Apalagi ini tanggalnya pas libur paskah.

Ngapain ke Penang? Selain karena ada terbang langsung dari Surabaya dan jatuhnya lebih murah daripada tiket domestik, juga karena Penang menawarkan paket komplit sebagai tujuan wisata: wisata kota, seni, sejarah, pantai dan kuliner. Masing-masing dari kami bisa dapat bagian yang kami senangi.

Di kota Georgetown yang panasnya melebihi Surabaya ini, anak-anak belajar bagaimana orang-orang dari ras yang berbeda bisa tinggal dengan harmoni di kota ini. Kami belajar sejarah kota ini di museum interaktif Made In Penang yang menyenangkan, tapi terutama kami belajar dari mencicipi makanan mereka dan merasakan keramahan pemasaknya. Roti canai dari India, char kway teow dari orang Tiongkok, dan ayam kicap dari orang Melayu. Berbeda-beda tapi tetap sama lezatnya.

Eat like a local. Penang street food, siapa takut?

Saya masih akan terus membawa The Precils menjelajah karena setiap pengalaman traveling akan membuka mata mereka, bahwa dunia itu luas. Anak-anak yang sering berkenalan dengan sisi dunia yang lain juga akan lebih toleran menghargai perbedaan dan mensyukuri kenyamanan yang mereka miliki di rumah. Saya masih sanggup bersabar menanti peluang dan segera menyambar kalau ada kesempatan tiket murah untuk berempat 🙂

Hanya saja, sekarang ini saya masih belum tahu, kalau nanti jadi menang traveling ke Nepal *fingers crossed*, siapa yang mesti saya ajak? Si Ayah, Little A atau Big A?

~ Ade Kumalasari (The Emak)

ps: tulisan ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog 10 Tahun AirAsia Indonesia

Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif

Museum Made In Penang di gedung bersejarah Behn Meyer

Museum ini atraksi wisata baru di Penang, baru buka November 2013. Yang suka foto-fotoan, bisa puas jungkir balik di museum interaktif ini.

Menuju museum Made In Penang bisa dengan menumpang bus gratis (CAT Free Shuttle Bus), turun di halte nomor 1 di Weld Quay (Pangkalan Weld). Dari halte tinggal menyeberang dan jalan sekitar 100 meter. Kalau Penang sedang panas-panasnya, melipirlah ke sini untuk ngadem.

Tarif masuk museum RM 30 untuk pengunjung yang tidak punya KTP Malaysia. Sementara tarif anak-anak separuhnya. Waktu itu Little A juga belum perlu bayar. Kami keluar RM 75 sekeluarga.

Museum ini terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah, kami disuguhi diorama mini kehidupan khas warga Penang. Budaya mereka masih serumpun dengan budaya Melayu di Sumatera. Kami ditemani oleh pemandu yang bercerita panjang lebar tentang masing-masing diorama. Little A sangat tertarik oleh King of Fruit (Durian) dan Queen of Fruit (Manggis), dua-duanya tidak boleh dibawa masuk ke hotel-hotel di Penang, karena baunya dan nodanya yang bakalan susah dihilangkan. Si Ayah tertarik dengan diorama tentang pembuatan lemang. Dia belum pernah dengar tentang makanan ini. Kayaknya Si Ayah nggak pernah baca novel-novel sastra Melayu lama, banyak cerita tentang lemang di sana, termasuk kisah tragedi paling masyhur dari Siti Nurbaya. Saya tertarik dengan diorama angkringan versi Penang. Warung penarik rickshaw ini menaruh dingklik (kursi kecil) di atas bangku panjang, dan para pengunjung nongkrong di atasnya. Ketika saya tanya kenapa harus duduk seperti itu, kata pemandunya lebih nyaman dan lebih gampang kalau mau ambil makanan.

Selain diorama mini, ada juga diorama besar yang menggambarkan pelabuhan Penang ketika masih dikuasai Inggris, termasuk gedung bersejarah Behn Meyer yang akhirnya dijadikan museum ini.   

Di lantai 2, pengunjung bisa lebih banyak berinteraksi dengan display lukisan 3D khas Penang. Konseptor museum ini tahu benar kalau sekarang turis ingin berfoto dan berbagi di media sosial. Itu dimanfaatkan untuk membuat karya seni yang bisa diajak bermain-main. Di setiap lukisan diberi contoh-contoh bagaimana kami bisa berpose.

Pagi itu suasana museum ramai, tapi kami masih bisa bergantian mengambil foto dengan pengunjung yang lain.

Trik 3D yang paling keren adalah di lukisan ‘hukuman dipentung dengan bakiak’ dan penyelamatan Spiderman. Sayangnya saya tidak kurang bisa akting yang pas dan malah lebih banyak ngakaknya berpose aneh-aneh seperti ini.

Selain lukisan-lukisan, ada layar interaktif yang bisa membuat kita memakai topeng atau menghias wajah kita dengan fitur aneh-aneh.

Di bagian terakhir, kami disuguhi film pendek tentang Penang dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Sebelum pulang, kami sempat ‘ngeteh’ dengan Mr. Lim, menteri utama Penang. Itu bayaran yang sepadan setelah menjadi kuli di pelabuhan :p


Museum ini tidak terlalu besar, tapi saya acungi jempol atas kreatifitas pembuatnya (semua karya seniman Penang, karena itu diberi nama Made In Penang) yang mampu membuat pengunjung senang main ke museum, dengan oleh-oleh pengetahuan sejarah dan foto yang seru.

Adakah yang seperti ini di Indonesia?

~ The Emak

Baca juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget  
Review Tune Hotels Downtown Penang   
Review Holiday Inn Resort Penang
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Mencicipi Kuliner Penang

Mencicipi Kuliner Penang

Suasana food court di Gurney Drive

When traveling, do you eat like a local or like a trendy travel blogger? 🙂
Di Penang, saya tadinya berencana menjadi yang kedua, biar bisa makan dan pamer foto makanan ikonik di social media. Tapi nasib (dan terik matahari yang membakar) membelokkan pengalaman kuliner kami menjadi lebih otentik, makan di emperan dan warung seperti orang lokal.

Penang identik dengan surga kuliner di Malaysia, mau cari apa saja katanya ada di sini, semuanya enak dan harganya relatif terjangkau. Kami nggak mau ketinggalan dong mendapatkan pengalaman berburu makanan di sini. Kalau jalan-jalan di Asia, harap simpan rice cooker di rumah :p 

Sebelum berangkat, saya sudah mempersenjatai diri dengan… apa lagi kalau bukan rekomendasi dari beberapa food blogger (trendy). Ini contekan tempat makan inceran saya, yang sudah saya cetak beserta peta, jalur menuju ke sana lengkap dengan koordinat GPS-nya.

Berikut contekan saya:
1. Roti Canai@Transfer Road, 56 Jalan Transfer, Georgetown
2. Mee Goreng @ Bangkok Lane, 270 Jalan Burma, Lorong Bangkok
3. Famous Teochew Cendol @ Lebuh Keng Kwee, off Penang Road
4. Nasi Kandar @ Line Clear
5. Restaurant Kapitan, 93 Lebuh Chulia  
6. Pasembur @ Gurney Drive Hawker Centre 
7. Asam Laksa @ Air Itam, Jalan Pasar (on the way to Penang Hill)
8. Ferringhi Coffee Garden, 43-D Batu Ferringhi



Glek, menuliskannya saja sudah menerbitkan air liur. Tapi ternyata, tak satu pun dari daftar tersebut yang berhasil kami coba, hahaha. Begini ceritanya…


Gara-gara mendapat kamar penuh asap rokok di Tune Hotel, rencana kami di sore hari pertama di Penang gagal total. Sambil menunggu kamar diganti, kami keluar cari makan. Ndilalah-nya kok ya susah cari makan siang di sekitar Tune hotel ini. Ada Mal kecil dan food court, tapi baru buka untuk makan malam. Ada resto persis di sebelah hotel, tapi semua makanannya pakai kecap babi. 

Setelah jalan dua gang di seberang hotel, perut keroncongan kami terselamatkan oleh warung tenda yang buka di depan rumah susun rakyat, Jl. Zainal Abidin. Alhamdulillah, yang ini dijamin halal.

Kedatangan kami yang tampangnya turis banget membuat si penjual kaget. Ini orang ngapain nyasar ke sini, jauh-jauh dari Surabaya lagi, mungkin begitu pikirnya. Tapi yang penting mereka ramah, pelayanannya cepat dan makanannya enak. Nikmatnya mungkin bertambah karena kami makan dalam keadaan sangat lapar. Si Ayah, seperti biasa, pesan nasi goreng. Kali ini diberi nasi goreng cili padi, mungkin semacam cabe rawit? Saya pesan tom yam yang seger banget. Anak-anak saya pesankan bihun goreng. Tapi karena bihunnya sedikit pedas, Little A saya pesankan ayam kicap yang manis. Ditambah kopi dan teh panas, total kami keluar uang RM 29. Sebelum pulang, Ibu penjual masih memberi Little A dua buah apel untuk pencuci mulut. Tamu istimewa!

Malamnya kami jalan-jalan ke Gurney Drive (pesiaran Gurney) untuk makan malam di food court kaki limanya dan untuk beli konektor colokan listrik karena kelupaan bawa. Di daerah Gurney ini ada dua mal besar: Gurney Plaza dan Gurney Paragon Mal. Dari Tune Hotel, kami naik taksi tanpa argo dengan tarif RM 18 sekali jalan. Perjalanan sekitar 25 menit di malam yang cukup ramai.

Suasana di hawker centre Gurney ini meriah sekali. Kios-kios makanan berdiri di kiri kanan jalan dan meja kursi makan plastik ditata di tengah-tengahnya. Kami beruntung masih kebagian kursi. Si Ayah dan saya bergantian berburu makanan karena harus menjaga Precils juga.

Saking banyaknya pilihan, kami malah jadi bingung mau pesan apa. Kios-kios yang populer biasanya antreannya panjang. Ketika saya jalan sampai ke ujung, ternyata di pojokan berkumpul kios-kios makanan dari penjual Melayu dan India muslim. Suasana di sini tidak sehingar bingar food court yang di tengah, lampunya lebih temaram, dengan diiringi musik seperti qasidah. Di pojok ini, semua makanan dijamin halal.

Menu makan kami malam itu: jelly dan air kelapa (RM 9), pancake apom 12 pcs (RM 6), rojak (RM 5), sate ayam dan lembu 2 porsi (RM 16), dan nasi lemak dengan ayam goreng untuk dibawa pulang (RM 5,50).  

Saya melihat kios pasembur seperti yang saya tulis di contekan, tapi urung membeli. Kelihatannya kok campurannya goreng-gorengan, full minyak semua, membuat saya jadi ilfil.

 

Kami hanya menginap semalam di Tune Hotel (untungnya!), jadi keesokan harinya sudah harus cek out. Nggak enaknya menginap di hotel yang tidak menyediakan sarapan, kami harus keluar untuk cari makan sendiri. Jam delapan pagi, kami sudah berhasil cek out. Tadinya saya berniat sarapan di Roti Canai di Transfer Road, tapi kok rasa-rasanya terlalu lama jalan kakinya. Akhirnya rencana sarapan saya alihkan ke daerah dekat masjid Kapitan Keling. Malangnya, saudara-saudara, kami kelewatan turun dari bus gratis. Akhirnya kami terdampar di dekat benteng Cornwallis. Saya tahu dekat situ ada food court yang direkomendasikan, tapi setelah tanya orang lewat, ternyata baru buka di malam hari. Wajah Si Ayah sudah kecut menahan lapar. Tidak ada tanda-tanda gerobak tukang bubur lewat juga.

Akhirnya saya mengambil inisiatif untuk menyeberang dan mulai berjalan melewati lorong-lorong yang penuh dengan ruko. Ketika tanya ke orang lokal, mereka bilang ada beberapa warung dua blok dari tempat kami berdiri. Jalan satu blok, kami sudah melihat ada warung yang buka. Lho tapi kok sedia masakan Jawa. Masa jauh-jauh ke Penang mau makan masakan Jawa, haha. Akhirnya di perempatan Lebuh Bishop dan Lebuh Penang, kami menemukan warung India yang cukup ramai dengan pengunjung. Tanpa ragu, kami ikut nongkrong di kursi plastik di depan warung.

Tuhan Maha Asyik, cita-cita saya sarapan roti canai kesampaian juga, meski di tempat yang berbeda. Setelah beberapa suap, wajah Si Ayah sudah cerah lagi, apalagi tahu kalau harganya murah meriah 😀 Makan kenyang berempat, dengan kopi dan teh panas, kami hanya keluar uang RM 9,60. Brekky under 10 ringgit!

Sebagai arek Suroboyo yang biasa dengan panasnya kota, saya tidak menyangka akan KO juga menghadapi teriknya kota Penang. Setelah ngadem di museum interaktif Made In Penang dan sempat mampir ke lokasi salah satu street art, lagi-lagi kami kelaparan sebelum waktunya. Kami nge-charge energi sebentar dengan es potong di kedai. Saya bertanya ke pemilik kedai, di mana mencari makan siang, yang paling dekat tentu saja. Syukurlah kami tidak harus berjalan jauh. Setelah kira-kira 150 meter, kami menemukan jalan yang ramai dengan restoran di kanan kiri. Saya juga melihat Restoran Kapitan, seperti dalam daftar yang direkomendasikan oleh travel blogger yang trendi-trendi. Tapi Si Ayah dan Precils bilang tidak sanggup berjalan 50 meter lagi di siang yang teramat menghisap energi itu. Akhirnya kami melipir dan duduk manis di restoran India Kassim Mustafa, yang paling dekat dengan tempat kami berdiri.

Makan dulu baru bayar! Ah, saya suka sekali warung yang begini. Melihat raut wajah pengunjung yang khusyuk makan dengan tangan, saya yakin tidak salah masuk restoran. Kami pesan nasi biryani, roti naan, dan dua macam kari yang pedas dan tidak pedas. Saya ingat jus buah yang kami pesan rasanya nikmat sekali,langsung menurunkan suhu ubun-ubun kami yang mandi matahari. Naan bread-nya juga lembut, hangat dan gurih. Apalagi dicelup kuah kari yang kental. Super yummy. Makanan siang itu memulihkan kepercayaan saya akan lezatnya masakan India tanpa bau langu yang menusuk. Untuk makanan nan lengkap ini kami habis RM 44.

Ganti suasana, kami meninggalkan tengah kota Georgetown menuju pesisir Batu Ferringhi. Meski menginap di hotel Holiday Inn, kami tentu tidak sanggup pesan makan malam di restorannya, haha. Untungnya ada warung-warung makan tepat di depan hotel. Hujan mulai turun, jadi kami malas untuk mencari-cari alternatif lainnya. Anak-anak kecapekan setelah bermain air di pantai sorenya, sehingga memilih untuk menunggu di kamar hotel.

Kami pesan fish & chips (RM 12) untuk anak-anak, dua char kway teow spesial (RM 16) dan ekstra nasi goreng lembu (RM 4), semua dibungkus untuk dimakan di kamar hotel. Penjual di warung-warung ini orang Melayu muslim sehingga halalnya terjamin. Saya suka sekali char kway teow-nya yang dicampur dengan udang besar. Saya sebenarnya masih pengin nambah lagi, tapi sudah terlalu malas untuk turun.


Paginya, saya memutuskan untuk sarapan di hotel saja, daripada rempong cari-cari warung makan yang buka di pagi hari. Di Holiday Inn, biasanya anak-anak sarapan gratis, asal bersama orang dewasa yang bayar. Saya bayar RM 60 untuk tarif sarapan berdua dengan Si Ayah. Little A dan Big A gratis. Tetep mahal sih, tapi daripada ribet, iya kan? Kami memilih makan pagi-pagi sebelum ramai orang. Suasana restoran cukup menyenangkan, kami memilih duduk di meja pojok yang menghadap pantai. Sayangnya rasa makanan di hotel ini tidak seenak yang kami cicipi di pinggir jalan dua hari sebelumnya. Bahkan kopinya pun hanya sekelas kopi sesat, eh, saset. Saya juga heran, hotel sekelas ini tidak mampu punya mesin espresso. Jadi kami hanya makan untuk mengisi perut saja, bukan untuk memanjakan lidah. Untungnya roti-roti dan selainya cukup enak, tidak terlalu mengecewakan lidah bule The Precils.

Sarapan di Holiday Inn yang rasanya yaa… begitulah.

Pengalaman kulineran di Penang membuat saya pengin mencoba kulineran di Surabaya di akhir pekan. Nginep di hotel sekalian biar berasa staycation-nya. BRB bikin proposal untuk Si Ayah 😉

~ The Emak

Baca Juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Tune Hotels Downtown Penang   

Review Holiday Inn Resort Penang 
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif 

Review Holiday Inn Resort Penang

Kolam renang hotel saat senja

Menginap dua malam di Penang, saya sengaja memilih satu hotel di kota Georgetown dan satu hotel di tepi pantai Batu Ferringhi. Senang banget hotel kedua ini tidak salah pilih, menjadi highlight liburan kami di sini.

Ada banyak pilihan hotel di tepi pantai Batu Ferringhi (kurang lebih 45 menit dengan bis no. 101 dari kota). Coba buka Google Maps, di sepanjang pantai berjajar hotel, dari yang murah meriah sampai yang harganya selangit, dari brand ternama sampai yang belum pernah terdengar. Saking banyaknya hotel, sampai-sampai jalan masuk ke pantai untuk umum terbatas banget. Kali ini saya mau sedikit bermewah-mewah di hotel ‘beneran’, yang cuma selemparan batu dari pantai. Tapi… kalau bisa bayarnya gak mahal, lebih asyik lagi kalau gratis 😀

Gratis Pakai Poin
Menganut paham ngiritisme, saya rajin mengumpulkan poin dari keanggotaan hotel, website booking online, pesawat, kartu kredit, bank dan apapun yang nggak perlu bayar. Kalau suatu hotel (biasanya grup hotel) menawari keanggotaan gratis, saya pasti ikut. Gampang kok, biasanya tinggal daftar online di website-nya dan kita dapat nomor keanggotaan. Mereka biasanya nggak peduli dengan kartu fisik karena akun kita akan tersimpan di database dan bisa diakses kapan saja. Setiap kita menginap di salah satu hotel di grup tersebut, kita akan mendapat poin, yang bisa dikumpulkan untuk menginap gratis. 

Holiday Inn punya IHG Rewards Club, satu grup dengan hotel Intercontinental dan Crowne Plaza. Saya pernah beberapa kali menginap di Holiday Inn, yaitu di Darwin, Bandung dan Melbourne. Yang saya sukai dari brand ini adalah pelayanannya yang selalu bagus dan hotelnya yang ramah anak-anak (tentunya bebas asap rokok!). Satu kamar twin di Holiday Inn berisi dua double bed yang boleh untuk menginap dua dewasa dan dua anak-anak. Ini penting banget karena saya nggak mau keluar uang untuk extra bed atau malah sewa dua kamar hotel.

Satu kamar standar di Holiday Inn Penang harus ditebus dengan 20.000 poin. Tarif standarnya sekitar Rp 1,2 juta. Waktu itu saya hanya punya 16.000 poin. Sebenarnya 4000 poin kekurangannya bisa dibayar dengan uang (sekitar Rp 400 ribu). Tapi saya yang pintar ini punya cara lain untuk menambah poin, yaitu dengan menukar poin dari kartu kredit Si Ayah menjadi poin IHG Rewards Club saya. Bisa dilakukan online, dan gampang banget prosesnya, tinggal klak-klik dan poin sudah masuk ke akun saya tiga hari kemudian. (Penting! Emak-emak harus tahu dong password akun kartu kredit suami :p). Yay, akhirnya bisa nginep gratis di resort!

Sebenarnya saya sempat khawatir ketika booking online dengan poin. Di website-nya, tukar poin hanya mendapat kamar standar untuk dua dewasa. Deg-deg-an kalau nanti anak-anak harus bayar tambahan. Ternyata kekhawatiran saya tidak beralasan. Resepsionis menyambut kami dengan ramah, meng-upgrade kamar standar kami menjadi sea-view, dan memberi welcome drink untuk empat orang. Nggak perlu menyelundupkan anak-anak!

Backpacker nyasar di hotel berbintang :p
Dua double bed, muat untuk berempat.
View dari jendela kamar lantai 15.

Holiday Inn resort di Penang punya dua gedung: Beach Wing, bangunan lama yang lebih dekat dengan pantai, dan Ferringhi Tower, bangunan baru yang berada di seberang jalan, dengan view gunung atau laut. Kami mendapat kamar di Ferringhi Tower lantai 15. View-nya cukup bagus, separuh gunung dan separuh laut, spektakuler saat sunset dan sunrise

Little A langsung teriak-teriak hore begitu kamar dibuka. Dia, seperti Emaknya, suka menginap di hotel mewah. Yang nggak suka kan bayarnya, hehe. Si Ayah langsung anteng setelah diberi password wifi (gratis). Koneksi wifi di kamar lumayan cepat. Big A langsung ambil buku dan duduk santai sambil memandang laut. Nggaya banget, hahaha. The Emak sibuk mengecek amenities dari hotel: setrika, papan setrika, sandal kamar, safety box, air mineral, kulkas mini, pemanas air, kopi, teh, gula, creamer, sabun batangan, bubble bath, shampo, conditioner, lotion, sikat gigi, pasta gigi, sampai yang nggak penting seperti lap sepatu (kami pakai sneaker), alat jahit (alhamdulillah nggak ada kancing lepas) dan kapas kecantikan (saya nggak dandan). Oh, mungkin berguna untuk orang lain.

Yang saya rindukan dari hotel-hotel di Australia dan New Zealand adalah susu segar dalam pak kecil untuk campuran bikin kopi. Di hotel Indonesia, Singapura dan Malaysia biasanya cuma diberi creamer bubuk, kopinya pun kopi instan. Kecuali di Kid Suite Hard Rock Bali yang menyediakan mesin kopi espresso di kamar.

Belum lima menit kami leyeh-leyeh di kamar, ada yang mengetuk pintu. Dua staf hotel mengantarkan welcome snack dan tambahan dua botol air mineral khusus untuk anggota klub IHG Rewards. Sweet gesture. Camilannya seperti bakpia aromatic gitu. Lumayanlah untuk ganjal perut. Air mineralnya juga berguna untuk bekal sampai esok harinya. Begitu staf pergi, telepon berdering. Ternyata dari resepsionis yang menanyakan sesuatu dalam bahasa Inggris aksen India yang kurang bisa saya mengerti. Setelah diulang pelan-pelan, ternyata dia hanya ingin memastikan bahwa kami puas dengan kamar ini. Apa ada yang perlu dibantu lagi? Another sweet gesture.

Big A dengan buku kesayangannya
Jembatan yang menghubungkan Ferringhi Tower dengan Beach Wing

Agenda kami di Batu Ferringhi cuma satu: bermain-main di pantai sampai sunset. Jadi setelah istirahat sejenak, kami langsung menuju pantai melalui jembatan penghubung ke Beach Wing. Little A sudah siap-siap membawa mainan untuk membuat istana pasir. Si Ayah bawa kamera dan tripod, sementara The Emak bawa sarung Bali wong niatnya emang cuma leyeh-leyeh.

Kolam renang hotel ini terletak di Beach Wing, dekat resto untuk sarapan. Sayangnya kolamnya cuma kotak tanpa mainan untuk anak-anak. Ada kolam kecil dan dangkal untuk anak-anak, juga tanpa aksesori apa-apa. Di pinggir kolam dan di taman kecil yang menghadap ke pantai, banyak tersedia kursi malas. Tentu Little A lebih tertarik bermain air di pantai.

Pantainya berpasir putih, bersih dan nyaman karena tidak terlalu ramai (untuk ukuran Asia). Ombaknya pelan sehingga tidak berbahaya untuk anak-anak. Saya biarkan Little A nyemplung sampai basah, cukup diawasi dari jauh. Di sekitar tempat kami bermain, ada yang main voli pantai, parasailing, naik banana boat, naik speed boat, dan… syuting video klip :)) Saya menikmati mengamati aktivitas orang-orang ini sambil menjaga jarak dengan atlet parasailing amatiran yang mau mendarat.

Matahari terbenam berbarengan dengan rengekan Little A yang sudah capek bermain. Nikmat rasanya bisa menyaksikan indahnya cahaya langit, bersama orang-orang tercinta. Karena Si Ayah masih sibuk memotret, saya yang mengantar anak-anak kembali ke hotel. Ini keuntungan menginap di hotel tepi pantai, selesai bermain air, nggak perlu ribet ganti baju dan masih harus naik kendaraan untuk pulang. Kami tinggal bilas di pancuran yang disediakan hotel, dan lenggang kangkung menuju kamar.

Kamar mandi di kamar kami besar banget, terpisah antara pancuran (shower) dan bak mandi. Anak-anak senang bisa main bubble bath, nggak perlu dipaksa mandi seperti biasanya. Saya juga senang dengan sabun batangan dari Holiday Inn ini, ada aroma segernya dari sereh gitu. Tentu semua sabun-sabunan hotel ini saya bawa pulang, ransel masih cukup kok 😀

Setelah precils wangi dan siap diasuh oleh TV kabel (boleh dong, kan liburan…), saya keluar untuk pacaran dengan Si Ayah. Kami kencan di bar bermodal voucher welcome drink. Minuman gratisan ini semacam fruit punch gitu, entah campuran buah-buah apa, yang jelas enak dan seger.

Di pinggir jalan sekitar hotel ini ada pasar kaget setiap malam. Bahasa kerennya night market. Di Tripadvisor, night market ini banyak direkomendasikan. Tadinya saya juga penasaran, kayak apa sih marketnya. Ternyata cuma gitu-gitu aja, kios-kios tenda dadakan yang menjual baju-baju murah dan suvenir. Kurang nyeni menurut saya. Mungkin menurut bule-bule pasar malam seperti ini eksotis? Untung saya sudah membeli suvenir (segepok magnet kulkas street art Penang) di kafe di Lebuh Chulia.
 
Untuk makan malam, kami tidak mau repot-repot lagi dengan daftar buruan kuliner. Misinya mencari yang terdekat, apalagi sudah mulai turun hujan. Kebetulan kok ada warung tenda persis di depan hotel. Malam itu kami kenyang makan kwetiauw, fish & chips dan nasi goreng di kamar hotel.

Pantainya persis di belakang hotel
Gorgeous sunset

Ranjang yang luas dan nyaman, dengan bantal dan selimut empuk membuat tidur kami nyenyak. Sayang kami cuma menginap semalam. 

Kami sarapan sepagi mungkin karena harus mengejar pesawat kembali ke Surabaya. Sarapan gratis untuk anak-anak, tapi orang dewasa harus membayar RM 30 (sekitar Rp 105.000) karena belum termasuk dalam tarif hotel. Restorannya cukup nyaman untuk duduk, menghadap ke kolam renang dan ke pantai. Tapi sayang makanannya tidak ada yang istimewa. Anak-anak saya yang berlidah bule cukup puas dengan roti, selai, pastry, sosis dan chicken ham.

Si Ayah makan nasi goreng, sementara saya mencoba semuanya sedikit-sedikit. Buburnya gak ada rasanya. Nasi lemaknya juga blah bleh. Kok bisa ya? Padahal kokinya orang lokal lho. Yang menyelamatkan cuma sambal ikan bilisnya. Saya juga tidak puas dengan kopinya yang mungkin cuma dari kopi sachet. Susu segar yang saya ambil dari meja sereal pun tidak membantu. Ya gitu deh, kadang resto yang lebih mahal dengan tempat mewah tidak selalu lebih enak.

Oh, ya, masih ingat tentang permainan kecil kami dengan Holiday Inn yang pernah saya ceritakan? Waktu menginap di Bandung, satu handuk muka (washcloth) tidak sengaja terbawa oleh kami. Handuk cap Bandung ini kami ‘kembalikan’ ke Holiday Inn di Melbourne. Oke, sebenarnya kami tukar :p Jadi ketika menginap di Penang, kami membawa dan mengembalikan menukar handuk dari Melbourne. Sekarang di rumah kami ada handuk muka Holiday Inn bercap Penang. Mungkin akan kembalikan nanti di Phuket atau Krabi :)) #kode.

~ The Emak 

Baca Juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Tune Hotels Downtown Penang
Mencicipi Kuliner Penang 
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif  

Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai

Having fun at Batu Ferringhi beach, Penang

“Melancong atau berobat?” begitu sapaan khas warga Penang ke kami setelah tahu kami dari Indonesia. Penang, pulau kecil di sebelah barat semenanjung Malaysia, yang bisa dicapai 3 jam naik pesawat dari Surabaya ini memang tujuan populer untuk berobat bagi warga. Konon, pelayanan di beberapa pilihan rumah sakit di Penang lebih bagus dan biayanya lebih murah daripada di Indonesia.

Tapi kami ke Penang untuk jalan-jalan saja. Sebagai tujuan wisata, Penang menyediakan paket komplet. Ada wisata kota untuk belajar sejarah dan menikmati karya seni, ada wisata kuliner di setiap sudutnya, dan ada wisata pantai yang bisa dicapai kurang dari sejam dari tengah kota.

Thanks to maskapai berbiaya rendah, Air Asia, yang mempunyai penerbangan langsung Surabaya-Penang, liburan long wiken kali ini kami tidak perlu keluar banyak uang. Kami berempat ‘hanya’ keluar uang 5,5 jutaan termasuk tiket pesawat, akomodasi, taksi, bis, tiket masuk museum dan makan-makan.

Tiba di Penang Jumat siang, saya dibuat kecewa dengan pelayanan Tune Hotels. Malamnya kami menghibur diri dengan mengunjungi pusat kuliner di Gurney Drive (persiaran Gurney). Pusat jajanan yang dekat dengan Gurney Plaza ini menawarkan aneka makanan khas Penang. Masakan China, Melayu, India, semua ada, dan harganya tidak terlalu mahal. Makanan satu porsi sekitar RM 4-7, atau setara dengan Rp 15.000 – 25.000. Siapa yang pengin mencicipi asam laksa, nasi kandar, rojak, pasembur dan apom? Tulisan saya tentang petualangan kami mencicipi kuliner di Penang bisa dibaca di sini.

Gara-gara Tune Hotels, itinerary yang sudah saya susun jadi berantakan. Karena urung jalan-jalan berburu street art di kota Jumat sore, saya harus membatalkan niat berkunjung ke Penang Hill atau Bukit Bendera. Mending waktunya kami pakai untuk berkeliling kota saja.

Museum Made In Penang
Pagi kami awali dengan mengunjungi museum interaktif yang baru saja dibuka tahun lalu. Museum Made In Penang ini hanya beberapa langkah dari perhentian bus gratis halte no.1 di Pangkalan Weld, Georgetown. Di lantai bawah, kami disuguhi diorama mini kehidupan khas warga Penang. Juga ada diorama besar yang menggambarkan pelabuhan Penang ketika masih dikuasai Inggris, termasuk gedung bersejarah Behn Meyer yang akhirnya dijadikan museum ini.  

Di lantai 2, pengunjung bisa lebih banyak berinteraksi dengan display lukisan 3D yang khas Penang. Konseptor museum ini tahu benar kalau sekarang turis ingin berfoto dan berbagi di media sosial. Bagian terakhir, kami disuguhi film pendek tentang Penang dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris.


Penang Street Art
Belum sah ke Georgetown kalau belum ‘berburu’ street art-nya yang tersebar ke sudut-sudut dan gang-gang kecil. Awalnya, pemkot Penang mengundang beberapa seniman, antara lain Ernest Zacharevic dan Louis Gan dalam satu festival seni. Hasilnya, sampai sekarang berburu street art ini menjadi salah satu daya tarik Penang. Di antara tembok-tembok tua yang tak terurus, lumutan, dengan batu bata yang terekspos, kita bisa menikmati karya mural para seniman yang kadang mengundang senyum.

Musuh dari acara berburu street art ini adalah teriknya matahari Penang. Di siang hari, panasnya luar biasa. Seperti Surabaya, kota ini tidak cocok untuk jalan-jalan di siang hari bolong, ditambah dengan trotoar yang kadang muncul kadang menghilang. Beberapa turis yang berpapasan dengan kami membawa topi lebar dan payung. Ada juga yang jalan-jalan dengan menyewa sepeda. Duh, niat bener.

Saya sudah mengincar beberapa street art yang menarik, dengan mengunduh peta dari sini. Sayangnya kami cuma bisa menemukan beberapa yang berdekatan di Lebuh Chulia: Brother & Sister On A Swing dan Children Playing Basketball. Dari museum, kami berjalan dua blok melewati halte no. 1. Itu pun rasanya sudah mau pingsan saking panasnya. Big A sudah mau nangis dan Si Ayah juga mulai cranky. Untungnya di dekat situ ada kafe yang menjual minuman dingin dan es potong. Setelah berangsur-angsur pulih dari kepanasan, kami bisa jalan kaki lagi dua blok mencari tempat makan siang, masih di Lebuh Chulia.

Mural yang lain kami lihat tanpa sengaja ketika berkeliling kota naik bis gratis 🙂 Berburu street art ini memang sebaiknya dilakukan pagi atau sore hari. Pilih penginapan yang dekat dengan salah satu street art, misalnya di Lebuh Armenian atau Lebuh Ah Quee.


Pantai Batu Ferringhi
Sejak cek out dari Tune Hotels di pagi hari , The Precils sudah puluhan kali menanyakan, “When are we going to the beach?” Mereka memang senang sekali dengan pantai, apalagi setelah diberitahu akan menginap di hotel (beneran) di tepi pantai.

Setelah menuntaskan penasaran (The Emak) melihat street art, kami kembali naik bis gratis dan berhenti di halte no. 11 dekat dengan Tune untuk mengambil tas kami yang dititipkan (dengan membayar RM2 setiap tas). Satu blok dari Tune ada halte untuk naik bis no. 101 menuju pantai Batu Ferringhi. Berempat, kami cukup membayar RM 8,10. Lama perjalanan hampir satu jam karena cukup macet keluar kota George Town. Setelah menyusuri tepi pantai, jalanan kembali lancar. Sebelum Batu Ferringhi, kami melewati kawasan pantai Tanjong Bungah, yang bisa menjadi alternatif untuk wisata pantai. 

The Precils tambah semangat ketika melihat hotel-hotel di sepanjang bibir pantai. Kami turun tepat di halte depan hotel Holiday Inn.

Pantai Batu Ferringhi cukup bersih dan nyaman sebagai tempat bermain-main sambil menunggu matahari terbenam. Meskipun kami datang saat libur Paskah, pantainya tidak terlalu ramai. Saya bisa menemukan spot nyaman untuk menggelar sarung pantai, leyeh-leyeh sambil mengawasi Precils yang membuat istana pasir dan akhirnya nyemplung ke laut. Ombaknya tidak terlalu besar, sehingga tidak perlu pengawasan khusus. Yang senang berpetualang, bisa mencoba parasailing, sewa speedboat atau banana boat. Saya sih cukup melihat-lihat saja.

Anak-anak senang ketemu pantai, Si Ayah senang dapat foto sunset yang bagus. Dan saya senang karena semua senang 😀 Memang itu kan tujuan liburan?

Kami meninggalkan Penang esok harinya dengan taksi eksekutif warna biru, kapok naik limo :p. Sekali lagi kami melewati jalan-jalan di kota George Town, melihat kesibukan warga Penang dan gedung-gedung tua yang memang lebih nyaman dinikmati dari dalam mobil berpendingin udara.

~ The Emak

Baca juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Review Tune Hotels Downtown Penang  
Review Holiday Inn Resort Penang
Mencicipi Kuliner Penang 
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif

Penang With Kids: Itinerary & Budget

Salah satu street art di Penang

Kami jalan-jalan ke Penang (dibaca Pineng), Malaysia alasannya cuma satu: ada penerbangan langsung dari Juanda Surabaya, dengan Air Asia. Selain itu, Penang sebagai pulau terpisah dari mainland Malaysia, mestinya gampang dijelajahi. Pilihan destinasi wisatanya pun komplet: ada wisata kota (seni, sejarah), bukit, kuliner dan pantai.

The Emak berhasil mendapatkan tiket murah nol rupiah SUB – PEN untuk berempat. Tiket promo nol rupiah bukan berarti gak bayar sama sekali ya, kita tetap harus bayar pajak dan surcharge. Kami habis sekitar Rp 2 juta untuk tiket pergi pulang berempat, atau Rp 500 ribu pp per orang. Harga normal Air Asia untuk penerbangan langsung Surabaya – Penang sekitar Rp 750.000 sekali jalan. Lumayan banget kan hematnya?

Tiket sudah di tangan sejak Oktober. Saya nyambi-nyambi membuat itinerary sambil merancang budget dan berburu penginapan. Idealnya, kami akan menginap 1 malam di kota Georgetown dan 1 malam di hotel pinggir pantai di Batu Ferringhi. Dengan begitu kami bisa menikmati semua jenis wisata yang ditawarkan Penang.

Berikut destinasi wisata ramah anak-anak yang bisa dikunjungi di Penang:
– Street art di George Town
– Kuliner
Museum interaktif Made In Penang
– Benteng Cornwallis
– Bukit Bendera (Penang Hill)
– Kuil Kek Lok Si
– Pantai Tanjung Bungah & Batu Ferringhi
– Penang Butterfly Farm

Karena waktu kami terbatas, hanya tiga hari dua malam, jelas tidak bisa memilih semuanya. Ketika saya sudah menyusun itinerary dengan rapi, e ternyata Air Asia mengubah jadwal semena-mena. Tadinya kami terbang Jumat malam dan pulang Minggu malam. Jadwal penerbangan diganti menjadi Jumat pagi dan Minggu siang. Untungnya, jadwal kami bisa dimajukan ke hari Jumat yang bertepatan dengan libur paskah. Kalau nggak, pasti Si Ayah dan Precils bermuka masam karena tidak bisa bolos cuti, bisa-bisa gagal rencana liburan hemat ini.

Pergeseran jadwal ke Easter Long Weekend berpengaruh ke harga penginapan yang saya pesan. Untuk penginapan di kota, saya memang memilih Tune Hotels Downtown Penang karena punya kredit (poin) dari pembatalan ketika akan menginap di Johor Bahru. Sayang banget kalau nggak terpakai, bisa hangus. Untuk hotel tepi pantai, tadinya saya mengincar Hard Rock Hotel. Sejak menginap di kid suite hotel Hard Rock Bali, Little A pengen banget mencoba hotel Hard Rock lainnya. Di Penang, kolam renang HRH ini memang keren banget. Pikir saya, gak papa deh meski tarifnya sedikit mahal, 1,4 – 1,6 juta per malam. Sayangnya, untuk tanggal tersebut, Hard Rock mengharuskan tamu menginap dua malam. Aduh, rencana bermewah-mewah tidak direstui :p

The Emak yang pinter ini segera mencari alternatif tempat menginap lain. Ada beberapa pilihan hotel tepi pantai Batu Ferringhi, antara lain: Bayview Beach Resort (pas ada promo), Parkroyal Penang Resort, dan Holiday Inn Resort. Saya ingat punya poin dari IHG Rewards, keanggotaan hotel dari grup Intercontinental, Crowne Plaza dan tentunya Holiday Inn. Untuk menginap satu malam di Holiday Inn Penang, perlu menukar 20.000 poin. Sedangkan saya baru punya 16.000 ribu poin. Sebenarnya kekurangannya bisa dibayar pake uang, $40. Lumayan juga daripada bayar penuh. Tapi akhirnya saya berakhir mendapat ekstra 4000 poin dari menukar poin kartu kredit Si Ayah. Hehehe, emak-emak banget. Alhasil, berhasil nginep di Holiday Inn Resort gratis!

Konter teksi (limo) di bandara Penang
This is our LIMO 😀 😀

Biaya liburan yang cukup besar setelah penerbangan dan akomodasi adalah transportasi lokal. Di Penang, ada bis gratis yang bisa digunakan untuk keliling kota. Bis ini berhenti di 19 halte yang dekat dengan atraksi wisata. Kami mengandalkan bis ini untuk jalan-jalan di kota. Dari dan ke bandara, kami menggunakan taksi. Di bandara, saya memesan taksi dari konter taksi resmi bandara. Hanya ada satu taksi bandara yang diberi nama Limo. Jangan membayangkan limusin mewah ya. Setelah membayar RM 44,70 kami keluar menuju pangkalan taksi bandara. Ada beberapa mobil taksi putih berjejer-jejer dalam antrean. Giliran kami tiba… yak… limo kami mungkin usianya lebih tua dari saya. Big A rolled her eyes. Little A melongo. Saya tidak bisa berhenti tertawa, just our luck 😀

Untungnya taksi yang membawa kami kembali ke bandara, dari hotel Holiday Inn adalah taksi eksekutif warna biru. Tentu saja sangat nyaman dan tarifnya lebih mahal. Sementara untuk perjalanan dari kota George Town menuju pantai Batu Ferringhi, kami naik bis berbayar.

Anggaran lain tinggal untuk makan, biaya masuk atraksi wisata dan suvenir. Anggaran makan tidak perlu dikhawatirkan karena harga makanan di Penang cukup murah, RM 4-6 per porsi atau sekitar Rp 15 – 25 ribu, mirip dengan di Indonesia. 

Berikut anggaran yang saya susun untuk berlibur ke Penang 3D/2N.

ITEM IDR MYR
Pesawat SUB-PEN pp 4 pax  1,996,000
Airport tax 4x 200.000  800,000
Taxi airport to Tunes hotel 40
Tune hotel Family Room 1 night 179.8
Lunch Day 1 50
Free Bus GeorgeTtown 0
Dinner Day 1 50
Brekky Day 2 40
Bus Komtar to Penang Hill 12
Penang Hill tram 70
Lunch Day 2 50
Bus from Penang Hill to Batu Ferringhi 20
Holiday Inn Resort     0
Dinner Day 2 50
Souvenir 50
Breakfast Day 3 40
Taxi to airport 70
Lunch at Air Asia  150,000
Parkir Juanda  60,000
Sub total MYR 721.8
TOTAL IDR  3,006,000  2,526,300  5,532,300

Ternyata… kami tidak bisa jalan-jalan sesuai itinerary yang sudah disusun rapi. Rencana hari pertama keliling kota berburu street art gagal gara-gara diberi kamar berbau asap rokok yang menyengat oleh Tune Hotels. Duh, mood rusak dan Si Ayah jadi cranky. I tell you what, a cranky husband is worse than cranky kids :p Jadwal berburu street art kami alihkan esok harinya. Kami terpaksa gagal ke Penang Hill di hari kedua. Itinerary kami ganti dengan mengunjungi Museum Made In Penang yang ternyata cukup menarik dan seru (meski mahal). Alhamdulillah, liburan kami berakhir manis dengan menikmati senja yang indah di tepi pantai Batu Ferringhi.

Bis Gratis/Free Shuttle Bus/Bas Percuma
Komtar
Senja di Batu Ferringhi

Total pengeluaran kami selama perjalanan ke Penang 3H/2M ini tidak beda jauh dengan yang dianggarkan. Pengen tahu rinciannya? Boleh kok, syaratnya:

1. Like Facebook atau follow Twitter (@travelingprecil) kami, 
2. Tulis komentar di bawah tulisan ini atau kirim email ke travelingprecils at gmail dot com, berisi akun FB/twitter dan alamat emailmu.

~ The Emak

Catatan: Kurs April 2014
MYR 1 = IDR 3.500

Baca Juga:
Review Tune Hotels Downtown Penang  
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Holiday Inn Resort Penang
Mencicipi Kuliner Penang 
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif  

Miniatur Dari Lego, Kepingan Yang Menakjubkan

Miniatur Angkor Wat, Kamboja

Si Ayah sudah main lego sejak kecil. Koleksi legonya sejak dua puluh tahun yang lalu masih tersimpan rapi dan kerap kami mainkan lagi bersama koleksi lego precils yang baru. Ketika seumuran dengan Big A sekarang, Si Ayah diajak orang tuanya mengunjungi Legoland di Eropa. Gimana nggak bikin ngiri, coba? 😀 Makanya The Emak kekeuh mau ngajak Precils ke Legoland Malaysia, lagian dekat banget kan?

Di Legoland Malaysia, mungkin Si Ayah bernostalgia, asyik sekali mengabadikan miniatur lego dengan kamera mirrorless-nya. Sering, kami sudah beranjak ke bangunan berikutnya, Si Ayah masih asyik di belakang. Tapi hasilnya luar biasa. Berikut galeri hasil jepretan Si Ayah, mengabadikan keping-keping lego yang disusun menjadi bentuk yang menakjubkan.  

Yang mana favoritmu? Enjoy!

Miniatur lego di lobi hotel Legoland
I am your father!
Barongsai
Forbidden City, Tiongkok
Taj Mahal, India
Sultan Abdul Samad building, KL
Downtown KL
Downtown KL
Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin, Brunei
Wat Arun temple, Thailand
You know this one 🙂

Baca juga:
Johor Bahru With Kids: Itinerary & Budget
Ke Legoland Malaysia, Via Changi Atau Senai? 
Review Hotel Legoland
Legoland Themepark & Waterpark, Asyiknya Dobel! 

Legoland Themepark & Waterpark, Asyiknya Dobel!

Kami sebagai keluarga pecinta Lego, langsung sorak-sorak bergembira begitu mendengar kabar Legoland buka di Malaysia. Langsung cepet-cepet masukin ke bucketlist. The Emak dengan sigap mendapatkan tiket pesawat dari Surabaya ke Johor Bahru. Kami tambah senang ketika mendekati hari H, Legoland Water Park juga telah dibuka. Sudah kebayang bakal dobel asyiknya!

Tiket
Tiket ke Legoland memang tidak murah, apalagi untuk pengunjung internasional dari Indonesia. Saya sarankan langsung beli tiket combo: theme park dan water park. Kedua taman yang berdekatan ini bisa dijelajahi dalam satu hari. Kami memesan tiket online di website Legoland agar mendapat diskon 20%. Maksimal dibeli tujuh hari sebelum tanggal kunjungan. Tiket untuk dewasa RM 140 (Rp 500.000), sementara tiket untuk anak-anak (2-11 tahun) RM 112 (Rp 400.000). Warga senior di atas 60 tahun juga mendapat diskon, sama dengan tarif untuk anak-anak. Setelah membeli online dengan kartu kredit, tiket bisa langsung dicetak di rumah dan barcode-nya bisa langsung digunakan masuk ke Legoland, tanpa harus menukar atau antre lagi di loket.

Kalau kita menginap di Hotel Legoland, yang letaknya persis di samping theme park ini, kita bisa mendapatkan tiket combo dua hari dengan hanya membayar tarif untuk satu hari. Lumayan, diskonnya sampai 50% dan bisa main lagi kalau belum puas di hari sebelumnya 🙂

Setelah menginap di emperan bandara Changi dan melewati dua pintu imigrasi, kami sampai di Hotel Legoland jam 11 siang. Hati semangat melihat warna-warni lego, tapi badan udah terasa remuk. Kami istirahat sebentar di hotel, beres-beres dan mandi-mandi. Bersyukur banget bisa cek in awal (thank you, Legoland Hotel!). Si Ayah bahkan sempat mencuri tidur siang. Jam dua belas, tepat ketika matahari sedang terik-teriknya, kami siap jalan-jalan ke Legoland.

Penting diketahui, Legoland itu panas banget! Saya sudah sering membaca di blog para traveler kalau Legoland itu panas, tapi tetap tidak menduga bisa sepanas ini. Sumpah, panas banget! Pohon-pohon yang ditanam tidak mampu meredam panas atau menjadi peneduh, karena daun mereka sendiri banyak yang gosong. Sunblock is essential. Pakai topi lebar dan payung kalau perlu. Juga bawa banyak air minum.

Ada apa di Legoland? 
Atraksi utamanya adalah Miniland, berupa bangunan-bangunan terkenal di Asia yang disusun dari keping-keping lego. Selain itu, Legoland mempunyai beberapa wahana yang dibagi per area: Lego City, Land of Adventure, Imagination, Lego Kingdoms dan Lego Technic. Tidak ketinggalan, beberapa fasilitas seperti kafe dan restoran, toko lego dan suvenir dan surau.

Kali ini, saya membebaskan The Precils untuk menentukan rute dan wahana apa saja yang ingin mereka coba. Masing-masing saya beri peta, untuk didiskusikan. Ada beberapa wahana yang tidak bisa dicoba Little A karena tingginya kurang. Big A yang memilihkan, sebaiknya kami ke area mana. Dengan begini, kerja saya lebih enteng. Big A dan Little A juga lebih senang karena diberi kepercayaan. Memang kami tidak mencoba semua wahana, tapi yang penting anak-anak senang, kan?


Miniland
Saya dan Si Ayah sudah cukup bahagia melihat bangunan-bangunan keren di Miniland. Paling banyak memang miniatur bangunan di Malaysia, termasuk Kuala Lumpur, Putrajaya, Johor Bahru, KLIA dan port Tanjung Pelepas. Baru kemudian ada satu bangunan atau kawasan dari negara-negara lain, seperti daerah Boat Quay di Singapura, Angkor Wat Cambodia, Hoi An Vietnam, Masjid Brunei dan Wat Arun Thailand. Indonesia diwakili oleh miniatur Pura Tanah Lot.   
Yang belum sempat wisata keliling ASEAN bisa foto-foto narsis di sini. Saya yang belum begitu tertarik mengunjungi KL, tidak menyia-nyiakan kesempatan berfoto di depan Menara Petronas (palsu), hahaha.

Dari luar ASEAN, saya hanya menemukan Kota Terlarang Tiongkok dan Taj Mahal India. Tentu saya cepat-cepat menyeret Si Ayah untuk foto berdua saja di depan Taj Mahal ini. Nggak papa-lah foto di depan miniaturnya dulu, hehe.

Meskipun cuma miniatur, bangunan-bangunan ini dibuat dengan saksama. Saya kagum, karena detilnya begitu terlihat. Mereka juga tidak cuma meniru bangunannya saja, tapi bisa menampilkan suasana yang ada di kawasan itu. Misalnya miniatur sudut kota di Vietnam ditampilkan dengan aktifitas orang memancing. Mereka juga memasang rekaman kebisingan di kawasan itu. Karya-karya miniatur ini patut diacungi jempol. Si Ayah sampai punya stok foto makro yang banyak banget. Gallery-nya bisa dilihat di sini.


Restoran dan Kafe
Meski jalannya tidak jauh, cuaca terik membuat kami cepat lapar dan haus. Jangan khawatir, di tiap kawasan ada restoran atau kafenya dengan berbagai macam pilihan. Karena ini di Malaysia, semua makanannya halal 🙂
Kami makan di Market Restaurant yang ada di area Lego City. Dari Legoland Hotel, kami mendapat voucher makan sebesar RM 50, alhamdulillah. Harga makanan di resto ini RM 25 untuk dewasa dan RM 15 untuk anak-anak. Pilihannya banyak, kami memesan nasi ayam, fish & chips dan spaghetti. Rasa makanannya sih biasa saja, nggak istimewa. Sebenarnya, bisa saja kita cari makan di luar. Persis di depan Legoland ada Mall of Medini. Di sana ada beberapa restoran termasuk KFC. Tiket Legoland bisa dipakai keluar masuk seharian pada tanggal yang sama. Harganya jatuhnya bisa lebih murah daripada makan di dalam. Untuk makan malam, kami makan nasi ayam di salah satu restorannya dan habis RM 50 berempat. Rasanya lebih enak dan porsinya lebih besar 🙂 Tapi di resto di dalam sini, kita juga dapat hiburan band yang nyanyi live di meja kita. Ketika melihat ada penyanyi yang sedang beraksi di meja lain, Big A ketakutan dan pengen segera menyelesaikan makanannya. Dia nggak pengen dengar orang nyanyi, padahal Emaknya sudah siap-siap request lagu cover “Let It Go”, hehehe.

Selain di market restaurant, kita juga bisa makan di resto atau kafe lain di tiap area. Menu dan harganya bisa cek langsung di website Legoland.

Wahana
Tinggi Little A belum mencapai 100 cm, sehingga tidak punya banyak pilihan permainan. Salah satu yang mencuri hatinya adalah wahana Driving School. Little A awalnya masih ragu mengemudikan mobilnya. Tapi begitu mulai mengerti cara kerjanya, dia seneng banget dan mulai ngebut, melewati precil-precil lainnya, hahaha. Para orang tua yang menyemangati dari balik pagar tidak kalah ributnya. Macam balapan Formula 1 saja 😀

Selain Driving School, kami juga senang mencoba menjadi pemadam kebakaran. Di wahana ini, empat keluarga akan berlomba menyetir mobil bomba (fire engine) mereka, memadamkan api (pura-pura) dengan air dan mengembalikan mobil ke garasi. Wah, lumayan menguras keringat. Kami cukup puas jadi juara dua. 


Meski tinggi Big A mencukupi untuk mencoba seluruh permainan, dia tidak mau melakukannya. Saya bujuk-bujuk sedikit biar tidak rugi sudah bayar tiket mahal-mahal, tapi sepertinya tidak mempan :p Big A lebih semangat mencarikan wahana untuk adiknya. The Precils dan ayahnya sempat naik pesawat terbang yang menurut saya cuma segitu aja, sama sekali nggak menantang.

Sementara, Little A Si Princess senang bisa mencoba naik poni di Lego Kingdoms, meskipun cuma jalan memutar dan jungkat-jungkit sedikit. Wahana yang lumayan menantang setara roller coaster adalah The Dragon di Lego Kingdoms, Project X di Lego Technic dan Dino Island di Land of Adventure. Sayangnya, yang terakhir ini sedang dalam perbaikan ketika kami ke sana.

Di Lego Academy, kita bisa belajar membuat robot. Setiap sesi workshop gratis ini sekitar 1 jam. Sebenarnya Si Ayah pengen banget ikut ini, tapi waktunya nggak cukup. Sudah sore dan kami belum ke waterpark. Kalau memang pengin ikut workshop ini, sebaiknya cek jadwal dan mendaftar sejak pagi biar dapat tempat dan bisa menyesuaikan waktu untuk main di tempat lain.

Setelah lumayan capek berkeliling, kami istirahat sambil window shopping di toko-toko yang ada di sini: The Big Shop dan The Brick Shop. Setelah itu kami sholat di surau yang cukup bersih dan nyaman. Surau dipisah untuk laki-laki dan perempuan. Setelah lumayan segar, kami melanjutkan petualang di Waterpark.

Waterpark
Waterpark Legoland letaknya persis di sebelah theme park-nya, dengan gate terpisah. Tiket waterpark juga bisa dibeli terpisah, tapi jauh lebih murah kalau beli tiket combo digabung dengan tiket theme park.

Area waterpark tidak begitu besar, namun cukup segar dilihat, dengan desain warna-warna cerah. Begitu melihat air, kami pengen cepet-cepet nyemplung. Kami cepat-cepat ganti baju renang dan menyimpan semua barang di loker. Sewa loker tarifnya RM 20. Saya sudah tidak peduli foto-foto atau update status lagi. Saatnya bersenang-senang!

Ada dua belas wahana di waterpark. Yang paling menyenangkan adalah Build-A-Raft River. Semacam lazy river gitu lah kalau di waterbom. Bedanya, di sini kita bisa membangun rakit dari ban dengan keping-keping lego raksasa yang ikut berenang di sungai. Saya sih pengennya leyeh-leyeh saja, nggak sempat membangun-bangun. Keping-keping dari karet itu saya lempar-lemparkan ke Big A yang membuat dia merengut 😀 Tidak puas hanya satu putaran, kami mencoba lazy river berkali-kali, dengan ban berbeda-beda. Yang saya senang di sini, ada jaket pelampung kecil yang bisa dipakai Little A. Semua fasilitas di sini sudah termasuk di tiket masuk, tidak perlu membayar apa-apa lagi. Ban pelampung dan life jacket tersedia banyak.

Sayangnya, ketika kami ke sini, wahana Joaker Soaker yang ada ember tumpahnya sedang diperbaiki. Alhasil, Little A hanya bisa bermain di kolam dan seluncuran kecil di Duplo Splash Safari. Bosan dengan seluncuran mini, kami beralih ke kolam ombak. The precils betah banget di sini, sementara saya bosan karena ombaknya kecil banget. Kami iseng-iseng mencoba seluncuran Red Rush, yang bisa dipakai bareng-bareng berempat dengan ban. Sebenarnya batas tinggi minimalnya 102 cm. Untungnya penjaga tetap mengizinkan Little A untuk ikut. Tidak terlalu menantang, tapi lumayanlah. 

Seperti biasa, saya membujuk Big A untuk mencoba seluncuran lain. Tapi karena adiknya belum boleh, Big A juga tidak mau. Ya sudahlah, asal mereka senang aja. Kami teruskan bermain-main air sampai waterpark tutup jam enam sore.



Ruang bilas penuh sesak jam enam sore. Ada saluran mampet yang membuat air meluber ke lantai. Di dalam ruang bilas juga tidak ada keset yang membuat lantainya licin banget. Setelah sukses berganti baju, saya sempatkan menengok kios foto, siapa tahu ada foto keluarga yang cakep pas kami meluncur. Ternyata, saudara-saudara, harga fotonya mahal banget, per paket RM 150 atau lebih dari Rp 500 ribu. Entah saya yang salah lihat atau gimana, tapi kalau harus beli foto seharga Rp 500 ribu, saya masih nggak rela.

Mending uangnya dibelikan Lego, ya kan? Esok harinya sebelum mengejar pesawat di Senai airport, kami sempatkan belanja di bazar Lego di depan gerbang. Lumayan untuk oleh-oleh. Kenangan di waterpark, biar kami ingat di dalam hati saja 🙂

Kami mendapat pengalaman liburan yang menyenangkan di Legoland. Kami masih mau ke sini lagi kalau sepupu-sepupu Precils udah siap diajak main. Semoga nanti pohon-pohonnya lebih rindang, dan Little A jauh lebih tinggi.

Bye for now.

~ The Emak

Note:
Kurs per April 2014
MYR 1 = IDR 3.570

Baca juga:
Johor Bahru With Kids: Itinerary & Budget
Ke Legoland Malaysia, Via Changi Atau Senai? 
Review Hotel Legoland
Galeri: Foto-foto Miniatur dari Lego

Review Hotel Legoland: Menginap di Kastil Impian

“Aku nggak mau cuma nginep. Aku mau jadiin rumah,” kata Little A, mengungkapkan kesan jujur setelah menginap di Hotel Legoland Malaysia.

Kami diundang pihak Legoland untuk menginap semalam di hotel tematik ini. The Precils (dan Emaknya) kegirangan. Memang sudah lama kami bermimpi menginap di sini. Bolak-balik Emak mampir ke wesbite Legoland, sejak rencana hotel dibangun, sampai kemudian diresmikan Januari lalu. Kami bela-belain datang ke Johor Bahru dari Singapura, tidur di emperan bandara Changi, menempuh hampir tiga jam perjalanan darat dan melewati dua imigrasi. Rencana kami semula terbang langsung dari SUB ke JHB gagal gara-gara meletusnya Kelud. Tapi, capek-capek langsung hilang begitu taksi yang kami tumpangi dari JB Sentral melewati tikungan terakhir. Tampak hotel Legoland dengan warna-warna cerah menyambut kami. Kastil megah yang terlihat seperti lego mainan, hanya saja ini beneran. Whoaaaa, sebentar lagi, impian kami jadi kenyataan…

Lobi
Kesan lego-wi mulai tampak dari depan hotel, dan berlanjut sampai lobi. Sabtu pagi itu lobi ramai sekali, penuh dengan anak-anak (dan orang tua berjiwa kanak-kanak) pecinta Lego. Kami harus antre untuk cek in. Tapi nggak masalah, Little A langsung sibuk bermain-main di kolam berisi keping-keping Lego. Bricks…bricks… are everywhere. Mel dari PR Legoland menyambut kami dengan goody bag berisi tiket combo Legoland untuk keluarga, voucher makan, press kit dan merchandise. Senyum The Emak tambah lebar :))

Resepsionis dihias dengan 12.528 Lego mini figures yang berbeda. Tapi Big A berhasil menunjukkan pada saya, ada setidaknya sepasang yang sama persis, dan ada satu spot yang kosong alias hilang. Duh, saya juga gemes pengen nyomot satu (atau beberapa) untuk dibawa pulang 😀 Di dinding resepsionis ada sepeda yang digantung dan bisa jalan sendiri, yang ternyata rodanya dijadikan kaca pembesar agar kita bisa mengamati mini figure kecil-kecil itu. Cakep ya?

Proses cek in cepat banget karena kami sudah terdaftar. Mereka hanya minta deposit RM 300 dari kartu kredit untuk ‘pengeluaran yang tidak terduga’ alias kalau tamunya maling sesuatu, hehe. Kami juga boleh early check in, padahal baru jam 11 siang. Cek in resmi jam 4 sore. Kami mendapat kamar bajak laut di lantai satu. Begitu dapat kunci, kami langsung lari ke lift. Let’s be pirates!

Antre cek in di Lobi
Resepsionis
12.528 mini fugures. kami nggak hitung sih 🙂

Pirate Theme Room
Di kamar kami, bajak laut ada di mana-mana. Mulai dari kasur, dinding, lantai sampai kamar mandi. Precils mendapat kasur yang mereka idam-idamkan: bunk bed alias ranjang susun. Sebenarnya masih ada satu extra, trundle bed yang bisa ditarik di bawah bunk bed. Kamar standar ini muat untuk dua dewasa dan sampai tiga anak.

The Emak juga senang dapat kasur king size di ruang terpisah dari Precils 😉 Dua ruangan ini dipisahkan oleh pintu geser. Masing-masing ruang punya televisi sendiri, jadi nonton HBO nggak perlu rebutan dengan Nickelodeon. Kamar juga dilengkapi amenities standar: pembuat kopi/teh, brankas, mini fridge, toiletries, dan hair dryer (juga berguna untuk mengeringkan baju renang yang basah).

Yang membuat saya terkesan: mereka menyediakan dua wastafel di kamar mandi, satu dengan ukuran anak-anak. Little A tertawa bahagia. “How do they know my size? From your blog, Mom?” Acara cuci tangan dan sikat gigi nggak pakai huru-hara.

Hurray for bunk bed!
Pintu gesernya bisa ditutup rapat. Ehem.
Perawan di sarang penyamun :p

Aktivitas untuk anak-anak juga disediakan di kamar. Tiap kamar diberi satu peti harta karun. Untuk membukanya, anak-anak (atau ortunya) perlu memecahkan teka-teki yang disediakan. Kalau jawabannya benar, mereka akan mendapatkan nomor kode untuk membuka peti. Big A memecahkan puzzle ini dalam sekejap. Mereka memekik histeris menemukan treasure si raja monyet: Lego friends picnic series, gantungan kunci, pensil, penggaris, kartupos, dan magnet kulkas. Yay!   

Selain isi treasure box sebagai souvenir, anak-anak juga dipinjami satu kotak mainan lego. Yang ada di kamar kami adalah box hijau lego duplo, kurang begitu menantang bagi Little A. Dia lebih sibuk bermain pirate tic-tac-toe.

Sementara Precils sibuk menjelajah kamar bajak laut ini, saya tinggal mandi nyaman di pancuran air panas. Di mana Si Ayah? Seperti biasa, langsung terbang ke alam mimpi begitu ketemu bantal 😀


Monkey King treasure box
Big A solved this puzzle in a flash
Kid size wastafel

Brekky Party
Sarapan pagi prasmanan di hotel termasuk acara yang saya tunggu-tunggu. Ya itu tadi: prasmanan alias buffet, boleh ambil sepuasnya, hehe. Tarif menginap di hotel legoland sudah termasuk sarapan untuk sekeluarga. Restoran Bricks yang melayani sarapan buka jam 7 pagi. Tapi, seperti biasa kalau tidur di hotel yang terlalu nyaman, anak-anak pasti bangun kesiangan. Kami baru sampai di resto jam 8.30. 

Suasana restoran ramai sekali, penuh dengan keluarga dari berbagai bangsa. Saya senang dengan dekorasi restoran yang cerah ceria dengan warna-warna primer ini. Karakter Lego ada di mana-mana. Setelah mendapat meja di tempat strategis, saya mulai bergerilya cari makanan. Pilihannya banyak sekali, jadi bingung, dan tentu saja jadi ingin mencoba semuanya :p

Precils yang berlidah bule langsung minta roti. Untungnya rotinya enak, bukan cuma roti tawar putih, melainkan dari wholeweat. Selai dan menteganya juga enak, dari New Zealand. Roti panggang mereka saya lengkapi dengan irisan daging kalkun dan salami. Setelah masing-masing habis satu tangkup, Big A masih pingin hash brown, dan Little A masih doyan lamb shank. Ditambah sepiring buah-buahan dan segelas jus apel dan jeruk, saya memastikan anak-anak sarapan sehat dan kenyang sampai siang.

Berbeda dengan Precils, Si Ayah nggak akan merasa kenyang kalau belum makan nasi. Hotel di Asia, gampang lah cari nasi. Resto ini sedia nasi lemak atau nasi goreng (tanpa kecap manis, duh). Saya lihat di piring Si Ayah, semua lauk ada di sana, haha. Giliran The Emak, saya mengambil satu mangkuk tom yum sebagai sarapan pembuka, haha. “Wow, what a healthy choice,” sindir Si Ayah. Sayangnya, kuah tom yum ini kurang YUM, kurang nendang. Saya lalu memutuskan untuk mencicipi SEMUA-nya sedikit-sedikit. Kan mau ditulis di review, ya kan, ya kan?

Ternyata di resto Bricks ini, masakan Malaysianya biasa saja, malah masakan Indianya yang lebih lezat. Nasi lemak, nasi goreng, mie gorengnya biasa saja. Tapi roti chappati, kare daging dan lamb shank-nya mantab. Di teras resto dengan pemandangan Legoland dari atas, ada egg station. Pengunjung boleh memilih telurnya dimasak seperti apa. Kami tidak mencoba karena Little A alergi telur. Tapi saya sempat mencicipi pancake-nya yang yummy dan sedap. Yang juga enak di sini adalah pastry-nya. Mini danish yang baru keluar dari oven harum banget, menggoda minta dicicipi. 

Play, Swim and… Disco!
Menginap di Hotel Legoland bukan cuma perkara menginap saja. Di sini sebenarnya tempat bermain, yang ada kamar-kamarnya 🙂 Selain lobi yang dihiasi oleh kastil dan perahu bajak laut dengan lautan keping-keping lego, ada juga tempat bermain (lego, tentu saja) di depan restoran. Di sini, anak-anak bebas menyusun kepingan lego sesuai imajinasi mereka. Di sebelah tempat main ini dipamerkan gedung-gedung pencakar langit yang lebih tinggi daripada Little A.

Di dekat lobi, ada kios kecil yang menjual souvenir dan barang-barang kebutuhan dasar seperti shampo dan sabun. Kios yang bisa diakses oleh pengunjung umum ini sebagai alternatif kalau lupa membeli oleh-oleh di toko di dalam Legoland. Harganya sih sama… mahalnya :p

Jangan lupa hotel ini juga punya kolam renang! Kolam renangnya ada di lantai lima. Dari sini kita juga bisa melihat pemandangan Legoland dari atas. Kami masih punya waktu 45 menit sebelum cek out jam 11 siang untuk singgah ke kolam ini. Sepi banget! Nggak ada seorang pengunjung pun kecuali dua lifeguard yang nganggur. Mungkin karena sudah bersenang-senang di waterpark, jadi nggak merasa perlu lagi berenang di sini.

Tapi lain dengan Little A. Di mana saja, nggak bisa lihat air nganggur. Dia tetap minta berenang. Saya tergopoh-gopoh mengambilkan dan memakaikan baju renang sebelum akhirnya dia nyemplung. Ada kolam anak-anak yang dalamnya cuma 60 cm, sehingga kami tidak perlu ikut nyemplung. Lagipula, buat apa ada lifeguard?

Jam 11, kami harus cek out dan say goodbye pada hotel keren ini. Tapi, masih ada satu lagi yang bisa dilakukan: disco! Mereka menyulap setiap lift di hotel ini menjadi disco booth. The Emak senang banget naik turun lift. Tapi ternyata, nggak cuma saya kok. Setiap tamu yang ikut masuk lift bersama kami, juga ikut bergoyang mendengarkan lagu-lagu upbeat ABBA. Minimal goyang-goyang kepala lah.

Ini video amatir The Emak tentang disco lift. Sorry, lupa menidurkan kamera, hahaha.

 

Pilih Imajinasimu!
Proses cek out ekspress banget. Kami tinggal menyerahkan kartu kunci kamar. Beres! Di lobi, kami bertemu Faeza. Saya memintanya untuk menemani kami melihat-lihat tipe kamar yang lain. Penasaran banget sama Kingdom Suite. 

Karena kami sudah menginap di Pirate Theme, kami diajak melihat-lihat kamar dengan tema Adventure dan Kingdom. Di kamar Adventure banyak dekorasi dengan tema petualangan Mesir. Untuk keluarga besar, mereka juga punya kamar Pirate Deluxe yang bisa diisi sampai delapan orang. Bedanya dengan Theme Room biasa, kamar deluxe ini punya dua set bunk bed, jadi muat untuk enam orang, plus satu king bed untuk dua orang.  Yang paling mewah adalah kamar Kingdom Suite, bisa muat untuk delapan orang. Selain dua bunk bed seperti di tipe Deluxe, kamar ini dilengkapi dengan dua kamar mandi, salah satunya dengan bak mandi. Kamar suite dilengkapi ruang keluarga dengan TV dan sofa, serta meja makan di sebelahnya. Terletak di lantai tujuh, view dari Kingdom Suite ini keren banget, Legoland bisa terlihat jelas dari jendela kacanya yang gedhe banget. Benar-benar idaman deh nginep di sini, serasa keluarga kerajaan, haha. 

Saya tanyakan ke Faeza, kenapa nggak ada tema Princess? Kan cewek-cewek pengin juga nginep di kastil cantik. Jawabnya: “We’re working on it.” Moga-moga kami diundang lagi begitu Princess room-nya siap 😉

Adventure Theme Room
Kingdom Suite

Berapa sih tarif semalam nginep di Hotel Legoland? Mungkin itu pertanyaan yang muncul dari tadi, atau yang jadi alasan membaca tulisan ini 🙂 Tarif hotel ini sangat tergantung tanggal, ketersediaan dan tipe kamar. Semua bisa dilihat di website-nya langsung. Biasanya tarif malam Minggu atau hari Libur Nasional yang paling mahal. Malam Sabtu juga sedikit lebih mahal daripada hari kerja. Kalau mau murah sih, hindari hari-hari libur sekolah, terutama Juni-Juli dan akhir pekan. Tapi repot ya, kalau harus bolos sekolah, hehe. 

Contoh tarif bulan Juli 2014

Dari menu online, kita juga bisa membeli paket hotel dengan tiket legoland, harga satu hari bisa dipakai untuk dua hari. Oh, iya, semua tarif sudah termasuk sarapan di Bricks Family Restaurant. Kalau dilihat sekilas sih, lebih mahal daripada hotel biasa. Tarifnya mirip dengan kamar kid suite di Hard Rock Bali. Kalau diukur dari pengalaman yang didapat, nilainya sepadan. Nginep di sini cocoknya dijadikan hadiah spesial untuk anak-anak. Kadang, membelikan pengalaman, berkesannya lebih lama daripada membelikan gadget atau mainan.
 
Kalau memang berencana nginep sini, dan nggak harus di tanggal tertentu, pantengin saja website-nya. Kadang, ada promo dari hotel, seperti flash promo untuk low season kali ini: setiap menginap di Hotel Legoland, anak-anak mendapat gratis tiket combo Legoland. Cuma sampai 14 Maret 2014.

Yang belum sempat nginep, sebenarnya bisa main-main dan foto-foto di lobi. Masuk aja via lift yang ada di depan patung Lego penjaga, dari LG2 ke lantai G. Di lobi juga ada kios yang menjual souvenir, kalau saja ada yang lupa terbeli, tapi udah terlanjur keluar dari Legoland Themepark.

Thank you Legoland Malaysia for inviting us, we had a great time here. Sampai-sampai, kepergian kami dari hotel menuju bandara Senai diiringi tangisan Little A. Dia nggak mau pulang. “I want to stay here,” isaknya. “Me too, Darling, me too.”

Disclaimer:
This is a sponsored post. Traveling Precils’ family were given a free night stay at Legoland Hotel. 
But all opinions expressed by me are 100% authentic and written in my own words.

~ The Emak

Baca Juga:
Johor Bahru With Kids: Itinerary & Budget
Ke Legoland Malaysia, Via Changi Atau Senai?  
Legoland Themepark & Waterpark, Asyiknya Dobel!
Galeri: Foto-foto Miniatur dari Lego

Ke Legoland Malaysia, Via Changi Atau Senai?


Tadinya, untuk liburan ke Legoland, kami akan terbang langsung dari bandara Juanda Surabaya ke Senai Airport, Johor Bahru, dengan Air Asia. Apalagi The Emak sudah sukses mendapatkan tiket 0 rupiah setahun sebelumnya *bangga mode on*. Tapi ternyata jadwal keberangkatan kami bertepatan dengan meletusnya Gunung Kelud. Hujan abu vulkanik membuat bandar Juanda ditutup dan semua penerbangan dibatalkan. Saya terpaksa mengatur ulang rencana jalan-jalan ke Legoland. Kali ini kami akan terbang ke Changi Airport, Singapura.

Bentar, sebelum lanjut, di mana sih Johor Bahru ini? Coba kita ingat pelajaran geografi, atau… yang lebih gampang sih buka Google Map aja 🙂 Johor Bahru adalah kota paling selatan di semenanjung Malaysia, berbatasan dengan Singapura, hanya dipisahkan oleh selat Johor. Legoland terletak 35 km dari kota (JB Sentral), bisa ditempuh sekitar 30 menit dengan taksi.


Turis Indonesia punya dua pilihan: ke Legoland via Senai Airport atau Changi Airport. Dari bandara Senai menuju Legoland cuma perlu 35 menit via tol, dengan taksi. Sementara dari bandara Changi, perlu sekitar 2-3 jam, tergantung traffic, dengan naik bus, taksi atau shuttle. Sementara kalau transit di Kuala Lumpur, lebih lama lagi, perlu 4 jam jalan darat, atau 50 menit naik pesawat ke Senai.

Dari Indonesia, hanya Jakarta, Surabaya dan Bandung yang punya penerbangan langsung ke Johor Bahru, dilayani Air Asia. Sementara kota lain seperti Jogja, Solo atau Semarang, hanya bisa ke Johor via Singapore.

Menginap di Bandara Changi
Saya dapat tiket murah Tiger Air Mandala untuk rute SUB – SIN, berangkat Jumat jam 9.45 malam. Sengaja saya pilih jadwal ini agar Si Ayah dan Precils tidak perlu bolos cuti sekolah. Dengan perjalanan sekitar 2 jam, kami akan sampai di Changi pukul satu dini hari. Lha terus, tidur di mana? Ya tidur di Changi lah.

Big A ketakutan mendengar rencana saya tidur di bandara Changi. 
Are we allowed to sleep in the airport?” tanya Big A.
Well, actually, no,” jawab saya. “But, no worries, Changi is the best airport in the world. It should be easy to find somewhere comfy to sleep.”

Ibu Mertua saya pun mengira kami akan menginap semalam di hotel di Changi. No, Mom, nginep di emperan Changi, bukan hotel 😀 Rugi banget kan cek in jam 1 dan harus cek out lagi jam 7 pagi. Apalagi tarif akomodasi apapun di Singapura tidak murah.

Saya mulai bergerilya mencari-cari blog pengalaman orang-orang gila yang pernah tidur di Changi. Rata-rata mereka ini dapat penerbangan tengah malam atau transit. Sebenarnya kalau kita punya tiket lanjutan penerbangan, gampang saja istirahat di dalam area transit. Lantai di dalam bandara sebelum pemeriksaan imigrasi berkarpet semua. Jadi tinggal cari spot yang enak dan gelar tiker, hehe. Masih menurut beberapa blog, kira-kira jam 3 pagi akan ada petugas bandara yang ronda patroli memeriksa paspor dan tiket. Bagi yang tidak punya tiket lanjutan akan diusir keluar lewat loket imigrasi terdekat.

Big A takut diperiksa, apalagi diusir. Jadi kami langsung ke loket imigrasi begitu turun dari pesawat di terminal 2. Setelah paspor dicap, saya cari-cari tempat strategis untuk tidur. Mata saya menemukan sofa warna-warni di depan konter lost & found, setelah ban berjalan pengambilan bagasi. Di situ juga sudah ada teman seperjuangan yang mencoba meliuk-liukkan tubuh biar bisa tidur nyenyak :p Akhirnya kami memilih beristirahat di sofa yang ada pembatasnya itu. Tentu pembatas ini dibuat agar pengunjung susah tidur. Tega bener deh.

Little A beruntung, dengan badannya yang mini, dia bisa rebahan dengan nyaman di sofa. Tidur pulas sampai pagi. Sementara saya, Big A dan Si Ayah berjuang keras untuk bisa tidur. Saya sudah membawa peralatan perang: bantal, pashmina dan sarung bali untuk selimut dan tutup muka. Jangan lupa pakai jaket tebal dan kaos kaki karena AC di Changi dingin banget.

Saya perhatikan kanan kiri, posisi yang paling enak (dan paling canggih) adalah meletakkan kepala dan separuh badan di sofa, dengan kaki terjulur di troli koper. Kami yang masih amatir, berhasil juga tidur di bandara sampai jam enam pagi. Ada toilet di dekat kami yang bisa digunakan untuk cuci muka, sikat gigi dan minum. Mandi? Kemarin kan sudah 😀

Jam setengah tujuh kami keluar melewati custom dan menuju Mc Donalds untuk sarapan. Jam segitu Mc D sudah ramai banget. Saya pernah baca di blog Takdos kalau dia menyarankan kita tidur di sofa Mc D. Itu kalau kebagian tempat ya. Memang sofanya cukup nyaman untuk tidur, tanpa pembatas. Kita cuma perlu beli sesuatu di restonya. Pagi itu kami melihat dua pasang backpacker yang masih tidur pulas di sofa, nggak peduli sekitarnya yang sibuk. Mc D memang bisa jadi alternatif untuk tidur. Tapi kalau nggak dapat tempat di sini, kita bakalan susah cari tempat lain untuk tidur karena lantainya tidak berkarpet, dan bangku-bangku yang tersedia cuma bangku plastik dan terpisah, seperti bangku di ruang tunggu di Indonesia.

Little A, sleeps like a boss
Sofa di Mc D Terminal 2

Free Shuttle Bus Changi – Johor Bahru
Saya baru tahu dari forum Tripadvisor, kalau naik Tiger Air (dan kabarnya Jetstar juga), kita bisa dapat free transfer alias bus gratis dari Changi ke Johor, atau arah sebaliknya. Kita tinggal mencetak voucher atau kupon yang bisa diunduh dari website, diisi identitas kita, sertakan boarding pass Tiger Air, dan serahkan ke sopir bus. Penumpang maskapai lain juga boleh naik bus Transtar dengan rute TS1 ini, tarifnya SGD 7 untuk dewasa dan SGD 3,5 untuk anak-anak. Bus ini ada di Bay 9, di luar Terminal 2 dekat counter Singapore Stopover SQ. Cek jadwal dan rute bus di sini.

Saya rasa bus TS1 ini pilihan transportasi terbaik dari bandara Changi ke Johor Bahru, paling tidak repot dan paling murah (apalagi kalau bisa gratis). Alternatif lain untuk yang berangkat dari kota:

1. Naik MRT/bus ke Singapore Flyers (dekat MRT Promenade). Ada WTS Travel yang melayani shuttle langsung ke Legoland. Tarif SGD 20 per orang. 
Harus booking terlebih dahulu di sini.

2. Naik MRT/bus ke Queen St Bus Terminal (dekat MRT Bugis), lanjut naik bus SBS 170 atau bus express CW2 atau taksi ke JB Sentral.

3. Naik MRT ke Kranji, lalu naik bus SBS 160 atau 170, atau CW1 ke JB Sentral.

Kalau memang ke Legoland-nya sekalian dengan liburan ke Singapore, misalnya ke Universal Studio, Tune hotel Johor Bahru menyediakan shuttle dari hotel mereka di Danga Bay ke Universal Studio. Keuntungan naik taksi, limo atau shuttle: kita tidak perlu turun dari kendaraan untuk pemeriksaan imigrasi. Stempel paspor bisa kita dapatkan lewat loket seperti loket bayar parkir di Indonesia. Karena itu harganya jauh lebih mahal daripada bus 🙂

Wajah-wajah zombie menunggu bus

Dua check point
Kami naik bus pertama TS 1 yang berangkat jam 8.15 pagi. Jadwal bus ada tiap jam setelah itu. Bus menjemput penumpang di terminal 3 dan terminal 1, kemudian lanjut menuju Woodlands cek point. Dari Singapura, kami melewati dua kali cek point: satu di Woodlands, sebelum jembatan Selat Johor, untuk stempel keluar dari Singapura, dan satu lagi di CIQ (Custom, Immigration & Quarantine) JB Sentral untuk stempel masuk Malaysia. 

Bus yang kami tumpangi nyaman dan sepi penumpang. Tapi perlu waktu sekitar satu jam untuk sampai di perbatasan. Di Woodlands, kami harus turun dan membawa semua tas, dan masuk ke gedung imigrasi yang dalamnya seperti pemeriksaan paspor di bandara. Kami harus cepat-cepat di sini karena bus hanya menunggu sekitar 15 menit. Begitu paspor selesai distempel, kami bergegas turun dari gedung dan mencari bus yang tadi kami tumpangi. 

Big A senyum-senyum ketika bus melaju melewati perbatasan. “Bentar lagi sampai Malaysia,” bisik saya. Ketika anak-anak seumuran dia senang mengoleksi aksesoris atau stationery, Big A pengennya mengoleksi negara. Malaysia adalah negara kelima yang dia koleksi kunjungi. 

Nggak sampai sepuluh menit kami sudah diturunkan oleh bus di gedung imigrasi Johor Bahru. Kami ikuti arus orang-orang yang naik ke gedung dan antre untuk diperiksa paspornya. Antrean cukup panjang, tapi bergerak cepat. Saya harus selalu menggendong Little A ketika paspornya diperiksa, agar petugas bisa mencocokkan foto dan wajah aslinya.

menuju cek point Johor Bahru
Pemeriksaan Imigresen

Taksi dari JB Sentral ke Legoland
Lolos dari pemeriksaan imigrasi, kami kembali ikuti arus orang-orang yang keluar dari gedung besar ini. Saya menemukan tanda pangkalan taksi dan bus. Sebelumnya, kami perlu menukar uang dan membeli air minum dulu karena haus banget, belum minum dalam dua jam perjalanan panjang dari Changi airport ke JB sentral. Di depan pintu keluar, banyak orang menawarkan taksi, mirip-mirip di stasiun Gubeng lah 😀 Kami terus saja berjalan dan menemukan pangkalan taksi resmi. Saya memesan dari situ dan membayar RM 35 untuk sampai ke Legoland. Just our luck, kami kebagian taksi butut. Untung sopirnya baik, romantis pula. Namanya Pak Cik Zul dan nama pacarnya Yati. Kok kami bisa tahu? Karena dia pasang Zul lope Yati di dashboard-nya, hahaha.

Perjalanan dari JB Sentral menuju Legoland cuma perlu 30 menit lewat highway. Si Ayah tanya, orang-orang yang nawarin taksi di pintu keluar tadi siapa? Kata Zul, mereka sopir taksi gelap dan suka ‘memeras’ penumpang. Saya juga beberapa kali membaca pengalaman tidak mengenakkan dengan taksi Malaysia di blog-blog traveling. Memang lebih baik pesan taksi resmi dari konter.

Di tikungan terakhir sebelum Legoland, kami bisa melihat hotel Lego dengan warna-warna cerah, tampak seperti bangunan yang terbuat dari potongan Lego. Mata Big A dan Little A membelalak, mereka memekik gembira, lupa capeknya tidur di bandara dan dua setengah jam menuju ke sini.

Pangkalan Teksi
Pak Cik Zul

Dari Legoland ke Senai Airport
Kalau naik pesawat langsung menuju Senai Airport, urusannya lebih mudah. Selain cukup lewat satu pintu imigrasi, menuju Legoland juga lebih cepat, hanya sekitar 30-40 menit dengan taksi.

Kami pulang kembali ke Surabaya dengan Air Asia dari Senai airport, Johor Bahru. Jadwal penerbangan kami Minggu jam 2.40 sore. Kami memesan taksi lewat concierge hotel Legoland, dan berangkat ke bandara jam 12.30.Kali ini, taksi menggunakan meter/argo. Pak sopir taksinya ceriwis sekali dan punya cerita macam-macam. Katanya, taksi merah (seperti yang kami tumpangi dari JB Sentral) dilarang ‘ngetem’ di Legoland, karena mereka tidak mau memakai argo dan sering menipu penumpang. Di Legoland hanya ada taksi eksekutif warna biru. Meski tarifnya premium, taksi ini tertib menggunakan argo dan tidak meminta ongkos tambahan. Kalau tidak memesan taksi dari hotel, ada pangkalan taksi biru di depan Mal of Medini, persis di sebelah Legoland Theme Park. Tarif taksi biru dari Legoland, sampai ke bandara Senai RM 90, termasuk bayar tol dua ringgit. Jalan tol yang kami lalui lancar jaya, nyaris nggak ada mobil lain. 

Kalau mau mampir belanja, JPO (Johor Premium Outlet) letaknya lima menit sebelum bandara. Kata Pak sopir taksi ini, dia bersedia melipir sebentar, sekedar foto-foto di depan JPO untuk update status facebook, hahaha. Makasih Pak Cik, lain kali saja.

Senai airport, Johor Bahru
Air Asia di Senai airport, Johor Bahru

Kalau boleh memilih, untuk ke Legoland, saya lebih senang direct flight ke Senai airport. Asalkan harga tiketnya murah ya. Kalau pengen akomodasi yang murah juga, bisa menginap di Tune hotel Danga Bay, sekalian naik shuttle mereka ke Legoland, RM 15 pp per orang. Shuttle Tune hotel ini akan mengantar kita di pagi hari, jam 9.30 dan menjemput di sore hari setelah Legoland tutup. Kalau terpaksa lewat Changi, sebaiknya menginap dua malam di JB biar nggak capek-capek banget. Atau, alternatifnya, jalan-jalan Legoland digabung dengan jalan-jalan ke Singapore, tidak cuma weekend getaway aja.

~ The Emak 
Follow @TravelingPrecil
Catatan:
Kurs Maret 2014
SGD 1 = IDR 9434
MYR 1 = IDR 3712

Baca juga:  
Johor Bahru With Kids: Itineray & Budget
Review Hotel Legoland 
Legoland Themepark & Waterpark, Asyiknya Dobel! 
Galeri: Foto-foto Miniatur dari Lego  

Johor Bahru With Kids: Itinerary & Budget

The Precils (dan ortunya) fans berat Lego. Begitu tahu Legoland Theme Park Malaysia (pertama di Asia) buka di Johor Bahru, saya langsung memasukkan ‘jalan-jalan ke Legoland’ ke bucket list, sembari mengincar tiket murah dari Surabaya ke Johor Bahru tentunya.

Dari Surabaya, sementara ini hanya Air Asia yang punya rute langsung ke Johor Bahru. April tahun lalu (2013) saat ada Sale, saya berhasil dapat tiket 0 rupiah pp untuk penerbangan Februari 2014. Tiket Rp 0 bukan berarti kita nggak bayar sama sekali ya. Penumpang masih harus membayar pajak dan fuel surcharge. Alhasil, total harga tiket SUB – JHB pp per orang Rp 400.000. Itu baru tiket saja, belum termasuk bagasi, pilih kursi atau beli makan. Tapi kami nggak beli bagasi karena cuma pergi akhir pekan saja. Rencana awalnya, kami berangkat ke Johor Bahru Jumat pagi jam 10.30, sampai sana jam 2 siang. Pulangnya Minggu siang jam 2.30, sampai di Surabaya lagi jam 4 sore. Penerbangan dari Surabaya ke Johor Bahru perlu waktu dua setengah jam, sementara perbedaan waktunya, Johor Bahru satu jam lebih awal daripada waktu Surabaya (WIB).

Tidak banyak tempat yang bisa dikunjungi di Johor Bahru, kota di Malaysia yang paling dekat dengan Singapura ini. Tiga atraksi wisata andalannya:  

1. Legoland Theme Park,  
2. Puteri Harbour Family Theme Park (Hello Kitty Town) dan  
3. Johor Premium Outlet (JPO) untuk yang doyan belanja. 

Satu akhir pekan cukup untuk menjelajahi ketiganya. Saya yang tidak begitu doyan belanja, tidak memasukkan JPO dalam itinerary. Yang memang ngincer jalan-jalan ke JPO, coba intip blog Tesya yang pernah (window) shopping ke sana.

Karena sudah dapat tiket pesawat yang murah banget, saya pengennya cari hotel yang lumayan bagus. Incaran saya adalah Legoland Hotel yang persis di sebelah theme park dan Traders Hotel Puteri Harbour, persis di sebelah Hello Kitty town. Lumayan kan, bisa menghemat ongkos taksi dan hemat waktu. Tapi Si Ayah sebagai penyandang dana tidak setuju :p Akhirnya saya mengalah dan memilih menginap dua malam di Tune Hotel Danga Bay, pesan family room yang muat dua dewasa dan dua anak-anak. Berikut budget awal yang saya buat untuk Johor Bahru Trip dengan anak-anak.

BUDGET
MYR
IDR
Air Asia SUB – JHB pp 4 pax (inc. seat + meal)
1.889.200
Airport tax, 4x Rp 150.000
   600.000
Shuttle Senai airport – Tune hotel, 3x RM 8
      24
Tune hotel Danga Bay, family room, 2 nights RM 389,76
1.492.001
Taksi Tunes ke Hello Kitty pp
      80
Tiket Hello Kitty, 4x RM 75
    300
Hello Kitty souvenir
      30
Dinner Day 1
      50
Breakfast Day 2, 4x RM 12
      48
Shuttle Tune hotel – Legoland pp 4x RM 15
      60
Tiket Legoland Combo 3 adults + 1 child RM 532
2.036.875
Lunch Day 2
     75
Lego souvenir
     75
Dinner Day 2
     50
Breakfast Day 3, 4x RM 12
     48
Shuttle Tune hotel – Senai airport, 3x RM 8
     24
Parkir inap Juanda airport
     50.000
Sub Total
   865
6.068.076
TOTAL
IDR 9.278.956
Seperti biasa, booking saya lakukan online melalui website masing-masing: Air Asia, Tune Hotel Danga Bay, dan Legoland Malaysia. Tiket Hello Kitty belum saya beli karena harga online sama saja dengan beli langsung. Rencananya, dari Senai airport Jumat siang, kami langsung ke Tune hotel dengan shuttle mereka, cek in, lalu naik taksi ke Puteri Harbour dan main-main di Hello Kitty Town sampai tutup jam 6 sore. Hari Sabtunya kami akan naik shuttle dari Tune hotel ke Legoland, dan akan seharian bermain di theme park dan waterpark-nya. Hari Minggu kami cuma akan istirahat di hotel sampai cek out dan kembali ke Surabaya jam 2.30 siang. Tapi, siapa tahu Si Ayah berhasil dibujuk mampir ke JPO 😉 

Malam Jumat, semua urusan sudah beres, koper dan ransel sudah dipak.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Saya bangun pagi mendapati hujan abu tipis menyelimuti halaman belakang kami. Pada hari H tersebut, Gunung Kelud meletus, abunya sampai ke Jogja, Solo, Malang dan tentu saja Surabaya. Pagi itu saya was-was dan mencari-cari berita tentang penerbangan kami. Melihat langit yang sangat kelabu dan hujan abu yang tidak berhenti, kami tetap bertahan di rumah, tidak pergi ke bandara. Setengah jam sebelum jadwal penerbangan, kami baru tahu kalau penerbangan dibatalkan dan bandara Juanda ditutup. Liburan gagal total!

Saya kecewa nggak jadi berlibur. Tapi, tidak ada yang bisa dilakukan, emangnya mau marah sama Tuhan? Precils kembali bermain (sekolah ditutup), Si Ayah malah berangkat kerja (nggak jadi cuti) dan saya ngejar-ngejar Air Asia agar dapat refund 🙂 Alhamdulillah uang tiket saya kembali utuh dalam bentuk credit shell, seminggu kemudian. Booking Tune hotel bisa di-cancel dengan membayar denda RM 30. Tiket Legoland, sesuai T&C, hangus.

Saya menghubungi manajemen Legoland untuk meminta sponsorship. Mereka bersedia memberi free night di Legoland hotel dan tiket combo untuk keluarga. Whoa! *sujud syukur* Saya langsung semangat cari-cari lagi jadwal yang pas (maksudnya yang harga pesawatnya pas murah). Akhirnya saya dapat tiket pesawat murah dari Tiger Air, tapi mendarat di Changi airport, Singapore. Dari Changi kami akan naik free shuttle bus sampai JB Sentral, kemudian lanjut naik taksi ke Legoland. Penerbangan dari Surabaya jam 10 malam, sampai di Changi jam 1 dini hari. Rencananya kami akan nginep di emperan Changi 😀 Karena berangkat Jumat malam, Precils dan Si Ayah nggak perlu bolos cuti sekolah. 

Yang saya sebel, tidak ada tiket murah untuk pulangnya. Terpaksa saya beli tiket Air Asia dari Senai airport, Johor Bahru dengan harga penuh, full price. Sebagian memang dibayar dari credit shell pengembalian tiket saya sebelumnya, tapi tetap aja, nggak tega rasanya bayar tiket harga segitu, hiks. Karena waktu mepet, kami hanya sempat ke Legoland Theme Park. Sorry, Hello Kitty, maybe next time 😐 Tapi kami punya pengalaman seru banget nginep di hotel Lego. Keluarga Precils diberi Pirate Room, kamar bertema bajak laut. Kami saya juga ketagihan berdisko di lift hotel. Little A sampai menangis nggak mau pulang. 

Dalam perjalanan pulang dari Legoland menuju Senai airport, kami melewati JPO. Pak sopir taksi yang kami tumpangi cerita kalau dia pernah mengantar tamu dari Indon Indonesia yang meminta mereka mampir di JPO. Tidak untuk belanja, hanya untuk foto-foto di depannya untuk diunggah di facebook. Ahaha, bisa ditiru tuh triknya :p

Berikut ini pengeluaran liburan kami ke Johor Bahru, dua dewasa dua anak, dua hari satu malam. 
Note: nginep di emperan bandara Changi gratis ^_^

PENGELUARAN
MYR
IDR
Tiger Air SUB – SIN 4 pax
1.337.000
Airport Tax 4x Rp 150.000
    600.000
Breakfast Mc D Changi Airport SGD 23
    217.000
Bus TS1 Changi Airport to JB Sentral – free transfer
                0
Air mineral + permen
      6
Taksi JB Sentral – Legoland
    35
Legoland Hotel 1 night – sponsored
      0
Tiket Legoland combo family – 1 day pass – sponsored
      0
Lunch (free voucher RM 50 – sponsored)
    22,50
Air mineral
      3
Sewa loker Legoland waterpark
    20
Lego souvenir
    59,95
Dinner at Mall of Medini
    50
Buffet breakfast at Bricks family restaurant – sponsored
      0
Taksi Legoland  – Senai airport
    90
Air Asia JHB – SUB 4 pax RM 952,87
 
 3.537.098
Lunch Air Asia
      95.000
Parkir inap  T2 Juanda airport
      60.000
Sub Total
286,45
5.846.098
TOTAL
IDR 6.909.400

Tunggu cerita selanjutnya ya.

~ The Emak
Follow @travelingprecil  

Catatan:
Kurs Maret 2014
SGD 1 = IDR 9434
MYR 1 = IDR 3712

Baca juga:
Ke Legoland Malaysia: Via Changi Atau Senai? 
Review Hotel Legoland
Legoland Themepark & Waterpark, Asyiknya Dobel!
Galeri: Foto-foto Miniatur dari Lego  

Tip Membawa Bayi Naik Air Asia

Dila bersama Baby K di dalam pesawat Air Asia

Guest post by The Tante*
Rencana terbang bareng Baby K sudah ada sebelum doi lahir. Niatnya kami mau mengunjungi rumah Oma Opanya di Malaysia, tepatnya di Negeri Perlis, Malaysia bagian utara yang berbatasan dengan Thailand. Dengan gegap gempita saya pun cari tiket murah AirAsia-idolaku jauh-jauh hari dengan rute Jogja-Kuala Lumpur-Alor Setar. Waktu itu lumayan dapat murah deh, Jogja-Kuala Lumpur sekitar 300ribu, trus Kuala Lumpur-Alor Setar cuma sekitar 90ribu. Aha! Saya pun mulai klak klik klak klik itu form booking. Trus pas bagian baby K, data yang diperlukan sama kok, cukup nama dan tanggal lahir. Setelah saya isi, tiba-tiba muncul keterangan: Invalid! Your baby have a future birthdate. Hakakaka, baru sadar saya Baby K belum punya tanggal lahir, alias waktu itu saya karang sendiri pakai hari perkiraan lahir, kekeke. Yaah, gagal deh booking tiket murah. Eh belakangan saya baru tahu, ternyata bisa booking dulu buat ortunya, lalu booking untuk baby-nya bisa ditambahkan di manage booking, seperti kalau kita mau nambah beli makanan di pesawat. Huhuhu, ndeso banget saya nggak tahu -_-“.  Akhirnya kami  beli tiket agak mepet waktu berangkat, saat itu Baby K berusia 2 bulan. Untung harganya tetep sama, hahaha, rejeki emang nggak kemana ya cyinski ;).

Menu ‘tambah bayi’ di halaman profil -> manage my booking
Biasanya, kami melakukan web check in sebelum berangkat agar hemat waktu dan biaya. Beberapa bandara biasanya nambah ongkos untuk cek in di counter. Tapi, ternyata kalau kita bawa baby, dilarang web check in. Duh, males kan yah harus cek in di bandara, tapi tetap kami patuhi. Ternyata disuruh cek in di bandara cuma untuk nge-tag stroller pakai tag Air Asia. Setahu kami sih begitu, nggak tahu deh apa alasan sebenarnya nggak boleh web check in, mungkin ada alasan keselamatan atau apa yang harus dicek dulu. Tapi, nyatanya surat keterangan dokter bahwa baby K sehat juga nggak ditanyain, bahkan sampai di dalam pesawat. Jadi, nggak usah khawatir ada larangan bayi terbang atau minimal boleh terbang usia 6 bulan atau apa itu. Sejauh pengalaman saya sih nggak ada aturan begitu, kalau pakai AirAsia-idolaku.

Pengaturan tempat duduk saat membawa baby di AirAsia-idolaku juga nggak ada. Maksudnya enggak terus diistimewain gratis ditempatin di depan sendiri. Kita harus tetap beli kursi hot seat kalau mau depan sendiri biar lebih lega. Tahu sendiri kan ya, meski idolaku, kursi Air Asia itu sempit banget dan bikin leher rasanya mau patah :D. Penting banget untuk bawa bantal leher kalau ingin merasa damai dan tentram di perjalanan. Apalagi dengan adanya pertumbuhan berat badan yang signifikan setelah melahirkan T.T. Berhubung kami keluarga yang hemat pangkal kaya *nyerempet ke pelit* kami nggak beli kursi baik hot seat maupun biasa, kekeke, bodo amat ntar pasrah dapetnya pas cek in.

Alhamdulillah kami dapet jejeran bertiga *yeyeye lalalala*. Dan, ternyata kursi hot seatbanyak yang kosong. Bahkan, kami sempet pindah duduk di kursi hot seat dengan sembarangan waktu menghibur baby K biar nggak bosen. Pramugari juga nggak menegur, bener-bener kayak di angkot ya ;). Jejeran bertiga maksudnya saya terbang bareng suami, Uti-mama saya, dan baby K. Iya, baby nggak dapat seat tapi bayar 150 ribu per sektor. Jadi kalau terbang pakai transit di KUL seperti kami, ongkos bawa babynya 4x 150rb = 600 ribu. Padahal kan aturannya dipangku nggak bayar yah *angkot style*. Begitulah, jadi si baby K itu saya pangku sepanjang perjalanan Jogja-Kuala Lumpur selama 2 jam, lebih tepatnya digendong karena doi belum bisa duduk. Nggak ada sabuk pengaman khusus untuk bayi ya, jadi siap-siap aja deh tuh kalau take off, landing, turbulance pegangin erat-erat tuh baby biar nggak ngglundung :))).

Saking takutnya di pesawat superdingin, saya pun memberikan perlindungan ekstra kepada baby K. Pakai baju tebel, dibungkus bedong, selimut, dan gendongan, pakai topi. Nggak tahunya doi malah protes kepanasan alias kemringet -_-“, agak lebay emang emaknya. Akhirnya ya repot sendiri lepas-lepasin itu baju di kursi AA yang sempit.

Sepanjang perjalanan, saya berusaha nyusuin baby K, terutama pas take off dan landing. Mungkin karena itu juga, jackpot, si baby K pakai acara muntah segala di pesawat! Karena males harus bersih-bersih dan ganti di toilet pesawat yang juga sempit ribet berdiri goyang-goyang, saya ganti aja on the spot di kursi, dibantu Uti. Jadi, itu bayi taruh aja di meja makanan :))). Belakangan, pas perjalanan pulang Kuala Lumpur-Jogja, baby K saya taruh di meja makanan terus. Puegel Cyin gendongin terus sempit-sempitan. Tapi, tetep dijagain yah ;). Eh, tapi baiknya jangan dicontoh sih, cukup bahaya jika tidak terpaksa. Selain muntah, nggak ada masalah berarti buat baby K jagoanku. Doi nggak nangis sama sekali, nggak ngamuk juga, alhamdulillah. Pasti ini karena emaknya yang berprestasi ahaha, err maksudnya Utinya yang juga canggih sih.

Ada resep rahasia kenapa baby K anteng bersahaja *meski muntah sekali -_-“. Jadi, saya beli online earplug for kids, merknya Macks, harganya 65 ribu saja, Gan. Nggak tahu sih apakah memang itu yang bikin doi anteng, tapi saya memiliki keyakinan yang kuat bahwa sumpelan di kupingnya itu yang membuat doi lebih nyaman, selain karena dekapan hangat emaknya yang berprestasi ;). Lalu, pas take off dan landing baby K saya dekap erat-erat, kupingnya ditutup lagi pakai tangan, siapa tahu earplugcopot-copot, dibantu sama suami yang juara dan setia *penting.

Pas keluar pesawat juga nggak ada perlakuan khusus apapun, tetep antri berbondong-bondong sama penumpang lain yang pada nggak sabaran itu, hihihi. Turun dari pesawat, kami minta lagi stroller yang tadi dititipkan petugas, disimpan di bagasi pesawat, GRATIS ;). Jadi, kami nggak perlu beli bagasi untuk stroller. Cukup titipkan stroller ke petugas yang berjaga di bawah pesawat. Itu stroller nggak masuk ke kabin. Bener-bener idola kan AirAsia ini hehehe. Nah, baru deh pas di pengecekan dokumen di Kuala Lumpur LCCT karena kami bawa baby, kami diistimewain disuruh pakai counter flight attendant. Meski tetep antri, tapi nggak separah antrian di counter biasa.

Untuk rute Kuala Lumpur-Alor Setar, karena domestik jadi lebih simpel. Dan, pas cek in kami tetep disuruh web check in di mesin cek in. Petugasnya bilang, “kalau di counter bayar loh!” tentunya pakai bahasa Melayu yang sudah saya terjemahkan. Stroller juga nggak ditag lagi -_-“. Kayak naik bus. Atas dasar pengalaman inilah, pas perjalanan pulang Alor Setar-Kuala Lumpur-Jogja akhirnya kami web check in, dan tetep bisa tuh lenggang kangkung sampai di Jogja, ehehehe. Kami nekat karena waktu transitnya cukup mepet, takutnya kalau cek in di bandara nggak ngejar.

Kalau ingin menyusui baby saat nunggu boarding, di LCCT ada ruangan menyusui dan ganti popok. Tapi, saya nggak pakai karena udah merasa canggih nyusuin baby K sambil digendong pakai gendongan baik duduk maupun berdiri, ditutupin jilbab. Saya sempat ke ruangan menyusui itu waktu mengganti popok baby K. Ruangannya nggak bagus, sempit, pengap, dan nggak begitu bersih. Daaaaan, saat saya ganti popok baby K, tahu-tahu ada pria India nyelonong masuk ngisi botol air pakai dispenser yang ada di dalam ruangan. Helooow, kalau ada yang lagi nyusuin piyeee? Gendeng juga tuh orang -_-“.

Berangkat dari rumah jam 10 pagi, sampai di rumah Perlis jam 12 malam. Lama ya? Sama aja kayak naik kereta. Habis waktu di persiapan, transit, dan perjalanan dari bandara Alor Setar ke rumah Perlis makan waktu 1 jam. Sangat amat tepar berjamaah! Saya nggak bisa bayangin kalau Utinya Kala nggak ikut. Pasti tobat berjamaah bersama suami saya, huhuhu. Sebagai pengalaman, lain kali kalau bawa baby ke Perlis, mending stay one night dulu deh di Kuala Lumpur.

bersama suami siaga :p
breasfeeding sambil berdiri #akurapopo #wesbiyasa

Tips bawa baby naik Air Asia

1.  Nggak usah rempong bawa-bawa tentengan, agar tangan kita bebas mengurus bayi. Atau kalau terpaksa bawa barang agak banyak, aturlah pembagian tugas sebelum berangkat. Misalnya, ayah bertanggung jawab atas tas dan koper, ibu bertanggungjawab atas bayi, dan seterusnya.

2.  Pilihlah suami yang juara dan bertanggungjawab, langkah ini bisa dilakukan jauh hari sebelum keberangkatan banget, hehehe. Jadi, acara pergi-pergi dengan baby akan selalu menyenangkan.

3.  Pastikan baby kenyang sebelum menginjakkan kakinya ke dalam pesawat biar nggak ngamuk.

4.  Pakailah bantal leher, sumpah ini penting banget untuk kursi Air Asia.

5.  Bersiaplah dengan earplug baby, terutama di lapangan terbang. Suara mesin pesawat di luar pesawat lebih memekakkan telinga. Jangan lamban bergerak, segeralah masuk pesawat atau masuk ke gedung bandara.

6.  Pastikan ibu pakai baju khusus menyusui, enggak perlu pesan ke desainer mahal, yang murah pun boleh. Ini biar nggak ribet menyusui di lahan sempit.

7.  Lakukanlah simulasi proses perjalanan di dalam otak, bersama suami atau yang menemani terbang, agar kebayang nanti apa yang harus dilakukan.

8.  Jika mampu, pilihlah kelas penerbangan yang lebih baik, ehehehe.

Enjoy your flight!
~ The Tante (@diladol)
* The Tante alias Tante Dila adalah adik The Emak yang baru saja melahirkan anggota terbaru keluarga Precils, baby K. Prestasi baby K: sukses terbang pertama kali ke luar negeri umur 2 bulan, naik pesawat low cost carrier, dengan anteng dan bersahaja :p 
Baby K, Tante Dila dan Suami Juara tinggal di Yogyakarta.

Baca juga:
Pengalaman The Emak Membawa Bayi Naik Garuda

Keliling Singapura Naik MRT dan Bus

Menunggu kereta MRT di stasiun

How do we get to our hotel, Mom?” tanya Big A sesaat setelah kami mendarat di Changi.
“Naik bis atau kereta,” jawab saya.
Oh, I forgot THERE IS public transport,” sambar Big A sambil nyengir.

Maksud Big A tentu transportasi umum yang nyaman dan nyambung ke mana-mana. Setelah pindah ke Surabaya setahun belakangan ini, satu-satunya transportasi umum dalam kota yang kami gunakan adalah taksi. Padahal selama lima tahunan tinggal di Sydney dan ketika jalan-jalan di kota-kota di Australia, kami pemakai transportasi umum yang setia.

Setelah sempat nyasar di Terminal 1 Changi Airport, kami akhirnya menemukan stasiun MRT di Terminal 3. Saya menghampiri loket dan membeli kartu Ez Link yang bisa digunakan untuk membayar tiket kereta dan bus. Satu kartu baru harganya SGD 12, termasuk ‘pulsa’ sebesar 7 dolar. Harga kartunya sendiri $5. Selain di loket stasiun MRT, kartu Ez Link ini juga bisa dibeli di toko 7-eleven dan kantor pos.   

Setiap orang dewasa dan anak-anak yang tingginya di atas 90 cm wajib mempunyai kartu sendiri. Ketika itu Little A tingginya sedikit di atas 90 cm, ketika saya tanyakan ke petugas, dia bilang ‘no need ticket‘. Little A tampak sedih belum boleh punya kartu sendiri. Sementara Emaknya bersyukur, alhamdulillah, ngirit satu kartu :))

Penggunaan Ez Link mudah sekali, kartu ini cukup ditempelkan di pintu stasiun kereta sampai berbunyi “tiiit” dan palang pintu membuka. Segera masuk stasiun sebelum palang menutup kembali. Karena cuma punya satu kartu, saya harus menggendong Little A setiap kali masuk dan keluar stasiun. Little A dengan senang hati bertugas untuk menempelkan kartu. Sementara di bus, kartu ini ditempelkan di mesin pembaca kartu ketika naik bus dan sebelum turun dari bus. Nanti si kartu pintar ini akan menghitung sendiri biaya yang dibutuhkan untuk jarak yang kita tempuh. Kalau masih ragu-ragu menggunakan kartu ini, ikuti saja orang-orang di depan Anda 🙂

Saya senang dengan cara kerja kartu Ez Link ini karena tidak perlu repot-repot menghitung dan menyiapkan uang kecil untuk naik kendaraan umum. Juga tidak perlu membeli tiket di loket atau sopir bus setiap kali ingin naik kendaraan umum. Tinggal tap in tap out aja. Nanti kalau saldo kita menipis, bisa kita isi ulang di mesin pengisian ulang di stasiun atau di loket. Kartu ini akan ‘marah’ mengeluarkan bunyi berisik ketika saldonya tinggal sedikit tapi tetap kita pakai di stasiun atau bus. Lebih baik diisi ulang sebelum saldonya ludes karena sisa saldo yang tidak digunakan bisa kita minta kembali ketika kita meninggalkan Singapura. Pengalaman kami, masing-masing kartu diisi ulang (top up) 1 kali sebesar $10. 

Cara isi ulangnya gampang banget. Nggak perlu pinter bahasa Inggris untuk mengerti cara top up kartu ini karena petunjuknya mudah dimengerti dan kelihatan banget. Kita juga bisa memilih tampilan bahasa Melayu. Tinggal letakkan kartu di tempat yang disediakan. Mesin otomatis memberi tahu saldo kartu kita. Kalau ingin top up, tinggal sentuh pilihan top up. Lalu kita masukkan uang kertas atau koin di tempat yang disediakan. Kalau top up berhasil, kartu akan menampilkan saldo baru. Beres dan siap untuk dipakai jalan lagi. Kartu Ez Link ini secanggih Go Card yang dipakai di Brisbane. Sydney aja belum secanggih ini, hehe.


Little A selalu dapat kursi di MRT
Top Up Ez Link

Jalur MRT di Singapura mudah dimengerti dan stasiunnya dilengkapi banyak tanda yang jelas, jadi asal tahu stasiun tujuan dan jalur yang akan kita pakai, dijamin tidak nyasar. Kalau ingin langsung naik kereta dari bandara Changi, naiklah dari Terminal 3 menggunakan jalur hijau. Untuk sampai di kota, kita perlu pindah kereta (bukan pindah jalur) satu kali di stasiun Tanah Merah. Dari stasiun Tanah Merah, kita tetap memakai jalur hijau menuju kota. Kalau penginapan kita di daerah Bugis atau Lavender, tidak perlu pindah ke jalur yang lain. 

Pengalaman kami, yang paling merepotkan adalah ketika harus pindah jalur. Misalnya, karena kami menginap di Novotel Clarke Quay, dari bandara kami harus pindah jalur dari jalur hijau ke jalur ungu di stasiun Outram Park dan akhirnya turun di stasiun Clarke Quay. Untuk pindah jalur, kami harus berjalan jauh banget dan naik turun eskalator. Beda banget dengan stasiun-stasiun di Sydney yang jarak antar jalurnya tidak terlalu jauh. Malah kita bisa melihat trek dan kereta dari jalur lain yang simpang siur dari tangga atau eskalator. Ini karena jalur MRT di Singapura lebih mengutamakan keselamatan. Penumpang tidak bisa melihat trek kereta dan pintu menuju hanya terbuka ketika kereta sudah datang. Jadi nggak ada ceritanya orang bisa menyeberang rel kereta :p  

Kalau memilih MRT untuk keliling Singapura, sebaiknya ketika memilih akomodasi juga menyesuaikan dengan jalur kereta yang akan kita perlukan. Usahakan penginapan paling jauh jaraknya 5 menit jalan kaki dari stasiun terdekat. Perlu diingat, kalau kita membawa anak-anak, jarak lima menit jalan kaki bisa menjadi dua kali lipat. Ketika memilih menginap di Novotel Clarke Quay dan Hostel Boat Quay, saya kurang begitu mempertimbangkan jarak ke stasiun MRT. Toh, kami sudah biasa jalan kaki di Sydney. Ternyata… setelah setahun tinggal di Surabaya dan tidak pernah jalan kaki ke mana-mana (karena jarang ada trotoar), jalan kaki sepuluh menit saja rasanya pegal banget. Dari stasiun Clarke Quay, kami perlu jalan kaki sekitar 20 menit ke Novotel. Aduh biyung, apalagi setelah capek keluyuran seharian. Begitu juga dengan hostel tempat kami menginap, perlu waktu sekitar 20 menit jalan kaki (dengan Precils) dari stasiun Raffles Place. Ketika jalan sih tidak terasa, karena sambil lihat suasana resto-resto cantik di pinggir sungai, tapi setelah sampai di hostel, kaki cenat-cenut tidak karuan :p 

Peta jalur MRT. Klik untuk memperbesar.

Singapura punya website ‘ajaib’ yang bisa memberi tahu pilihan rute yang bisa kita lalui menuju tempat tertentu, lengkap dengan pilihan naik mobil, taksi, bus atau kereta, plus perkiraan waktu dan ongkosnya. Saya kagum dengan website gothere.sg ini. Website pemkot Sydney saja kalah jauh, terlalu rumit untuk dipakai. Sebelum berangkat ke Singapura, saya sudah menyiapkan rute-rute yang akan kami lalui, saya cetak dari website Go There. Dari Novotel ke Science Centre, dari Novotel ke Singapore Zoo, dari hostel ke Garden by The Bay dan lain-lain. Berbekal peta rute ini, saya tidak perlu nanya tukang tambal ban di pinggir jalan 😀

Saya dan The Precils lebih suka naik kereta daripada naik bus. Mungkin karena kereta jalannya lurus dan stabil, jadi tidak membuat pusing. Di kereta MRT, saya dan Little A selalu mendapat tempat duduk. Atau kalau tidak ada tempat kosong, pasti ada penumpang yang memberi kami tempat duduk yang memang khusus disediakan untuk orang disabel, orang tua, ibu hamil atau anak-anak. Kereta MRT bersih dan nyaman. Selain cepat, kereta ini juga memberi pengumuman yang jelas rute yang akan dituju dan akan berhenti di stasiun mana, jadi kalau nyasar, bisa cepat-cepat turun, hehe. Pengumuman di kereta ini disampaikan dalam empat bahasa: Inggris, Melayu, Mandarin dan India. Saya lihat Big A dan Little A senyum-senyum sendiri mendengar pengumuman dalam bahasa yang tidak mereka mengerti.

Selain menggunakan MRT, kami sempat naik bus juga untuk keliling Singapura. Halte terdekat dari Novotel tempat kami menginap ada di seberang jalan, tinggal menyeberang jembatan saja. Malam itu kami naik bus jalur 195 dari Novotel menuju Makan Sutra Gluttons Bay untuk cari makan malam. Kami turun di depan Pan Pacific Hotel dan melanjutkan jalan kaki keliling-keliling sambil melihat suasana malam kota ini. Singapura di malam hari memang cantik. Untungnya, pulangnya, ada halte bus tepat di depan Makan Sutra (semacam kumpulan warung tenda) dan kami bisa turun tepat di depan pintu Novotel. Malam itu perut kenyang dan kaki senang.

Saya tidak ingat membayar berapa untuk tiket bus karena tinggal membayar dengan kartu. Bus di Singapore bagus, bersih dan nyaman. Malam itu penumpang sepi sekali, hanya kami berempat dan satu dua penumpang lain. Naik bus bisa menjadi alternatif keliling-keliling kota ini, terutama untuk jarak dekat. Kelebihan bus dibanding kereta, kita bisa melihat pemandangan, tidak berjalan di bawah tanah. Halte bus juga bisa ditemui di mana-mana. Peta rute bus bisa dilihat di setiap halte, atau kita cari online di website Go There.

Ketika mengunjungi Science Centre, saya dan The Precils juga naik bus dari stasiun Jurong East dan turun tepat di halte depan Science Centre. Begitu juga ketika kami mau ke Singapore Zoo, kami naik kereta dulu ke stasiun Ang Mo Kio, dilanjutkan dengan naik bus 138 ke kebun binatang. Tapi sebenarnya kalau mau ke Singapore Zoo lebih mudah dan lebih cepat naik bus ekspres SAEX (bus swasta). Bus SAEX ini seperti shuttle yang berhenti di depan beberapa hotel kenamaan dan membawa penumpang langsung menuju Singapore Zoo. Waktu itu kami tidak naik bus ini menuju Zoo karena precils tidak bisa bangun pagi, keenakan tidur di Novotel 😐 Pulang dari Zoo, kami memutuskan naik bus SAEX dan membayar 2x $5. Little A gratis. Untuk rute, jadwal dan tarif bus SAEX, cek di sini.
 
Selama lima hari di Singapura, kami mengeluarkan uang untuk membeli 3 kartu Ez Link sebesar $36, plus isi ulang $30. Tapi setelah kami pakai sampai ke stasiun MRT di Terminal 3 bandara Changi, kami bisa memperoleh refund (kembalian) sebesar $12,40. Jadi kalau dihitung, pengeluaran kami untuk transportasi umum di Changi untuk 4 orang (Little A gratis) = $53,60. Nggak mahal kan?


~ The Emak

Baca Juga:

Hostel 5.FootWay.Inn Project Boat Quay Singapore  [review penginapan]

Changi Airport, Terbaik di Dunia?

Kami baru menginjakkan kaki ke belasan bandara sih, dan masih terbatas ke empat negara. Jadi penilaian tentang Changi ini sangat subyektif berdasar pengalaman kami. Tapi sejauh ini, bandara Changi sudah berhasil mencuri hati kami sebagai bandara terbaik. Pelayanan dan kenyamanan di Changi melampaui standar bandara-bandara di Australia dan New Zealand.

Kelelahan karena proses cek in Jetstar di bandara Juanda, kami berempat tertidur di pesawat sampai hampir mendarat. Dari balik kaca jendela, saya melihat langit Singapura yang keruh akibat hadiah kiriman asap dari Riau. Tetangga yang baik. Meski psi reading menunjukkan kualitas udara semakin membaik, saya tetap was was kalau kabut asap ini naik lagi dan memaksa kami memilih tempat wisata indoor saja.

Mendarat dengan mulus, saya segera move on dari kekesalan layanan cek in Jetstar dan menikmati kenyamanan Changi. Meski jarak dari pesawat landing menuju layanan imigrasi cukup jauh, anak-anak (dan Emaknya) tidak rewel karena ada travelator. Little A dan Big A ketawa ketiwi dan malah balapan menuju imigrasi. 

Imigrasi dan Custom
Sebelum melewati imigrasi, kita diminta mengisi kartu kedatangan dulu, yang tersedia banyak di meja layanan sebelum loket imigrasi. Ada petugas yang bisa berbahasa Melayu yang akan membantu kita mengisi kalau ada pertanyaan yang belum jelas. Tapi isiannya mudah kok: identitas diri sesuai paspor, alamat (penginapan) yang dituju dan tujuan datang ke Singapura. Kartu kedatangan ini kita selipkan ke paspor untuk diperiksa petugas imigrasi. Saya salut dengan layanan Changi yang membuka banyak sekali loket imigrasi sehingga tidak terjadi antrean panjang. Waktu paspor dan kartu kami diperiksa, petugas tidak menanyakan apa-apa dan langsung memberikan cap kedatangan. Yay! resmi masuk Singapura, negara keempat di paspor Precils. Petugas juga memberikan potongan dari kartu kedatangan untuk kita serahkan lagi di petugas imigrasi ketika kita keluar dari Singapura nantinya. Kalau sampai potongan kecil ini hilang, repot urusannya.

Btw, yang belum tahu, pemegang paspor Indonesia TIDAK memerlukan visa (izin masuk suatu negara) ketika berkunjung ke Singapore. Jadi tinggal bawa paspor yang masih berlaku minimal enam bulan.

Custom Singapura juga tidak seribet di Aussie dan NZ. Kami lenggang kangkung tidak perlu declare (diperiksa) apa-apa karena nggak bawa barang-barang berbahaya. Kami juga tidak bawa uang setara atau lebih dari SGD 30.000, jadi aman-aman saja tidak perlu lapor.

Kami tidak membawa koper yang masuk bagasi, jadi tidak perlu menunggu antrean ambil bagasi yang letaknya setelah pintu imigrasi dan sebelum custom. Sekarang tinggal cari cara menuju hotel.

Dari dan Ke Bandara
Kebingungan diawali setelah kami melewati custom. Saat itu kami belum memutuskan mau naik bis atau MRT menuju hotel. Taksi ($21) atau airport shuttle ($9 dewasa, $6 anak-anak) bukan pilihan, karena kami pengen yang lebih murah. Setelah sempat nyasar dan tidak menemukan halte bis, kami memutuskan naik MRT. Nah, bodohnya, saya tidak tahu kalau stasiun MRT ada di Terminal 3 Changi, dan bukan di Terminal 1. Dari terminal 1, kami harus naik Skytrain (gratis) ke Terminal 3. Setelah itu, baru deh ketemu stasiun MRT yang akan membawa kami ke kota.

Di Singapore ada website ajaib banget untuk mencari rute dan memberikan alternatif transportasi, plus besaran biayanya. Coba cek gothere.sg. Saya berkali-kali menggunakan website ini untuk merencanakan perjalanan, naik MRT atau bis jalur mana. 

Di stasiun MRT di dalam Terminal 3 Changi, saya membeli kartu Ez Link seharga $12 per orang. Little A masih gratis karena tingginya pas banget 90 cm. Di atas itu harus bayar sendiri. Kartu ini bisa untuk naik bis dan MRT. Cara pakainya tinggal disentuhkan ke card reader di gerbang stasiun atau yang terpasang di bis kota, setiap kali naik dan turun. Nanti si kartu pintar ini akan menghitung dan mengambil sendiri ongkos yang diperlukan.

Harus ganti jalur MRT dua kali dan jalan kaki 15 menit menuju hotel membuat kami kelelahan dan terkapar begitu membuka kamar Novotel. Begitulah harga yang dibayar kalau mau ngirit, hehe. Tapi gakpapa juga sih, bonus pengalaman.

Ternyata pengalaman kami naik MRT dari bandara Changi tidak membuat kami kapok ketika kembali lagi ke sana setelah selesai jalan-jalan. Untungnya kali ini kami tidak perlu berganti stasiun, jadi perjalanan cukup mulus sampai di Terminal 3. Sisa uang di kartu Ez Link dapat ditukarkan kembali di stasiun MRT di terminal 3 ini. Jadi tidak rugi kalau isi ulang kita terlalu banyak. Kartu Ez Link-nya bisa kita simpan sebagai souvenir 🙂

Cek In, Shopping & Boarding
Proses cek in Jetstar di Changi sangat cepat, tanpa antre. Boarding pass juga dicetak, tidak ditulis tangan :p Setelah beres cek in dan imigrasi, kami menunggu boarding sambil mengagumi instalasi seni, taman dan Social Tree yang cukup menghibur. Di Social Tree, kita bisa foto-foto narsis, dihias dan diunggah ke social media. Little A dan Si Ayah sempat bernarsis ria nampang di Social Tree. Sementara Big A sudah tidak bisa diganggu gugat kalau sudah membaca buku.

Kami sempat makan early lunch di food court. Nasi lemak dan nasi ayam yang yummy membuat saya hampir lupa kalau belum membeli ‘oleh-oleh’ untuk tetangga. Duh, kebiasaan selama ini nggak pernah beli apa-apa untuk tetangga selama jalan-jalan di Oz dan NZ. Begitu jadi penduduk Indonesia, rasanya kok nggak nyaman kalau ketahuan jalan-jalan tapi gak bawain apa-apa. 

Karena waktu boarding sudah mepet, saya buru-buru membeli cokelat di The Cocoa Tree. Anak-anak dan Si Ayah saya suruh berlari duluan menuju gate. Saya menyusul kemudian. Menuju gate, sudah ada tulisan berjalan: boarding closed. Ini membuat Big A panik sekali. Ketika sampai di depan gate, ternyata kami termasuk yang pertama boarding. Tapi memang tulisannya: boarding closed. Hmm.. mungkin agar penumpang di sini cepat datang dan tidak nyangkut di tempat belanja? 

Ketika melewati security check, gadget kami (laptop, iPad, handphone) harus dilewatkan X-Ray satu persatu dan diberi kupon, tapi tidak sampai diperiksa apa-apa. Petugas menyilakan penumpang yang membawa anak-anak untuk boarding terlebih dahulu. Senang kalau ada layanan seperti ini, tidak perlu ‘rebutan’ jalan dengan penumpang yang pengennya masuk pesawat duluan, padahal nanti berangkatnya juga sama-sama satu pesawat, haha.

Kami sudah ke beberapa bandara di empat negara, dan memang layanan Changi paling baik, terutama dalam kesigapan menangani security check, imigrasi dan custom. Mereka menempatkan banyak petugas sehingga tidak terjadi tumpukan penumpang. Ini beda jauh dengan pelayanan imigrasi di Bali atau Juanda yang kadang hanya menempatkan dua petugas. Begitu juga di Sydney Airport, layanan imigrasinya selalu membuat frustasi, apalagi pelayanan petugas custom-nya. Tapi tentu saja bandara di Oz dan NZ masih jauh di atas Indonesia dalam hal kebersihan toiletnya. Bahkan toilet di lounge berbayar di Denpasar masih kalah jauh dengan toilet umum gratis di bandara Avalon, kota kecil dekat Melbourne.

Daftar bandara, urut jelek, menurut keluarga Precils 😉

14. Ngurah Rai Airport, Bali, Indonesia
13. Abdul Rahman Saleh Airport, Malang, Indonesia
12. Adi Sucipto Airport, Yogyakarta, Indonesia 
11. Juanda Airport, Surabaya, Indonesia
10. Sydney Airport, Australia
09. Perth Airport, Australia
08. Tullamarine Airport, Melbourne, Australia
07. Adelaide Airport, Australia
06. Hobart Airport, Australia
05. Darwin Airport, Australia
04. Avalon Airport, Melbourne, Australia
03. Christchurch Airport, New Zealand
02. Queenstown Airport, New Zealand
01. Changi Airport, Singapore

Kalau menurut pengalaman kalian bagaimana?

~ The Emak 

Baca juga:

[Penginapan] Hostel 5.FootWay.Inn Project Boat Quay Singapore

Hostel’s reception

Boleh nggak sih bawa anak-anak nginep di hostel? Di Singapura boleh-boleh aja tuh, asal di kamar privat.

Setelah over budget menginap di hotel Novotel, saya ingin menyeimbangkan anggaran dengan menginap 2 malam di hostel, yang tarifnya hampir separuh dari tarif hotel bintang empat.

Saya mengandalkan website Hostel World untuk mengetahui daftar hostel yang tersedia di Singapura. Baru kemudian saya cek website masing-masing hostel. Sebagian besar hostel di Singapura, dalam peraturannya menyebutkan, anak-anak di atas usia 2 tahun boleh menginap, asal di kamar privat atau kalau menyewa seluruh bed di dorm (4 kasur atau 6 kasur). 

Setelah browsing dan baca review sana-sini, saya memutuskan memesan kamar di 5.Footway.Inn Project Boat Quay. Grup hostel ini sudah punya banyak properti di Singapura, antara lain di daerah Bugis, Chinatown 1 dan Chinatown 2. Project Boat Quay adalah hostel terbaru mereka. Lokasinya cukup menarik di tepi Singapore River. Sejak melihat foto-foto mereka di website resminya, saya langsung tertarik.

Di hostel, biaya menginap dihitung per orang atau per kasur, bukan per kamar. Tarif di hostel Project Boat Quay ini SGD 34 per orang per malam, atau sekitar Rp 272.000. Total berempat per malam adalah Rp 1.088.000. Saya booking di Hostel World, yang hanya mengenakan deposit 10% dari total tagihan. Deposit saya bayar dengan Pay Pal, sisanya saya bayar tunai di hostel. 

Bunk bed
Double bed

Saya sempat kesal ketika cek in, kamar yang kami pesan, Superior 4 bed Mixed Dorm tidak ada. Padahal saya sudah booking di Hostel World. Mereka menggantinya dengan 2 kamar privat, 1 kamar dengan double bed dan kamar satunya lagi 1 set bunk bed. Saya pikir-pikir nggak papa lah, karena Big A juga sudah cukup besar untuk menjaga adiknya, dan hostel ini dilengkapi pengamanan dengan kartu.

Sudah diduga, Little A senang dengan bunk bed. Kamar privat bunk bed untuk berdua ini sangat sempit dan tanpa jendela. Kamar double bed lebih luas, lantainya yang diberi karpet bisa untuk menggelar barang bawaan dan hasil shopping kami untuk packing di malam terakhir. Masing-masing kamar dilengkapi AC, meja dan bangku, loker yang bisa dikunci, cermin, lampu baca dan colokan charger. Mereka juga menyediakan handuk. 

Kasur, bantal dan spreinya tipis, tidak senyaman kasur di hotel (ya iya laaah). Awalnya saya sempat merasa sesak napas karena sempitnya ruangan tanpa jendela ini. Tapi lama-lama, setelah tersihir sejuknya AC, saya bisa menyesuaikan diri. Apalagi di hostel ini ada fasilitas wifi gratis dengan kecepatan tinggi. Precils bisa anteng streaming You Tube, sementara Emaknya bisa eksis di media sosial. Siapa yang perlu TV layar datar? Dan jendela?

Brekky with a view

Di hostel ini, semua kamar mandinya sharing, tidak ada kamar mandi dalam. Mungkin ini juga yang bikin ragu Emak-Emak lain untuk mencoba hostel. Nanti gimana mandinya di kamar mandi umum? Saya dulu juga begitu, ketika memesan kabin di New Zealand, selalu memilih yang ada kamar mandi dalamnya. Tapi setelah latihan camping di Sydney, dan campervanning Adelaide – Melbourne, kami jadi berani menggunakan toilet dan kamar mandi umum.

Toilet dan kamar mandi perempuan satu lantai dengan resepsionis dan kamar kami, sementara kamar mandi untuk laki-laki di lantai 3. Toilet duduk kering cukup bersih, dengan tisu yang cukup. Ada juga satu toilet dengan semprotan air. Kami tidak pernah harus mengantre untuk memakai toilet atau kamar mandi. Tapi bilik mandi selalu sudah basah lantainya. Desain bilik mandi mereka juga tidak sebagus yang kami temui di Australia, dengan area basah untuk shower dan area kering untuk ganti baju. Bilik mandi di hostel ini cuma seperti ruang bilas di kolam renang di Indonesia. Mereka menyediakan sabun cair dan shampoo dalam dispenser di setiap bilik. Sayangnya cantelan handuk dan gantungan bajunya cuma satu! Lumayan ribet untuk ganti baju, apalagi tidak ada area kering. Tapi ya sudahlah, yang penting badan segar kena air hangat.

Hostel ini juga menyediakan fasilitas laundry dan pengeringan dengan membayar $13 sekali cuci, termasuk deterjen. Saya perlu cuci-cuci karena Little A berbasah-basah di water play Singapore Zoo. Ketika saya lupa mengambil cucian malam-malam, resepsionis cukup berbaik hati mengamankan cucian saya untuk diambil esok harinya.

Satu lagi kelebihan di hostel, mereka menyediakan sarapan gratis. Meskipun ‘cuma’ roti panggang dengan selai, lumayan lah untuk memulai hari. Yang paling menarik dari hostel ini adalah ruang serbaguna mereka di lantai atas. Dari teras, kita bisa sarapan dengan kopi beneran dari mesin kopi dan roti panggang sambil memandang sungai Singapura yang bersih. Cicit burung menimpali obrolan saya dan Si Ayah pagi itu, tentang… statistik untuk validasi penelitian! Kriuk 🙂
 

Lokasi hostel ini berada di antara ruko-ruko pinggir sungai yang kalau malam disulap menjadi tempat untuk makan-makan. Banyak resto yang menawarkan seafood, chinese dan Thai food dan ada beberapa bar bergaya pub di Inggris. Saya sempat tanya harga makanan di sekitar sini, yang ternyata lumayan mahal, $25-$35. Kami pun melenggang menuju Lau Pa Sat yang standar harga makanannya cuma $5 – $7. Hostel ini berada di antara stasiun MRT Clarke Quay (jalur ungu) dan stasiun Raffles Place (jalur merah dan hijau), masing-masing ditempuh 10 menit berjalan kaki (jadi 20 menit kalau dengan Precils). Dari dan ke bandara Changi bisa memilih via stasiun Raffles Place.

Secara umum, kami asyik-asyik aja tinggal di hostel. Precils tetap bisa tidur nyenyak dan nggak komplain berbagi kamar mandi dan toilet. Saya, meskipun bisa mendengar langkah-langkah orang di lorong kamar dan sayup-sayup obrolan tetangga sebelah, akhirnya bisa tidur juga karena kelelahan. Si Ayah senang dengan internet cepat dan gratis, saya senang bisa minum kopi beneran dari mesin kopi. Cuma yang saya rasakan, tamu-tamu di hostel ini lebih banyak yang cuek. Saat sarapan, hanya bule-bule yang membalas ucapan Good Morning saya. Sementara orang-orang Asia, ketika disapa, tersenyum pun tidak. Euw!

~ The Emak 

Baca Juga:  

[Penginapan] Novotel Clarke Quay Singapore

Little A di depan Novotel Clarke Quay

Mencari akomodasi di Singapura bisa bikin kepala puyeng karena harganya memang paling mahal dibandingkan dengan kota-kota lain di Asia Tenggara. Pilihan saya jatuh pada Novotel Clarke Quay yang tarifnya waktu itu sedang diskon.

Tidak mudah mencari hotel di Singapura yang murah, ramah anak dan bisa mengakomodasi 2 dewasa dan 2 anak dalam satu kamar tanpa tambahan biaya extra bed. Biasanya hotel-hotel murah (bintang 2 dan 3) hanya membolehkan maksimal 3 orang per kamar. Dan kalau harus menambah biaya extra bed, jatuhnya malah bisa lebih mahal daripada hotel bintang 4. Di catatan saya, hotel bintang 4 yang membolehkan 2 dewasa dan 2 anak dalam satu kamar adalah: Holiday Inn (Orchard), Swissotel (Merchant Court dan The Stamford), Village Hotel (Bugis), dan V Hotel Lavender

Mengapa harus tertib mencari hotel yang memang bisa berempat se kamar? Memangnya tidak bisa ‘menyelundupkan’ satu anak kecil, toh gak makan tempat? Saran saya sih, jangan! Singapura menerapkan aturan ketat tentang jumlah penghuni hotel ini. Setiap orang harus dipindai paspornya oleh pihak hotel. Saya juga banyak membaca cerita di forum-forum kalau yang ketahuan jumlah penghuni kamarnya tidak sesuai dengan peruntukan, wajib membayar ekstra atau bahkan didenda. Udahlah, main aman saja biar liburannya juga nyaman.

Budget saya per malam maksimal Rp 1,5 juta termasuk pajak untuk berempat. Tapi karena frustasi tidak bisa mendapat hotel dengan tarif segitu, saya akhirnya menyerah, memesan 2 malam di Novotel dengan tarif SGD 235 atau Rp 1,880,000 per malam termasuk pajak 17%. Itu saja sudah tarif diskon 40%, kata Accor, grup hotel ini. Saya booking di website resminya menggunakan kartu kredit.

Biasanya saya browsing daftar dan harga hotel yang tersedia di website Hotels Combined. Website ini bisa membandingkan tarif hotel dari banyak booking engine, seperti Agoda, Expedia, Hotels, Venere dan website resmi masing-masing hotel. Jadi kita tinggal memilih tarif termurah. Saya tidak pernah fanatik dengan salah satu booking engine. Minimal, saya bandingkan harga di 3 website sebelum memutuskan membeli. Golden rule: selalu cek harga toko website sebelah 🙂

Selain faktor kids friendly, ketika memilih penginapan perlu dipertimbangkan juga faktor lokasi. Kalau memang ingin menggunakan transportasi umum, pilihlah penginapan yang dekat dengan stasiun MRT dan atau halte bus. Novotel Clarke Quay terletak di 77A River Valley Road, stasiun MRT terdekat adalah Clarke Quay dan ada halte bus di samping hotel.

Dari airport, kami naik MRT jalur hijau, berganti kereta di Tanah Merah, kemudian lanjut sampai stasiun Outram Park. Dari sana perlu ganti ke jalur Ungu dan naik dua stop sampai di Clarke Quay. Ternyata ganti jalur di dalam stasiun MRT ini cukup jauh jalannya, kadang harus naik turun eskalator/lift. Kami yang dulunya pejalan-pejalan tangguh selama tinggal di Sydney, merasa kewalahan berjalan jauh di kota ini karena sejak di Surabaya hampir tidak pernah jalan kaki ke mana-mana. Duh. Perjalanan dari airport yang perlu dua kali berganti kereta dan jalur dan masih ditambah jalan kaki 10 menit dari stasiun ke hotel membuat kami kecapekan di hari pertama. Kami sampai di hotel jam tujuh malam dan sudah nggak sanggup untuk keluar makan malam. Untungnya lokasi Novotel ini menjadi satu dengan Liang Court Mal, yang mempunyai food court, 7 Eleven, Mc D dan Starbucks. Kami terselamatkan dari kelaparan :))

Daerah Clarke Quay ini cukup ramai kalau malam, banyak restoran dan bar yang buka, diiringi dengan dentuman musik yang hingar bingar. Sepertinya kawasan ini lebih cocok untuk anak-anak muda atau yang berjiwa muda, bukan Emak-Emak kayak saya, hehe.

Kalau boleh saya sarankan, pilihlah hotel yang jaraknya dari stasiun MRT maksimal 5 menit jalan kaki. Kalau bisa sih di atas stasiunnya sekalian seperti di V Hotel Lavender, atau tepat di depan stasiun seperti Swissotel Merchant Court. Selain itu, pilihlah hotel yang dekat dengan stasiun di jalur yang paling sering kita gunakan, sesuai itineray, agar tidak perlu berpindah jalur. Saya agak salah dalam hal ini. Stasiun kami jalur ungu, padahal kami mainnya ke Science Museum (jalur hijau), Singapore Zoo (jalur merah), Orchard Rd (jalur merah), Gardens By The Bay (jalur kuning). Alhasil harus pindah jalur setiap kali naik MRT, dan lumayan bikin capek. Lain kali, saya akan rela menambah sedikit anggaran hotel asal lokasinya bagus dan menghemat banyak waktu untuk mengunjungi tempat-tempat yang kami rencanakan.


Kami menginap di kamar Eksekutif dengan dua tempat tidur single. Kamarnya cukup luas, tapi kasurnya tidak sebesar di Holiday Inn. Sepertinya cuma 120cm lebarnya, lupa nggak mengukur waktu itu. Tapi cukuplah buat kami yang posturnya kecil-kecil ini :p Kasur dan bantal cukup nyaman, membuat The Precils susah bangun pagi. Fasilitas sama dengan layaknya hotel bintang 4 lainnya: minibar, TV layar datar dengan saluran TV kabel, sofa, setrika, jubah mandi, safe deposit box, minibar, ketel listrik plus kopi, teh dan gula, air mineral gratis, shower, bath tub dan ubarampe mandi.

Yang saya rindukan dari penginapan-penginapan di Australia yang tidak ada di Indonesia dan Singapura adalah susu segar kemasan kecil gratis di minibar untuk membuat kopi. Di sini cuma disediakan krimer. Susu harus beli sendiri.

Di hotel ini kami tidak sempat menggunakan kolam renang, saking capeknya jalan-jalan seharian. Kami juga tidak mendapatkan sarapan di hotel, karena paketnya memang begitu. Lagipula, Si Ayah harus berangkat ke tempat konferensi jam 6.30 pagi, tidak cukup waktu untuk sarapan dengan nyaman di hotel. Pagi pertama saya beli sarapan takeaway di Mc D untuk dimakan di kamar. Hmm… hash brown! Pagi berikutnya setelah cek out dan pindah ke hostel, saya ajak anak-anak brunch di Starbucks. Hmm… yummy almond cake.

Di lobi tersedia internet gratis selama 20 menit dengan iMac. Sedangkan internet di kamar harus bayar, meh! Ini yang tidak saya suka dari hotel berbintang, mereka mengutip tarif mahal untuk layanan berbiaya murah yang seharusnya menjadi hak semua tamu sekarang ini. Ridiculous.


Hotel ini cukup nyaman, Big A dan Little A betah di sini. Ini Novotel ketiga tempat kami menginap setelah Novotel Canberra dan Novotel Sydney Olympic Park. Pelayanan yang kami dapatkan standar, khas Novotel? 🙂 Kami tidak ada komplain dengan hotel ini, tapi juga tidak ada yang sangat berkesan, semua biasa-biasa saja. Apakah kami akan menginap di sini lagi suatu saat nanti? Hanya kalau ada penawaran yang benar-benar spesial.

Mainan di lobi


~ The Emak

Baca juga:  

Terbang ke Singapura dengan Jetstar

Pesawat Jetstar di bandara Juanda

Untuk penerbangan domestik Australia, kami selalu mengandalkan Jetstar karena tarifnya yang murah. Ketika memilih Jetstar untuk terbang dari Surabaya ke Singapore, kami tidak ragu pada pelayanan mereka. Tapi ternyata…

Seperti biasa, saya langsung mencari-cari tiket pesawat begitu tujuan dan tanggal berlibur ditetapkan. Ketika itu ada promo Kids Fly Free dari Jetstar, yang artinya setiap beli 1 tiket dewasa, 1 anak bisa terbang gratis. Saya memutuskan membeli karena harga tiket pp SUB – SIN yang jatuhnya Rp 850 ribu per orang lebih murah daripada tiket di maskapai lain untuk tanggal tersebut. Berhubung Jetstar ini maskapai murah, tentu ada tambahan biaya ini itu. Saya membeli 1x bagasi 20kg seharga Rp 140.000 untuk tiket pulang, jaga-jaga menampung barang belanjaan, hehe. Karena khawatir tidak mendapat tempat duduk berdekatan, saya juga membeli pilihan tempat duduk untuk tiga kursi seharga Rp 235 ribu. Pilihan yang langsung saya sesali karena sebenarnya kita tidak perlu ‘membeli’ nomor kursi ini. Ketika melakukan online cek in, komputer secara otomatis akan memilihkan tempat duduk. Kalau tidak mendapat tempat duduk berdekatan, baru kita ‘terpaksa’ membeli. Ini yang saya lakukan untuk tiket pulangnya, tanpa membeli pilihan tempat duduk, kami tetap bisa duduk berdekatan. Yang paling menyebalkan adalah biaya tak terduga untuk pembayaran dengan menggunakan kartu kredit. Soalnya di website Jetstar Indonesia, tidak ada pilihan pembayaran lain selain menggunakan kartu kredit, ini pun dihitung per orang per sektor. Alhasil saya harus merogoh kocek lagi sebesar Rp 360 ribu untuk 8 tiket. Di website Jetstar Australia, untuk menghindari biaya kartu kredit ini, saya membayar dengan transfer bank. Sayangnya fasilitas seperti ini belum ada di website Jetstar Indonesia, masih kalah sama Air Asia yang bisa dibayar dengan internet banking Klik BCA. Alhasil dengan tambahan biaya ini itu, total jenderal yang harus saya bayar untuk 4 tiket pp Surabaya – Singapura adalah Rp 3.783.045.

Biaya tambahan dan biaya tersembunyi sudah saya maklumi, meski harus saya waspadai untuk pembelian tiket selanjutnya. Yang lebih mengecewakan saya  adalah pelayanan cek in Jetstar di bandara Juanda, yang sangat lamban meski antrean penumpang tidak banyak. Kami terbiasa menggunakan online cek in kalau fasilitas tersebut tersedia. Sayangnya, di Jetstar Indonesia yang dioperasikan oleh Valuair ini, orang yang sudah cek in online, memilih nomor kursi dan hanya membawa tas kabin, tidak diberi jalur khusus. Ketika kami cek in, ada empat petugas yang melayani empat antrean penumpang. Dasar apes, kali ini kami memilih antrean yang paling lambat. Lima belas menit tidak ada kemajuan. Saya masih bisa guyon, mungkin boarding pass-nya ditulis dengan tangan, haha. Setengah jam, baru empat orang yang terlayani. Precils (dan Emaknya) mulai rewel. Kami bisa maklum menunggu setengah jam kalau ada 15 orang di depan kami. Ini hanya ada enam orang, tapi kami harus berdiri dalam antrean selama 45 menit. Pelayanan yang sangat lamban dan buruk. Ternyata, yang tadi saya jadikan guyonan benar-benar terjadi: boarding pass ditulis dengan tangan! What the! Hare gene masih cek in secara manual? Dan mas petugas ini menulis dengan slow motion. Kami sudah berkali-kali naik Jetstar, dari Sydney, Melbourne, Darwin, belum pernah mengalami proses cek in separah ini.

Yang membuat saya tambah heran, tidak ada penumpang yang protes. Sudah biasa? Pantas saja petugas tidak merasa berbuat kesalahan dengan melayani penumpang selambat ini, tidak ada standar customer service yang bagus. Setelah cek in beres, Si Ayah sempat protes atas tidak adanya jalur khusus untuk yang sudah cek in online dan tentu saja protes karena pelayanan yang lamban. Petugas sangat defensif dan berkata, “Soalnya penerbangan penuh.” Tanpa minta maaf. Lho, bukannya seharusnya itu yang kalian harapkan, penerbangan penuh? “Anda tidak siap bisnis Anda jadi besar?” kata Si Ayah. Saya sendiri juga tidak rela membayar pajak bandara sebesar Rp 150 ribu dan mendapat pelayanan seperti ini. 

Little A selalu membaca buklet keselamatan dengan seksama
Welcome to Changi

Penerbangan berlangsung mulus, pesawat lepas landas dan mendarat tanpa goncangan yang berarti, thanks to the pilot. Perlu waktu sekitar dua jam untuk terbang dari Surabaya menuju Singapura. Karena capek dan kesal dari proses cek in, kami cuma istirahat dan tertidur tanpa memesan makanan atau minuman. Tapi saya perhatikan pelayanan pramugari cukup baik kepada penumpang.

Kenyamanan bandara Changi di Singapura mampu membuat kami melupakan kekesalan proses cek in. Kami tak perlu jalan capek-capek menuju imigrasi karena ada travelator. Di pemeriksaan imigrasi pun kami tidak perlu antre karena petugas cukup banyak. Terasa banget bedanya bandara yang mengutamakan pelayanan pelanggan dengan yang tidak.

Untungnya, proses cek in ketika kami pulang berjalan sangat mulus tanpa antre. Tas kabin kami masing-masing ditimbang dan tidak boleh melebihi 10 kg per tiket. Aman lah, karena ransel kami cuma sekitar 4-5 kg. Tas bagasi saya pun cuma sekitar 6 kg. Proses cek in di Changi hanya sekitar 3 menit. Thank God, boarding pass kami tidak perlu lagi ditulis dengan tangan. Ketika boarding, kami dipersilakan masuk ke pesawat terlebih dahulu karena bersama dengan anak-anak. Kebijakan ramah anak-anak, orang tua dan difabel seperti ini juga kami jumpai di bandara Melbourne, Queenstown dan Christchurch.

Cek in di Changi mulus
Bedanya Juanda dan Changi

Saya tidak punya masalah dengan layanan Jetstar Indonesia di atas pesawat, juga dengan tarif mereka. Tapi selama pelayanan cek in mereka di bandara Juanda masih selamban itu, saya akan pikir-pikir lagi untuk naik Jetstar alias Valuair ini. Apalagi sekarang, kami juga punya pilihan maskapai lain yang melayani rute direct Surabaya – Singapura: Air Asia, Mandala Tiger Air, Lion Air, Garuda Indonesia dan Singapore Airlines.

Ada yang pernah dapat boarding pass ditulis tangan juga? Seberapa lama proses cek in?

~ The Emak

Baca juga:

– Hostel 5.FootWay.Inn Project Boat Quay Singapore  [review penginapan]

Singapore With Kids: Itinerary & Budget

Suasana malam Singapura

Habis berapa sih kalau jalan-jalan ke Singapura dengan keluarga? Mungkin pertanyaan seperti itu yang paling sering ditanyakan sebelum memutuskan mengajak keluarga jalan-jalan ke negeri tetangga kita ini. Tentunya budget ini tergantung berapa orang yang berangkat, berapa lama travelingnya dan pengen ngapain aja di sana. Yuk, kita bahas satu-persatu ya.

Budget & Itinerary vs Kenyataan
Kami selalu traveling berempat: The Emak, Si Ayah, Big A (11 tahun) dan Little A (5 tahun). Kali ini kami pergi ke Singapore untuk ‘menemani’ Si Ayah yang mengikuti konferensi selama 3 hari di NTU. Lumayan lah, budget Si Ayah sudah ada yang menanggung 🙂

Pengeluaran terbesar adalah tiket pesawat dan penginapan. Kalau bisa mencari deal dan mendapat harga promo di dua komponen ini, bakalan menghemat banyak dalam perjalanan. Biasanya, setelah tahu destinasi wisata, yang pertama saya cari adalah tiket pesawat. Karena perjalanan kali ini tanggalnya sudah pasti, lebih gampang mencari tiket pesawat. Pertama, saya search memakai Sky Scanner, maskapai apa saja yang melayani penerbangan langsung Surabaya – Singapura. Pada waktu itu pilihannya hanya Jetstar (dioperasikan Valuair), Lion Air, Silk Air (sekarang dioperasikan langsung oleh Singapore Air), dan China Airline. Saya membeli tiket pesawat tiga bulan sebelum berangkat, ketika ada promo Kids Fly Free dari Jetstar. Sekarang, ada beberapa tambahan maskapai untuk rute SUB-SIN, yaitu: Air Asia, Mandala (Tiger Airways) dan Garuda Indonesia. Tiket dari Jakarta ke Singapura pastinya lebih murah daripada dari Surabaya.

Penginapan bisa dicari lewat Agoda, Hotels Combined atau Booking.com. Tidak mudah mencari penginapan yang murah untuk dua dewasa dan dua anak di Singapore, apalagi untuk musim liburan bulan Juni. Budget saya untuk penginapan keluarga maksimal 1,5 juta per malam. Hotel pada umumnya hanya menerima maksimal 3 orang per kamar. Kalau tidak ingin pesan dua kamar, saya harus mencari hotel yang mempunyai dua double bed yang membolehkan satu kamar untuk dua dewasa dan dua anak. Di antara hotel-hotel yang family friendly adalah: Holiday Inn, Swissotel, Novotel, dan Landmark Village. Ketika ada promo di group Accor, cepat-cepat saya pesan kamar di hotel Novotel untuk dua malam. Sisa dua malam lagi saya mencoba kamar privat hostel yang lebih murah di 5 Footway Inn Project Boat Quay.
Untuk menyusun itinerary dan memilih penginapan di Singapura, saya banyak terbantu oleh ebook yang bisa diunduh gratis dari blog Tesya, di sini. Singapura terkenal cukup kids friendly. Ada banyak pilihan tempat wisata untuk keluarga, yang paling terkenal adalah Universal Studio di pulau Sentosa. Tapi saya memilih menunda ke sini karena kami hanya bisa jalan-jalan siang bertiga, tanpa Si Ayah. Saya pasti bakal kewalahan membawa dua anak dengan jarak usia yang cukup jauh, yang wahana kegemarannya sudah pasti berbeda. Bakal rugi besar kalau sudah beli tiket USS tapi tidak bisa mencoba semua wahana yang ada. 

Karena waktu kunjungan kita terbatas, biasanya kita akan kemaruk alias rakus ingin mengunjungi semuanya. Padahal kalau membawa anak-anak, kita tidak bisa secepat dan sekuat kalau pergi sendiri. Saya biasanya hanya memilih satu atraksi yang paling WAJIB dikunjungi dalam satu hari, ditambah satu atraksi pilihan, dan satu destinasi cadangan (yang tidak masalah kalau ternyata gagal). Kalau ada tempat lain yang wajib dikunjungi lagi, sebaiknya diagendakan di hari berikutnya.

Rencana itinerary saya pada awalnya: hari pertama (mendarat sore) jalan-jalan di Marina Bay. Hari kedua ke Singapore Zoo dan Gardens by The Bay. Hari ketiga ke Science Centre dan Orchard Rd. Hari Keempat ke Ikea, Bugis dan melihat Song of The Sea di Sentosa Island. Hari kelima main-main di bandara Changi sebelum naik pesawat pulang jam 11 siang. Ternyata itinerary yang dibuat rapi meleset semua 😀 Malam pertama, begitu sampai di hotel jam 7 malam, tidak ada yang mau keluar lagi. Precils pun cukup susah dibangunkan pagi karena di Singapura ada perbedaan waktu satu jam lebih awal daripada WIB. Matahari baru terbit jam 7 pagi dan terbenam jam 7 malam. Meski rencana lebih banyak melesetnya, kami cukup menikmati Singapore dengan cara kami sendiri, lengkap dengan nyasarnya dan kaki gempornya. Destinasi yang belum kesampaian cuma pertanda kami harus datang lagi :p 

Changi Airport
Gardens By The Bay

Berikut saya share itinerary dan pengeluaran kami beneran selama 5 hari 4 malam jalan-jalan ke Singapore. Yang The Emak sembunyikan cuma ‘aib’ belanja-belanji di Orchard, hehe. Semoga bisa jadi gambaran yang mau wisata dengan keluarga ke Singapura. Jangan kaget sama totalnya, kalau pengen lebih hemat lagi, masih bisa diutak-atik lagi kok. Misalnya dengan cari penginapan yang lebih murah, memangkas 4 malam jadi 3 malam saja (dan mencari penerbangan pagi), dan tentu saja menunggu tiket promo yang benar-benar murah. Selamat mengutak-utik 🙂


Pengeluaran Jalan-Jalan Singapore 5D/4N dari Surabaya, 2 dewasa 2 anak

Day 1
Tiket Jetstar pp SUB-SIN 4orang   Rp 3.873.045
Taksi ke bandara Juanda               Rp     60.000
Airport tax 4x Rp 150.000             Rp   600.000
Ez link 3x $12                              $   36
Novotel 2 malam                          $  470,33
Dinner Kopitiam Liang Court          $    22,75
Susu+jus                                     $     3,35

Day 2
Sarapan Mc D                               $  14,60
SIM card 2x $15                           $  30
Permen                                        $    3,80
Science Centre 1A + 2C              $  50
Es krim NZ                                   $    9,60
Top up Ez link 3x $10                    $  30 
Lunch BBQ Chicken                       $  33,90
Dinner Glutton Bay                        $  29,50

Day 3
Sarapan Starbucks                        $ 13
Singapore Zoo+tram 1A+2C       $ 61
Boat ride                                      $ 11
Lunch KFC                                    $ 14,60
Pony ride                                      $   6
Boneka Polar Bear                         $ 18
Zoo Post cards                              $   3,90
SAEX Bus                                      $ 10
Hostel 2 malam                             $272
Dinner Lau Pa Sat                          $ 16,50

Day 4
Brekky at hostel                              free
Gardens by the bay 2A+2C           $ 86
Fridge Magnets+postcards               $ 25,50
Lunch ION food court                       $ 17,50
Stamp                                            $   0,50
Shopping at Orchard                     $$sstt!
Ya Kun Kaya Toast                           $ 13
Dinner takeaway                             $ 18

Day 5
Brekky at hostel                              free
Refund Ez link                               – $  12,40
Brunch Changi T1 foodcourt              $ 18,50
Chocolate                                        $ 13
Shuttle dari bandara Juanda              Rp 100.000

TOTAL Rp 15.348.485 atau Rp 3.837.121 per orang

Catatan: Kurs per Juni 2013, 1 SG$ = Rp 8000

~ The Emak
Follow @travelingprecil  

Baca juga:
Review Novotel Clarke Quay
Review Hostel 5.Footway.Inn Project Boat Quay
– Changi Airport, Terbaik di Dunia?
– Terbang ke Singapura dengan Jetstar 
Keliling Singapura Naik MRT dan Bus